Skip to main content

Semeru


Puncak Mahameru, 3676 Mdpl
Setelah menunggu ribuan tahun, akhirnya aku menapaki puncak para dewa –Mahameru. Perjalanan yang menyiksa dan menghapuskan segala kenikmatan terbayar tuntas. Akan muncul banyak catatan dari perjalanan membersamai Semeru. Namun saat ini, yang harus aku hujamkan dalam-dalam adalah bagaimana aku merasa menjadi salah satu orang yang beruntung dan diberkati. Mungkin adalah hal yang lebai, tetapi menggapai Mahameru adalah hal mustahil bagi diriku sendiri.

Bagaimana tidak, pukul 23.00 WIB aku sudah harus mengerjapkan mata bersama seluruh ngilu di sendi tulang belulang, pusing di kepala, dan dingin yang mengelupaskan kulit di muka satu senti demi satu senti. Mungkin aku sudah beruntung tinggal di Kota Batu selama setahun terakhir, namun dingin di punggung Semeru bukanlah dingin di Kota Batu. Tetap saja, dua kaos, satu sweeter, dan satu jaket palsu merk Jack Wolfkin seharga Rp 150.000 tidak berarti apa-apa. Aku masih harus menyematkan kedua tanganku ke ketiak demi mendapatkan kehangatan sementara.

di depan itu adalah Kawah Janggring Saloka
Belum lagi, perjalanan mendaki di Arcopodo selepas Kalimati sungguhlah berat. Berat karena seluruh kalori yang dihasilkan oleh beras merah dan ikan asinan pindang telah habis sepanjang Ranupane – Ranukumbolo – Kalimati. Sisa-sisa tenaga ini diharuskan menempuh perjalanan yang tidak kalah beratnya sehingga mental langsung down seketika. Dan hal yang paling menjengkelkan adalah tanjakan Mahameru dipenuhi oleh kerikil dan pasir yang tidak bisa diinjak seenak kaki berdiri. Di sinilah keputusasaan terbesar itu. Setiap aku melangkah, setiap itu pula aku harus merosot ke bawah karena tidak ada tanah yang solid yang bisa diinjak.

Bahkan bebatuan pun bersekongkol. Ketika menginjak batu, malah akan membahayakan pendaki yang masih berada di bawah karena batu itu bisa seketika meluncur ke kepala. Bebatuan seperti menempel begitu saja. Ia tidak membentuk dan menyatu dengan Mahameru. Bebatuan itu, seperti tetangga yang numpang mampir, atau benalu yang menggeliat begitu saja di sana. Aku bergumam; dalam sejarahnya, bahkan para amatir dan perempuan alay pun bisa menapaki Mahameru. Apakah aku akan berdiam diri di Kalimati saja? oh tentu tidak. Dengan tekat kompetisi imajiner inilah, aku berangkat.

Kawah saat menyemburkan racunnya
Namun aku menegaskan, menggapai Mahameru bukanlah sekadar berkompetisi dengan orang lain, tapi lebih pada kompetisi dengan diri sendiri. Berkali-kali, orang-orang yang lalu lalang itu hilang entah ke mana. Mata yang sudah diserang kantuk karena hampir sejak Januari aku tidak pernah tidur. Seluruh orang yang lalu-lalang menjadi tak berguna, mereka tenggelam dalam hingar-bingar kelelahan yang mendera seluruh organ tubuhku. Aku lumpuh, merambat sebagai orang yang sekarat dalam duri yang menggunung.

Berkompetisi dengan orang lain saat menggapai puncak malah akan membuatmu lemah selemah-selemahnya. Akan ada banyak orang yang sebelumnya jauh di belakang, tiba-tiba sudah disampingmu ketika kau duduk istirahat kelelahan. Mereka berjalan pelan namun pasti, melewatimu begitu saja. Kau mungkin bisa berteriak keras; jancooook!!!. Tapi itu hanya bergema dalam dadamu sendiri. Meskipun kau tahu, mereka yang melampauimu selalu menyemangatimu agar bertahan hingga puncak kerinduan. Tapi itu juga yang menjadi musuh dirimu sendiri.

aku berdesing dalam ribuan musim dingin
menghalau seluruh rindu yang kau tumpah-tumpahkan
dari langit, aku sembahyang dipuncak ngilu
seperti pertapa yang luka, seperti burung yang mengigau
betapa sarang masihlah mimpi yang tak terlampau tinggi

Jadi aku terus mewaspadai diriku sendiri, jika tidak, Mahameru akan benar-benar membunuhku. Sudahlah cukup kisah dan mitos yang merebak bahwa Mahameru memakan banyak nyawa untuk dapat menakhlukkannya. Seakan-akan, dari 1000 pendaki yang sukses, harus ditebus dengan satu nyawa melayang karena otak telah kehilangan keseimbangan. Dan aku tidaklah harus menjadi penebus pendaki-pendaki itu. Yang kusadari dari diriku sendiri waktu itu adalah, dingin yang teramat sangat membuatku hampir muntah-muntah karena mual, kepala pening sehingga setiap menapakkan kaki di pasir dan kerikil Mahameru, aku hendak melayang ke jurang. Sepertinya aku masuk angin dan bisa-bisa menangis sepanjang perjalanan. Bismillah, aku hanya bisa berkata; biarlah tuhan yang menentukan segalanya.

Mahameru yang berbentuk melengkung
Setiap satu langkah kaki, aku menguat-nguatkan persendian. Nafas sudah satu-satu, hampir meninggalkan tubuh ringkih yang bersemangat di tubuh yang masih seperempat abad. Kulihat puncak yang masih gelap. Jarak yang hanya 2,5 kilometer raib ditelan keragu-raguan. Sementara di sisi timur, siluet merah sudah menggaris panjang membelah langit. Keindahan maha agung. Matahari mengintip pelan-pelan-pelan, lalu tiba-tiba saja hangat kurasa. Aku terduduk di sebalah batu besar yang tampak akan menggelinding ke bawah saat kusentuh. Sungguh, matahari waktu itu seperti kawan lama yang datang sebagai penyelamat. Mual sepanjang malam, dingin sepanjang perjalanan, lenyap. Aku minum air putih yang masih tersisa banyak, lalu mendongak ke puncak. Bendera merah putih tersenyum pelan, mengerlingkan matanya, dan aku bangkit untuk meraihnya.

Mimpi apa si bendera di puncak semeru itu tuhan? Sehingga panggilannya kujawab dan ia bisa berdiri sama tinggi denganku. Pukul 07.30 WIB aku baru menginjakkan kaki di puncak tertinggi Pulau Jawa. Aku kaku, lemas, bahagia, sedih, menjerit, ketakutan, mengumpat, beryukur, dan lalu menikam tanah-tanah menjadi bahasa yang tak dapat dikenali lagi. Aku tidur, melepaskan seluruh sandaranku pada alam yang hening –yang ramai hanya manusia yang terpana dengan dirinya sendiri, lalu mengabadikannya dalam kefanaan foto. Aku masihlah makhluk abadi ketika tidur di bawah matahari yang hangat, menyelimuti bibir retakku, menyeka linu di lutut, dan menghias mataku dengan pendar warna-warni dari seberang surga.

Jalan terjal saat turun dari puncak
Saat aku terbangun, orang-orang sepi. Tinggal tiga grup pendaki yang semalam menjejaki langkah bersamaku. Aku kembali fana dan bakal musnah sendirian, memandangi para pendaki dan mencoba menerka pikirannya masing-masing. Lalu kuraih kamera yang sejak perjalanan jarang kugunakan. Aku berjalan pelan dari ujung ke ujung, memotret moment yang sudah terlambat itu. Matahari silau, Bromo sudah tertutup awan. Yang tersisa hanya menunggu Kawah Janggring Saloka meletupkan asap tebal sehingga aku bisa membawanya pulang ke tendaku, ke beranda rumah, dan memeluknya saat tidur di lain waktu.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.