Skip to main content

Panduan Mendaki Semeru

Kawah Jonggrang Saloka saat muntah
Aku tidak perlu panjang lebar menjelaskan bahwa Gunung Semeru adalah gunung tertinggi di dunia (ups). Menulis tips yang bertele-tela juga bukan merupakan keahlianku selama ini, karena esai lebih menarik dan khas dari pada tips yang biasanya digunakan oleh blogger yang mengeruk keuntungan dari blog mereka. Namun, menulis Semeru adalah pengecualian karena Semeru selalu aktual dan menarik. Masing-masing orang punya pengalaman yang berbeda ketika mendaki di sana.

Dari Kota Batu, aku menuju ke Semeru menggunakan kendaraan sendiri hingga Ranupane. Ranupane adalah desa terakhir yang bisa ditempuh menggunakan kendaraan dengan ketinggian 2.100 mdpl. Di sinilah letak seluruh permulaan pendakian Semeru. Bagi orang yang berniat ke Ranupane dari Tumpang menggunakan kendaraan umum, bisa membacanya di blog-blog yang lebih berpengalaman di google. Karena aku juga berkeinginan mencoba mobil Fiat 124 milikku menanjak ke Ranupane sehingga saya meluncur ke sana sendirian.

Persiapan Pendaftaran

Pertama yang harus kita siapkan adalah uang, foto kopi KTP dan surat kesehatan dari dokter. Karena tidak sempat mengurusnya, aku membuat surat dokter ini di Puskesmas Tumpang. Letak Puskesmas ini tidak jauh dari Pasar Tumpang. Sehingga kita bisa bertanya ke masyarakat mengenai arah menuju Puskesmas. Di Puskesmas sebesar rumah sakit ini, pendaki bisa langsung menuju Loket 2 untuk mengisi formulir dan membayar Rp 2.000 lalu mengantri di Poli Umum untuk dicek darah dan ditanya tinggi dan berat badan.

Sementara teman-teman yang tidak sempat memfoto kopi KTP juga bisa melakukannya Tumpang, atau di depan pos pendaftaran Ranupane. Karena di depan pos ada tempat foto kopi yang sudah akrab dengan curhatan pendaki yang lupa tidak menyiapkan semuanya dari awal. Jika foto KTP dan surat keterangan dokter sudah ditangan, maka segeralah menuju Ranupane dengan segala cara.

Kedua, setelah sampai di Ranupane, kita bisa langsung menunggu di aula besar untuk briefing. Jadi jangan menunggu di loket pendaftaran. Briefing ini akan memakan waktu yang berbeda-beda karena aku sendiri dibriefing selama 1,5 jam. Hal-hal yang disampaikan oleh petugas di sana sama persis dengan yang disampaikan di blog-blog, ditambah dengan sedikit candaan garing. Jadi dengarkan saja, follow the rule and you’ll be save.

Disela-sela briefing, izinlah untuk kencinglah sebanyak-banyaknya karena kita akan berjalan sejauh 13 KM dari Ranupane ke Ranukumbolo. Dalam briefing ini, kita akan diminta mengisi formulir berisi data diri dan menceklis data barang bawaan. Isi terserah saja karena tampaknya tidak akan diperiksa oleh petugas yang ada di sana. Yang penting bawaan kita lengkap dan tidak menyengsarakan diri sendiri di atas pegunungan.

Ketiga, usai melakukan tetek bengek di dalam briefing yang membosankan ini, kita baru bisa mengantri di pos untuk melakukan pendaftaran a.k.a pembayaran. Perhari kita akan dituntut membayar Rp 15 ribu ditambah membayar biaya Rp 10 ribu. Untuk pendakian empat hari, saya membayar Rp 70 ribu. Kalau ditambah parkir kendaraan roda empat Rp 15 ribu perhari (kalau kendaraan roda dua Rp 5 ribu per hari). Jadi untuk menunggangi Semeru 4 hari saya harus membayar Rp 70 ribu + Rp 60 ribu.

Selain itu tidak ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan. Sayangnya, informasi di wikipedia masih menayangkan ada biaya untuk orang yang membawa tenda dan kamera. Oya, di Ranupane ini, kita bisa mengisi perbekalan untuk dibawa naik, termasuk foto-foto di Danau Ranupane sembari menunggu briefing. Karena perjalanan dibatasi hingga pukul 16.00 WIB, maka pendaki yang datang setelahnya dapat bermalam di aula yang telah disediakan atau penginapan yang ada di sana.

Perjalanan sepanjang tanjakan di Semeru ini bukanlah tanjakan sepi, bahkan cenderung ramai. Kita akan sering bertegur sapa dengan pendaki lain, baik yang searah ataupun yang berlawanan arah. Salinglah menertawakan agar terjalin semangat bersama. Bisa jadi, jodoh pun ketemu melalui track ini karena setiap lelaki hendak menjadi pahlawan jika berada di hadapan perempuan asing. Bahkan Maka nikmati perjalanannya dan rasakan kelelahanmu. Jika tidak ingin lelah dan kedinginan, tentu kamar kos lebih mantap.

Ranukumbolo ketika matahari terbit
Ranupane - Ranukumbolo

Setelah terbebas dari belenggu pos pendaftaran, kita bisa bersiap menuju petualangan yang sesungguhnya. Perjalanan akan dimulai dengan jalan menurun menuju sebuah Musala dan tulisan selamat datang. Meskipun belum keren, tapi di sini juga menjadi tempat favorit untuk foto. Setelah melewati papan selamat datang, maka kita musti banyak berdoa karena fisik kita sudah akan mulai dipompa.

Janganlah mempertaruhkan tenaga di awal perjalanan karena itu perbuatan sia-sia. Bagaimanapun tubuh manusia, jika tidak terlatih, akan lelah juga di beberapa meter awal. Jadi jalanlah pelan-pelan sambil ngobrol dengan teman-teman. Jangan pernah membohongi diri sendiri tentang lelah dan habisnya nafas. Ini gunung bung, oksigen mulai menipis, dan kesombongan akan menelanmu setengah matang. Jika perjalanan membuatmu capek dan leadermu (yang biasanya sudah lima kali ke semeru) tetap berjalan gontai, teriak: istirahat!!!.

Aku tidak berpengalaman mendaki gunung-gunung besar di dunia ini. Namun aku punya saran jika capek: istirahatlah dengan membungkuk sehingga tas carrier yang seperti beban hidup itu bertumpu pada seluruh punggung, lalu nafaslah seenak-enaknya. Jika nafasmu sudah lancar, berarti kita sudah siap untuk mendaki lagi. Jadi gunakan trik istirahat seperti itu dua sampai lima kali tergantung kekuatan, baru kemudian istirahat dengan duduk agak lama.

Soal air juga jangan khawatir. Perjalanan dari Ranupane sampai Ranukumbolo tidak akan menghabiskan hingga dua liter air putih. Aku menghabiskan satu botol air ukuran 1,5 liter selama perjalanan. Kalau bersama rombongan, bisa dicoba dengan menambah rasa-rasa pada botol air lainnya. Sehingga ada selingan yang memompa semangat. Mengenai waktu, aku membutuhkan waktu 6 jam perjalanan dari Ranupane menuju Ranukumbolo dengan berjalan santai.

Jika kita hanya ingin menghabiskan waktu di Ranukumbolo saja, maka jam berapapaun berangkat tidak masalah. Namun bagi kita yang ingin menggapai Mahameru (puncak tertinggi di Jawa), maka usahakan maksimal sampai di Ranukumbolo pukul 18.00 agar bisa istirahat, tidak kemalaman, dan bisa menikmati sedikit matahari sore. Jadi sesuaikan sendiri, intinya adalah: lebih cepat sampai Ranukumbolo, lebih baik. Jika bisa berangkat pukul 10.00 WIB maka maksimal pukul 17.00 WIB kita sudah bisa membangun kemah di Ranukumbolo.

Namun jika memang waktu tidak bersahabat dan malam datang lebih cepat dari langkah kakimu, jangan khawatir. Perjalanan mendaki Semeru bukanlah hal yang berbahaya jika kita tetap mengikuti aturan dan track yang telah ditentukan. Bahkan saya sempat kehujanan sejak pukul 16.00 WIB hingga pukul 19.00 WIB di sepanjang jalan Ranupane-Ranukumbolo sehingga harus menggunakan jas hujan –tapi tetap aman. Jadi berjalanlah seperti orang normal pada umumnya. Jangan tergesa tapi juga jangan melambat-lambat. Jam berapapun kita berangkat, kita akan sampai juga di Ranukumbolo.

Seperti pendakian gunung pada umumnya, sepanjang jalan kita akan menemukan empat pos pemberhentian. Tapi di pos ini tidak ada sumber air tambahan, yang ada hanyalah orang berjualan yang menyenangkan. Jika uang kita berlebih, kita bisa mendapatkan gorengan seharga Rp 2.500 dengan ukuran jumbo. Lumayan mengenyangkan dibandingkan dengan membawa gorengan sendiri dari rumah. Kita juga bisa bercengkerama dengan penjual yang merupakan penduduk Ranupane sehingga pengetahuan kita akan situasi Semeru bertambah.

Ranukumbolo

Ketika berada di Pos 4 yang merupakan pos terakhir itu, kita akan bisa melihat Danau Ranukumbolo yang seberangnya ada banyak tenda warna-warni. Turunan tajam akan disuguhkan oleh alam sehingga kehati-hatian patut dijaga. Di sana ada wilayah rerumputan luas yang pernah digunakan kemah salah satu merk peralatan outdoor dan merusakkan ekosistem alam. Kita tidak diperbolehkan membangun tenda di sana karena ground camp ada di seberangnya. Meskipun di sana juga ada bangunan semi permanen berupa WC umum ala zaman purbakala yang lebih bersih dibandingkan WC umum yang ada di Ranukumbolo.

Danau Ranukumbolo yang mempesona setiap pendaki
Teruslah berjalan mengikuti bibir danau hingga sampai di perkemahan Ranukumbolo. Aturan pendirian tenda jelas, yaitu 15 meter dari bibir danau. Lagi pula dipastikan sudah banyak tenda yang terpasang di sana sehingga kita tinggal ngikut dan menyesuaikan. Jadi istirahatlah sebentar kemudian bangun tenda cepat-cepat agar bisa istirahat dan makan. Pilihan paling bijaksana membangun tenda adalah yang langsung menghadap ke danau. Sehingga keesokan harinya, saat kita membuka tenda, tersaji matahari yang muncul malu-malu yang membiaskan cahayanya di danau.

Keindahan Ranukumbolo yang paling yahut adalah matahari paginya. Ia akan muncul dari balik dua bukit sehingga cahayanya menerobos ke tendamu seperti tanda cinta yang bisu. Jangan tanya bagaimana air danau mendapat siraman cahaya itu; berkilau, seperti mata perempuan yang basah oleh air mata penantian. Sehingga jangan lewatkan moment ini secuilpun. Kata pepatah, lebih baik menunggu dari pada terlambat sama sekali. Bangunlah pukul 05.00 WIB, pasang alarm. Benar-benar jangan lewatkan matahari pagi di Ranukumbolo karena ini adalah moment seumur hidup. Berkali-kali kau ke sana, tetap saja jatuh cinta yang kau rasakan.

Ketika matahari terbit, larilah ke berbagai sudut untuk merekamnya dalam memori kamera. Jangan lupa memotret dari bibir danau dan dari punggung tenda yang berjajar indah. Di belakang kemah kita berdiri bukit yang terkenal dengan Tanjakan Cintanya. Cahaya yang baru bangun semalaman itu akan menumpahkan kasihnya ke tanjakan cinta, sehingga moment itu juga spesial. Abadikan seluruh citra keindahan tuhan yang tampak di bumi ini.

Kebanyakan orang ke Semeru hanya untuk mengabadikan moment di Ranukumbolo. Jika kamu memang hendak ke sini saja, maka nikmatilah sepuas-puasnya hingga kembali ke Ranupane. Tetapi jika tujuan kita adalah Mahameru, maka bersiaplah. Ketika matahari sudah panas, itu artinya acara narsis foto-foto sudah selesai. Waktunya sekarang memasak untuk bekal menuju ke Kalimati. Karena masih dibutuhkan perjalanan sekitar 3-5 jam menuju pos terakhir sebelum Mahameru ini. Sehingga tenaga harus full, meskipun jaraknya tidak sejauh Ranupane – Ranukumbolo.

Ranukumbolo – Kalimati

Paling tidak, pukul 10.00 WIB kita sudah harus berangkat menuju Kalimati. Karena malam nanti, summit attact sudah harus dimulai sehingga semakin cepat kita sampai Kalimati, semakin banyak energi yang bisa kita siapkan. Bahkan, beberapa kawan sudah ada yang meninggakkan Ranukumbolo sejak pukul 08.00 WIB. Sehingga hal yang paling masuk akal adalah berangkat pukul 09.00 WIB. Jika estimasi maksimal perjalanan adalah 5 jam dengan jalan santai kayak di pantai, maka pukul 14.00 WIB kita sudah membangun tenda di Kalimati.

Persiapan air yang perlu di bawa bisa lebih sedikit karena di Kalimati ada sumber mata air. Paling tidak aku menghabiskan setengah botol air mineral ukuran 1,5 liter. Sehingga membawa satu botol perorang sudah lebih dari cukup. Untuk menuju Kalimati ini, kita akan melewati Tanjakan Cinta yang mitosnya biarlah blog sebelah yang membahasnya. Tanjakan ini jika difoto tidak begitu menantang, namun jika sembari memanggul tas carrier ukuran 50 liter saja, sudah dapat menghilangkan nafas. Jadi berjalanlah pelan di tanjakan ini, istirahat sesering mungkin juga tidak menjadi masalah.

Dari tanjakan cinta ini, cobalah memotret Ranukumbolo yang nampak seperti gadis yang sedang dipingit. Mungkin itu akan menjadi foto terbaikmu terkait danau diketinggian 2.600 dmpl. Setelah tanjakan cinta teratasi, kita akan disuguhi Oro-oro Ombo yang kalau musim hujan menyajikan pemandangan bunga ungu –bukan bunga lavender. Kata petugas briefing, bunga ungu ini habitat aslinya di Brazil dan mampu membunuh seluruh tumbuhan sehingag tidak tersisa satu pepohonanpun di sana.

Jalanan sudah mulai menurun dan datar, yang ini adalah hal terbaik bagi seorang pendaki. Langkah kita bisa semakin cepat, tepat, dan meyakinkan. Habis Oro-oro Ombo, kiga akan mendapatkan pos lagi di mana ada orang berjualan gorengan yang mengenyangkan. Dari sini kita sudah memasuki wilayah Cemoro Kandang. Perjalanan selanjutnya kita harus bisa dua bukit. Bukit pertama sulit, bukit kedua semakin sulit. Namun jangan khawatir, setinggi-tingginya bukit akan terlampaui jika jalan tak berhenti.

Bukti kedua yang berhasil kita daki akan mengantarkan kita ke daerah bernama Jambangan. Dari tulisan Jambangan ini, sempatkan berfoto dengan latar belakang puncak Mahameru yang mempesona. Bagi orang yang tidak pernah mendaki Semeru sebelumnya –seperti aku- melihat puncak para dewa itu seperti tak terjamah. Bagaimana bisa seorang pendaki menginjakkan kakinya di sana? Tampaknya hal yang mustahil. Jadi kengerianlah yang muncul. Tapi percaya tidak percaya, bukankah banyak orang yang telah berhasil menuju ke sana? Mulai dari yang amatir hingga profesional, maka kau pun bisa.

Dari Jambangan ini jalanan tinggal datar dan menurun hingga sampai di pelataran luas bernama Kalimati. Silahkan memilih tempat untuk membangun tenda. Perhatikan arah angin dan bangun tenda membelakanginya. Karena angin di sini agak jahat, dibarengi dengan badai sekali-kali. Lebih baik lagi, bangunlah tenda yang berada di balik semak dan di bawah pohon sehingga banyak pengurai kejahatan alam. Sesampainya di Kalimati, segera bagi personel untuk membangun tenda dan mengambil air dari Sumber Mani. Sumbernya lumayan jauh dengan perkiraan 40 menit perjalanan pulang pegi, jalan berliku, dan jangan terlalu sore. Segera masak untuk dua porsi. Satu porsi di makan saat itu juga. Satu porsi lagi di makan nanti saat hendak mendaki Mahameru.

Gunakan waktu dengan bebas, sesuaikan kondisi tubuh, lalu beristirahatlah segera. Semakin cepat istirahat semakin baik untuk memulihkan tenaga guna summit attact sebentar lagi.

Oro-oro ombo, memisahkan Tanjakan Cinta dan Cemoro Kandang saat perjalanan menuju Kalimati

Mahameru

Malam di Kalimati bukanlah malam di Surabaya. Akan ada banyak gemintang bertebaran seperti mutiara di atas pekatnya malam. Kita akan terpesona, lalu tiba-tiba percaya bahwa tuhan itu ada. Waktu aku bermalam di sana, angin ribut sedang datang. Sehingga pukul 20.00 WIB terbangun dan merasakan kengerian yang luar biasa. Aku berfikir tidak akan bisa menuju Mahameru malam itu. Angin datang puluhan kali seperti dengungan pesawat tempur yang mampir di atas tenda. Gerimis datang, dan aku semakin khawatir karena tendaku hanya seharga Rp 150 ribu dengan single layer. Payah.

Akhirnya aku bangkit, memasang jas hujan di atasnya. Berlagak jas hujan akan menyelamatkan tenda dari gempuran hujan, aku kembali ingin tidur. Tapi angin datang dan melemparkan jas hujanku ke tanah begitu saja. Aku bangun lagi, memasang jas hujan lagi dengan setengah ragu. Lalu mencoba tidur lagi dan jas hujan itu terbang entah kemana. Aku pasrah sembari mendengarkan siutan angin yang mengerikan di Kalimati. Andai di kos, angin seperti itu sungguh menyenangkannya buat tidur.

Saat mataku terpejam dan kembali terbuka, waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Aku dengan otomatis bangkit karena berniat berangkat pukul22.00 WIB. Kaos kaki kurapatkan, sarung tangan kukuatkan, jaket, buff, kerpus, dan sepatu kukencangkan. Aku mendatangi tenda teman seperjalanan yang katanya akan berangkat bersama ke Mahameru. Ia bangun dan membuat kopi untuk menghangatkan tubuh. Ia memandang ke langit, lalu yakin bahwa di puncak gunung cuaca cerah.

Kami akhirnya berangkat dengan langkah cepat dan tergesa tepat pukul 23.00 WIB. Perkiraan maksimal pukul 06.00 WIB kami sudah berada di puncak. Rupanya, perjalanan malam hari membuat oksigen semakin menipis. Aku hanya bisa bertahan belasan langkah lalu ngotot ingin istirahat. Ini adalah Arcopodo, masih banyak pepohonan dan semak. Tidak ada jalan rata, semuanya menanjak sehingga kelelahan semakin menjadi-jadi. Aku bertanya-tanya, kapan hutan ini akan berakhir sehingga bisa kulihat Mahameru dan merasakan kerikil menghujami kakiku saat menggerayangi lehernya.

Pukul 01.20 WIB, aku sudah tiba dipucuk Arcopodo ditandai dengan batu nisan besar berukir nama Budiyono. Ia adalah siswa SMA asal Jakarta yang menjadi salah satu korban Mahameru. Berdasarkan teman yang baru kenal itu, kamu harus istirahat setengah jam karena perjalanan setelah ini memakan tenaga hingga aus. Kami bertemu dengan tim-tim pendakian lain yang juga mengaku amatir dan akhirnya bersama-sama ingin menakhlukkan Mahameru. Kami saling kenalan dan tanya alamat, menertawakan diri, dan berbagi air.

Oya, aku membawa dua botol air masing-masing ukuran 1,5 liter. Aku fikir, lebih baik lebih dari pada kurang. Dan nyatanya memang aku hanya membutuhkan satu botol air saja, dan harusnya ditambah dengan madu, coklat, gula merah, atau roti-rotian. Tapi aku hanya punya air saja, dan itu cukup meskipun maksa. Jangan bertaruh apa-apa untuk Mahameru. Paling tidak, ada tiga orang yang ingin mundur di kelompokku ketika mendaki. Mereka kepayahan yang amat sangat, ingin turun atau sekadar tidur di lereng-lereng batu sembari menunggu kawan kembali. Tapi kami saling menguatkan sehingga semuanya harus berjalan pelan.

Selesai Arcopodo, kita akan menapaki jalanan berkerikil dan pasir. Inilah yang dinamakan tanjakan 3 in 1. Setiap tiga langkah naik, akan ada satu langkah mundur. Sungguh, ujian mendaki Mahameru di sinilah tempatnya. Kita akan makan hati karena langkah kita seakan tidak berharga. Melangkah dengan cepat ataupun lambat sama susahnya. Jika ada bebatuan, tampaknya hanya hiasan semata karena tidak bisa dijadikan pijakan. Bahkan, menginjak bebatuan di sana adalah haram karena bisa jatuh dan mematikan pendaki yang berada di bawahmu.

Di sinilah kita akan merasakan kelelahan yang teramat sangat, kedinginan yang teramat sangat, dan kantuk yang teramat sangat. Tiga hal ini yang bisa membunuhmu di Mahameru jika tidak berhati-hati. Karena itu dibutuhkan ketabahan, dibutuhkan teman, dibutuhkan tidur sebelum menuju puncak, dibutuhkan makan dan pakaian tebal saat mendaki. Persiapkan segala sesuatu agar pendakian ke Mahameru menjadi mudah dan menghasilkan.

Waktu itu, yang paling mengganggu adalah kantuk dan dingin. Aku memakai kaos dua lapis, satu sweeter, dan satu jaket Jack Wolfkin palsu berharga murah dari toko outdoor murahan. Tapi tetap saja dingin tidak dapat kuhalau. Hampir-hampir aku muntah karena masuk angin, kepala pening, dan mata kantuk luar biasa. Bahkan saat berjalan pun kantuk menyerang sehingga hampir saja aku terjengkang ke belakang kalau tidak segera sadar. Aku kemudian berteriak dan meneriaki teman yang baru kukenal: ayoooo jangan kalaah!!! Teriakku.

Yang kupikirkan waktu tenaga sudah terkuras habis adalah : banyak pendaki amatir yang telah menakhlukkan Mahameru. Banyak pendaki profesional yang tumbang oleh Mahameru. Banyak cewek alay dan lelaki kemayu yang berhasil naik ke Mahameru. Lalu apa yang membuatku harus jatuh kali ini? Maka kaki terus kugerakkan. Mantraku sekali lagi : bagaimanapun lemah langkah kakiku, aku pasti sampai ke Mahameru asal tidak berhenti.

Disebelah kiri pendakian, matahari muncul perlahan menyisakan semburat merah seperti benang terurai. Aku berhenti dan menunggu matahari itu muncul. Saat cahayanya menyapa tubuhku, langsung saja kantuk dan dingin menghilang. Kelelahan berganti menjadi kelaparan. Aku melirik teman-temanku yang menghisap madu, lalu aku meminta satu. Mereka membawa sekotak besar madu untuk dimakan bersama. Beberapa puluh langkah ke atas, ada pendaki lain yang istirahat sembari memakan biskuit, aku berteriak agar ia tetap disitu karena aku kelaparan.

Jika kita mendaki dan sudah melihat banyak bebatuan besar di atas, maka itu tandanya kita sudha dekat puncak. Ingat-ingatlah itu. Karena puncak tidak bisa dilihat dari pendakian hingga kita melewati batu besar tersebut. Setelah melewati bebatuan ini, barulah kita bisa melihat bendera merah putih berkibar lesu menunggu. Senyumlah, itulah puncak tertinggi di pulau jawa. Tinggal beberapa puluh langkah lagi hingga kau bisa merdeka. Selamanya!.

menemukan teman-teman baru saat menakhlukkan Mahameru

Setelah menakhlukkan Mahameru, bukan berarti kita telah selesai melakukan misi. Karena jika sudah di atas, kita pasti harus turun maksimal pukul 10.00 WIB. Dan turun dari Semeru hanya membutuhkan waktu 1 jam, tapi dengan kesadaran dan kesigapan yang lebih lagi. Jika naik di kerikil dan pasir di atas tanjakan 45 derajat susah, maka turun di jalanan berkerikil dan pasir di turunan 170 derajat lain cerita. Entengnya, kita tinggal meluncur. Tapi harus hati-hati karena kalau kaki kita salah letak, bisa-bisa keseleo, tergelincir, dan berakhir buruk.

Berlarilah kecil-kecil di jalanan berkerikil itu. Jika sepatumu seharga Rp 500 ribu, mungkin akan sangat aman. Namun waktu itu, aku hanya menggunakan sepatu kets yang bisa digunakan kuliah. Alhasil, ia menjadi buaya. Merekah bak bunga matahari sehingga pasir penuh memenuhi sepatuku. Jalur mendaki dan turun berbeda. Jalur turun Mahameru ini bisa dilihat dari jarak pandang yang jauh. Jika ada lereng semeru yang kelihatan rata dari atas hingga bawah, itu adalah jalur turun kita. Sebagian pendaki yang kuberi tahu waktu itu tidak percaya sehingga turun melalui jalur naik. Tak alang kepalang, aku tidak bisa membayangkan betapa sulitnya.

Karena itulah, sebelum mendaki semeru, lebih baik membaca segala-galanya di blog yang sudah menyebar di internet. Namun sebanyak yang kubaca, memang tidak ada yang memberi tahu jalur turun yang begitu menyenangkan ini. Jika bisa dibayangkan, kita hanya butuh pelepah kelapa, kita naiki, dan bersiap-siaplah meluncur hingga ke bawah. Jika sudah sampai tenda di Kalimati, kita bisa istirahat sebebas-bebasnya hingga pukul 15.00 WIB jika kita ingin melanjutkan perjalanan ke Ranukumbolo hari itu juga.

Aku sendiri berangkat ke Ranukumbolo pukul 16.00 WIB karena pukul 11.30 WIB baru tiba di camp Kalimati. Aku ingin tidur namun tidak bisa sehingga aku hanya berangin-angin di bawah pohon sambil bercerita betapa heroik perjalanan semalam. Namun kelelahan ketika mendaki Mahameru tidak bisa disembuhkan dengan cepat. Aku masih capek dan tidak ingin bergerak karena kakiku rasanya sakit semua. Namun perjalanan masih harus dilanjutkan, sehingga pukul 16.00 WIB aku berkemas dan berangkat. 

Sesampainya di Oro-oro Ombo pukul 17.00 WIB, hujan sudah menyerbu. Terlambat menggunakan jas hujan, membuat baju, sweeter, dan jaketku basah. Dingin langsung menusuk tulang gara-gara salah strategi. Tapi tak apa, bukankah hidup tak melulu tentang keberuntungan? Jadi aku tetap berjalan hingga pukul 18.30 Wib sampai di Ranukumbolo dalam keadaan basah. Aku masuk shelter dan merebahkan tasku di pojokan. Orang banyak berdesakan di sana, dan ada pak tua penjual gorengan yang sedang menyalakan perapian. 

Aku langsung nimbrung dan ngobrol tentang kesukuan di Ranupane, hujan di Ranukumbolo, hingga mitos dan atraksi budaya masyarakat setempat. Angin yang datang sungguh membuat tulangku bergidik. Aku segera ganti kaos satu-satunya dan kembali menekuri perapian. Sungguh biadab hujan malam itu, karena hingga pukul 21.00 WIB, tak kunjung reda. Setelah tertidur sebentar di samping perapian, aku mendapati hujan telah berhenti.

Otot dan pikiran kaku sekaku-kakunya. Tulangku bergemeretak. Lalu mengambil tenda yang menggantung manis di tas carrier Consina Tarebbi 70 literku, dan mulai membangunnya ditengah-tengah pemukiman asing. Tidur malam itu adalah tidur paling dingin yang kurasakan. Hanya mengenakan kaos dan celana pendek, aku meringkuk dalam sleeping bag murahan merk Jack Wolfkin. Dingin serasa di neraka. Aku tidak bisa tidur dengan nyenyak meskipun membangkitkan alam bawah sadarku bahwa aku tidur dalam dekapan kekasih –karena itulah aku tidak percaya kekuatan pikiran dan semacamnya. Aku tetap kedinginan hingga keesokan harinya, aku bangun pukul 06.00 WIB, melewatkan sedikit keindahan matahari.

pose sebelum mengambil air untuk memasak kopi di Ranukumbolo
Sembari memuja cahaya matahari, aku memasak nasi dan kopi. Aku ingin segera cabut ke Ranupane agar bisa menyelesaikan misi ini secepatnya. Jadi usai makan, aku bersiap tapi malah harus menunggu teman perjalanan semalam yang belum berkemas sama sekali. Jadilah pukul 10.00 WIB kami baru beringsut dari Ranukumbolo dan berjalan perlahan menuju Ranupane yang memakan waktu 4 jam.

Perjalanan menuju pulang ini janganlah dilakukan dengan tergesa sebagaimana ketika berangkat. Karena kaki yang sudah terbiasa mendaki, akan menyesuaikan lagi dengan kebiasaan turun. Paling tidak akan ada urat kaki yang salah karena belum beradaptasi. Bisa saja tungkai keseleo kalau tidak hati-hati, atau engsel di lutut seperti peer kehabisan oli, dan betis yang mengeras seperti batu kapur. Berhati-hatilah selalu demi kesehatan diri sendiri. Ambil istirahat yang dibutuhkan. Jangan mentang-mentang hendak pulang, lalu kau memaksakan keadaan.

Setibanya di Rabupane, langsung saja menuju pos pengambilan KTP asli yang ditinggal empat hari lalu. Jika KTP asli sudah kau genggam, maka kau berhak terbang bebas ke angkasa. Ucapkan syukur dan berteriaklah sepuasnya. Di samping aula ada beberapa kamar mandi yang bisa digunakan untuk membasuh muka yang kecut. Ada juga beberapa warung yang bisa digunakan untuk melampiaskan makanan yang selama ini ditahana. Karena akan ada banyak kerinduan di puncak gunung terhadap nasi padang sambal balado ikan rendang, mie ayam ceker, dan soto ayam panas pedas dengan teh hangat yang mempesona.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.