Skip to main content

Metamorfosis Tuhan

Buku Bagus : Sejarah Tuhan by Karen Armstrong
Judul : Sejarah Tuhan ( Kisah 4.000 Tahun Pencarian Tuhan dalam Agama-Agama Manusia ) 
Penulis :Karen Armstrong
Penerbit :Mizan 
Tahun Terbit : November - 2011
Jumlah Halaman : 676

Membaca buku yang bagus akan membuat kita bertualang dalam dunia yang penuh dengan energi kekaguman. Apalagi, buku tersebut menceritakan tentang diri kita sendiri, tentang suatu hal yang sebenarnya kita percayai, tapi kita tidak sungguh-sungguh mengetahui sejarah kepercayaan itu sendiri. Dan buku ajaib berjudul The History of God (Sejarah Tuhan) ini haruslah dimasukkan dalam list buku wajib baca sebelum mati. Di buku ini kita akan melihat diri sendiri dan jejak-jejak pencarian yang telah dilakukan manusia sejak Adam diciptakan. Bahwa tuhan adalah sosok yang kita percaya mati-matian dan telah ditanamkan oleh orang tua kita sejak bayi –namun terkadang kita butuh keraguan untuk membuat otak dan perasaan kita tetap sadar akan sebuah pilihan.

Sebagai muslim, saya cukup akrab dengan tudingan bahwa mempertanyakan keberadaan tuhan bisa mengakibatkan kemusyrikan. Sehingga di lingkungan saya tidak ada budaya membicarakan tuhan. Tuhan harus dipercaya tanpa tetapi. Jika kita berani bertanya persoalan tauhid ini, maka guru kita akan terdiam sambil memasang mata curiga. Entah apa sejarah yang melatarbelakangi ketabuan membahas tentang tuhan. Padahal dalam sejarah muslim sendiri, ulama’-ulama’ banyak membahasnya untuk menjaga nalar tetap sehat dan logika tidak keropos. Sehingga ulama’ kita banyak menelurkan pemikiran yang masih relevan hingga kini.

Buku karya Karen Armstrong ini ditulis dengan jujur dan tanpa tendensi apapun untuk merendahkan agama tertentu di atas agama lainnya. Sehingga buku bisa digunakan sebagai referensi apik untuk pengetahuan tentang keberagamaan. Secara general, Armstrong hanya membahas tiga agama terbesar di dunia yang biasa disebut agama Samawi (bersifat ke-langit-an atau diturunkan dari langit atau agama yang didasarkan pada wahyu), yakni Kristen, Islam, dan Yahudi. Namun ada beberapa bahasan menarik tentang Buddha Gautama dan Confuciusyang bisa membawa pemahaman tersendiri tentang tuhan.

Membaca buku ini kita seakan-akan berlayar di lautan pemikiran tiga agama. Pemikiran-pemikiran yang membingungkan tapi ditulis dengan gamblang –menunjukkan bahwa Armstrong sangat paham tentang apa yang ditulisnya. Pembicaraan tentang tuhan ia mulai dari kepercayaan terhadap kepercayaan yang mempercayai adanya banyak tuhan (politheisme), kepercayaan terhadap satu tuhan yang tuhan itu membawahi beberapa dewa untuk mengurus dunia, hingga kepercayaan satu tuhan sebagai tuhan tertinggi yang tidak perlu bantuan dari para dewa. Tuhan-tuhan masa lalu, terutama di agama Pagan (penyembah alam), masih bersifat manusiawi.

Saya mencatat, tuhan dalam persepsi manusia terus bermetamorfosis –yang sangat mungkin bahwa 100 tahun lagi tuhan akan berbeda sama sekali dari tuhan yang kita percaya hari ini. Tuhan yang dikenal manusia pertama yang diceritakan buku ini adalah kaum pagan yang memiliki banyak dewa untuk disembah. Dewa/tuhan di sini lebih bersifat seperti alam yang dekat dengan manusia. Misalnya dewa petir yang menguasai petir, dewa matahari yang menjaga matahari, dan dewa-dewi lain yang disisikan dengan kekuatan yang mereka ketahui.

Selain itu, ciri khas tuhan dalam agama ini adalah sebagaimana yang disebutkan Armstrong (dan terdengar lucu): ‘agama Pagan sering bersifat teritorial, suatu tuhan hanya memiliki yuridiksi atas suatu kawasan tertentu. Dan adalah bijaksana untuk menyembah tuhan-tuhan setempat ketika bepergian ke tempat lain. (halaman 43).

Dua hal ini dimungkinkan juga dialami oleh tuhan yang dianut umat muslim. Karena pada masa Nabi Adam hingga Ibrahim, tuhan hanya memerintahkan beriman untuk satu kaum di kawasan tertentu. Nabi Adam bahkan hanya berdakwah untuk anak-anaknya sendiri, Nabi Nuh (hidup sekitar tahhun 3.993-3.043 SM) berdakwah hanya untuk kaum Bani Rasib selama 950 tahun, begitupula Nabi Ibrahim hingga Isa. Baru pada masa Nabi Muhammad, tuhan menghendaki agar ia menyeru ke seluruh alam sebagai penyebar akhlak yang mulia.

Namun Armstrong percaya bahwa titah tuhan pertama kali yang bersifat universal diberikan kepada Yakub. Ia juga menyebutkan bahwa kepercayaan Ibrahim atau Yakub atas tuhan bersifat pragmatisme, dan itu menyeluruh di Bani Israel. Artinya, selama tuhan berguna untuk mereka maka tuhan akan tetap menjadi tuhan. Mereka tidak perlu alasan yang rasional atau pembuktian secara empiris bahwa ‘Elohim atau Yahweh atau Allah’ itu ada. Dan konsepsi seperti itu, menurut Armstrong akan terus berlanjut pada peradaban berikutnya.

Metamorfosis konsep tuhan berikutnya ada ditangan kaum monotheisme, yang percaya bahwa tuhan hanyalah satu. Ia sebagai realitas tertinggi yang tidak membutuhkan sesuatu yang lain. Tuhan dalam versi ini lebih dekat kepada tuhan para Nabi yang kita anut sampai sekarang. Di sin, tuhan sangat berbeda dengan manusia atau alam yang kita kenal. Ia merupakan realitas di atas realitas yang ada, hidup dan berkuasa dalam alam yang jauh. Sehingga ia berkuasa atas segala-galanya.

Selain tuhan yang bersifat langit ini, ada pula tuhan-tuhan lain yang bersifat bumi. Di Indonesia misalnya, sebelum manusia mengenal agama wahyu, nenek moyang kita dianggap sudah memiliki kepercayaan, yakni animisme dan dinamisme. Animisme merupakan kepercayaan terhadap jiwa, bahwa segala sesuatu benda apapun memiliki jiwa. Roh nenek moyang meninggal juga masih tetap berdampingan dengan manusia hidup, bahkan roh itu memiliki kekuatan sehingga harus dihormati. Demikian dinamisme, tuhan di sini adalah benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan mistis sehingga tidak boleh sembarangan merusak pepohonan, bebatuan besar, hingga keris dan pusaka.


Karen Armstrong
Selain itu, ada pula agama Buddha dan Hindu yang memiliki wujud tuhannya masing-masing. Konsep ketuhanan dalam agama Buddha bahwa berbeda jauh dengan agama wahyu. Armstrong memaparkan, mula adanya Hindu dan Budha adalah upaya manusia untuk memperoleh realisasi kebenaran batiniah. Dewa-dewa yang menjadi latar belakang kultural tetap dianggap ada namun tidak penting lagi. Dewa-dewa ini digantikan oleh pemuka agama yang akan dipandang lebih tinggi dari pada para dewa itu sendiri, bahkan manusia bisa melakukan ritual yang bisa menjadikannya lebih tinggi dari para dewa.

Bahkan dalam Budha, secara implisit mempercayai eksistensi dewa-dewa namun tidak mempercayai bahwa mereka bermanfaat banyak bagi manusia. Yang dipercaya Gautama setelah mendapatkan pencerahan adalah ada realitas tertinggi yang disebut sebagai nirvana yang jauh lebih luhur dibandingkan para dewa. Jika umat islam melakukan shalat lalu mendapatkan kedamaian dan percaya itu datang dari tuhan, maka Budha tidak. Mereka percaya bahwa keadaan itu alamiah dan bisa dicapai oleh setiap manusia yang menjalankan teknik Yoga. Jadi mereka bisa menyelamatkan diri sendiri, tidak bergantung pada dewa atau tuhan.

Jika referensi kita tentang agama-agama di dunia ini lengkap, baik agama wahyu atau agama karya manusia sendiri, maka kita akan melihat begitu banyak konsep tuhan yang telah diciptakan oleh akal manusia. Tuhan dan keadaan rohani menjadi sebuah kebutuhan manusia, karena manusia pada dasarnya adalah beragama (homo religiosus – manusia beragama). Perkataan itu pertama kali dicetuskan oleh ahli agama berkebangsaan Rumania yaitu Mircea Eliade dan sangat dipercaya oleh Armstrong. Bahwa manusia mulai mencari tuhan sejak dia sadar bahwa dirinya adalah manusia, dan manusia mulai menciptakan tuhan bersamaan dengan mereka menciptakan karya-karya seni lain.

Selain tuhan dalam versi agama dan kepercayaan tersebut, metamorfosis konsep tuhan masih terus berlangsung. Kita belum membahas tuhan dalam versi para filusuf seperti Plato dan Aristoteles. Tuhan-tuhan menurut mereka adalah tuhan yang tidak ada kaitannya dengan baik dan buruk, atau tuhan yang meminta disembah. Tuhan bagi para filusuf cukup menjadi pemuas keyakinan bahwa tuhan itu ada. Karena para filusuf menyadari bahwa dunia ini berjalan dalam keteraturan yang luar biasa, alam bergerak dengan seimbang, dan kewujudannya menjadi pertanyaan yang tak akan pernah berakhir.

Karena itu, Aristoteles menyimpulkan tuhan sebagai penyebab pertama segala sesuatu yang ada di dunia ini. Sebagaimana kepercayaan hukum alam, ada sebab ada akibat –ada benda yang bergerak maka ada yang menggerakkan. Dan atas dunia yang tercipta dengan sempurna ini, harus ada realitas tertinggi yang menjadi penyebab tunggal, dan harus ada realitas tertinggi yang menjadi penggerak dunia tanpa digerakkan. Itulah tuhan. Tuhan yang mengawasai seluruh alam semesta tanpa ada perintah untuk rukuk dan sujud, tuhan yang keren sehingga dinisbatkan sebagai akal murni.

Kita harus berterimakasih kepada Armstrong yang telah mereview sejarah pencaraian tuhan oleh umat manusia selama 4000 tahun. Tanpa keluasan pengetahuannya, saya yakin buku ini hanya menjadi penerus buku semacam ayat-ayat setan yang menimbulkan gejolak di hati umat muslim. Kita sebagai umat muslim –yang moderat- bisa faham bahwa tuhan dikonsepsikan secara amat berbeda oleh manusia dari generasi ke generasi. Bahkan di generasi kita sekarang, tuhan bukan lagi sesuatu yang penting. Tuhan telah mati, berganti budaya populer dan materialisme yang menjalar. 

Kiblat kita bukan kakbah atau masjidil aqsha, tapi budaya-budaya modernitas yang hanya menekankan pentingnya kepentingan sesaat. Tuhan bagi orang modern ini, bisa jadi adalah facebook dan blackberry messanger. Atau tuhan yang paling sehat bagi kita adalah uang –yang tanpanya kita mengaku tidak bisa membahagiakan orang tua, tidak bisa haji, tidak bisa shadaqah, tidak bisa membeli perlengkapan shalat, dan tidak bisa mengeluarkan zakat. Iman kita berganti, dari iman kepada kehidupan sesudah mati, menjadi iman kepada benda-benda yang cepat berganti.

Tuhan Tidak Empiris

Saya tertarik dengan pemikiran Al Ghazali yang diungkapkan dalam buku ini. Dengan canggih, Al Ghazali mementahkan seluruh pencarian tuhan yang dilakukan para filusuf dan kaum-kaum yang menggunakan akal untuk menjawab keberadaan tuhan. Menurutnya, tuhan tidak dapat dibuktikan secara empirik sehingga tidak mungkin manusia dapat membuktikan keberadaan tuhan secara ilmiah. Kebanyakan proyeksi yang diciptakan filusuf hanya perkiraan yang ‘sepertinya’ masuk akal. Karena itu Al Ghazali tidak mempercayai hal-hal seperti itu.

Hingga akhirnya Al Ghazali sendiri gagal memahami keberadaan tuhan secara empiris, lalu melepaskan seluruh jabatan akademisnya karena merasa tidak mampu menemukan jawabannya. Al Ghazali lalu memilih jalan kaum mistik (sufi) demi menemukan tuhan itu. Di sinilah akhirnya, Al Ghazali menemukan tuhan dan mempercayainya. Jadi tuhan hanya bisa ditemukan dan dipercaya, bukan untuk dibuktikan. Karena tuhan adalah realitas tertinggi yang tidak mungkin bisa dipikirkan apalagi diindera. Sehingga akal murni yang diagung-agungkan filusuf sebagai tuhan, harus menyerah membuktikan keberadaan tuhan.

Dengan memahami keyakinan Al Ghazali ini, kita akan memahami alur pemikiran dalam buku tersebut. Karena tuhan tidak bisa dibuktikan secara empiris, maka mustahil pula bagi Armstrong untuk menulis tentang asal-usul dan kelahiran tuhan. Yang ia tulis di sini adalah sejarah pemikiran manusia terhadap tuhan. Karena tidak pernah ada yang tahu bagaimana tuhan itu tercipta, ketika kita mempercayai bahwa tuhan tidak diciptakan oleh apapun dan siapapun. Tuhan ada bahkan sebelum istilah ‘keberadaan’ diciptakan.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.