Skip to main content

Overview Film Kon Tiki



“lakukan seperti penduduk asli, sampai ke detil terkecil. Jangan gunakan paku jika mereka menggunakan tali, jangan gunakan baja jika mereka  menggunakan tulang, nenek moyang perlu belajar 1000 tahun, dengarkan mereka”. –Peter Freuchen.

Akan ada banyak orang yang meragukan apa yang kau yakini meskipun disertai dengan sebuah argumentasi –yang sepertinya masuk akal. Entah orang-orang itu tidak setuju karena membencimu, ataupun karena memang keyakinanmu tidak masuk akal. Dan dimentahkan oleh orang lain adalah pengalaman yang menakutkan.

Namun dalam ketakutan ini, selalu akan ada ketakutan yang lain. Dan bagi kebanyakan orang, ketakutan akan membuat mereka putus asa. Sedangkan bagi sebagian yang lain, ketakutan membuatnya semakin berani. Paling tidak, itulah hal yang dapat kita lihat dari kisah akhir sebuah film yang di release pada tahun 2012 ini, Kon-Tiki.

Film Luar Biasa?

Bagiku, melihat film ini memang terlalu terlambat. Dirilis tahun 2012 namun baru saya lihat tahun 2015. Namun tidak apalah, hal-hal yang universal tetap bisa kita lihat dalam setiap hasil karya manusia. Dan di dalam film ini, kita akan melihat sebuah keberanian –dalam kata lain adalah kenekatan, bisa membawa perubahan besar –meskipun harus dibarengi dengan pengorbanan.

Dan apakah ini film yang luar biasa? Di satu sisi, film Kon-Tiki memiliki banyak kesamaan dengan film hollywood pada umumnya. Namun Kon-Tiki tidak dibuat oleh Hollywood melainkan oleh lembaga film di Swedia. Untuk perjuangannya sendiri, hampir sama dengan film “semacam” the Son of God dan Noah yang memperjuangkan keyakinan agamanya meskipun diolok-olok oleh kaumnya.

Kalau dari kisahnya ditengah lautan, memang tidak dapat mengimbangi film Life of Pi yang begitu dramatis, artistis, dan penuh teatrikal di tengah lautan dengan hanya Pi dan seekor Harimau Benggala. Dan perjuangan hidup semacam film ini, bisa kita dapatkan pada tokoh utama Cast Away atau Chris Gardner dalam The Pursuit of Happynes.

Jadi apakah film luar biasa? Ada satu hal yang membuat film ini luar biasa. Bahwa film ini bukanlah fiksi (sama dengan cast away dan the pursuit of happynes). Namun keunikannya, film Kon-Tiki memperjuangkan sesuatu yang bernilai ilmiah. Si Tokoh Utama, Thor Heyerdahl yang sekaligus seorang ilmuwan  ini begitu kuat keyakinannya untuk membuktikan bahwa penduduk Fatu Hiva, Polynesia, berasal dari Peru, Amerika Selatan.

Cobalah lihat peta, dan rasakan bagaimana hal itu mungkin terjadi.

Alkisah, film ini bermula dari seorang antropolog-etnografer yang melakukan penelitian di sebuah pedalaman bernama Fatu Hiva, Polynesia. Ia tinggal bersama mereka selama lebih dari 10 tahun demi melakukan penelitian doktoralnya bersama pacar-istrinya, Liv, hingga berjenggot lebat tidak terurus. Dari sanalah ia memahami budaya dan sistem sosial kemasyarakatan di sana, termasuk sistem beragamanya.

Dalam penelitiannya itu, ia mendapati kesimpulan bahwa masyarakat di Polynesia bukanlah berasal dari Asia sebagaimana pendapat ilmuwan antropolog pada umumnya. Thor ngeyel bahwa bangsa Polynesia ini keturunan orang Peru, Amerika Selatan yang telah berlayar melewati 8000 km lautan dengan rakit sederhana.

Setelah Thor pulang dengan kesimpulannya, sang Professor yang menjadi dosen pengujinya terkagum-kagum dengan hasil penelitian Thor. Namun sesuatu yang mengagumkan tampaknya tidak mudah dipercaya, sehingga sang professor juga enggan percaya –karena rasanya mustahil. Ia dengan enteng : “Rakit? Hahaha... apakah kau ingin teorimu di terima? Apakah kau merasa benar? Maka berlayarlah dari Peru ke Polynesia dengan rakit Kayu Balsa itu.” Sang professor melemparkan berkas penelitian si Thor, tidak lupa terkekeh sembari berkata: Good Luck!.

Percaya Diri


Thor menghadapi kenyataan pahit. Sejak ditantang oleh sang Professor, ia kemudian mencari sumber dana kemanapun untuk bisa membuktikan teorinya sendiri. Ia hendak berlayar dari Peru ke Polynesia yang memiliki jarak 5000 Mil atau 8.000 km melintasi Laut Pasifik yang ganas. Thor sangat yakin dan percaya diri, bahwa laut bukanlah hambata, tetapi jalan, bukanlah rintangan, tetapi jalur.

Ia berbicara dengan majalah ilmiah, ia berbicara dengan pelaut, ia berbicara kepada setiap orang yang diharapkan dapat membantu perjalanannya, namun nihil. Ia terpuruk di dalam kamarnya, tidur dalam kedinginan yang bukan oleh cuaca, tetapi oleh dinginnya tatapan setiap orang yang tidak mempercayai kepercayaan dirinya.

Orang-orang seperti ini, akan banyak sekali kita lihat di jalanan Indonesia. Orang yang memiliki idealisme tinggi, namun tanpa harapan. Dan ia harus ditolong. Saya sering kali melihat film yang mirip seperti ini. Mereka harus ditolong oleh sebuah harapan kecil dari teman. Pada saat keputusasaan Thor itulah, Herman Waltzinger datang dengan memperkenalkan diri sebagai insinyur, tetapi pekerjaan terakhirnya adalah tukang kulkas.

Dari sinilah Thor kembali memperoleh kepercayaan. Herman menunjukkan cara bagaimana agar kayu balsa yang akan digunakan rakit tidka bergesekan sehingga memutuskan tali-tali di tengah laut hingga kayu berpencaran. Keyakinan ini membawa perubahan. Ia akhirnya menemui raja namun tidak jelas raja mana, yang kemudian mengantarkannya kepada Angkatan Laut Kanada yang diminta untuk memenuhi seluruh kebutuhan Thor beserta enam kawannnya untuk ekspedisi ilmiahnya tersebut.

Keputusasaan yang hampir terjadi itupun tertolong. Dan inilah sesungguhnya kehidupan. Dalam film Divergent, pasukan Dauntless (berani) diajarkan untuk bertahan hingga titik terjauh, baik fisik maupun mental. Karena dari sanalah akan muncul mukjizat berupa pertolongan tuhan, berupa kemudahan-kemudahan sebagaimana yang dijanjikan: setelah kesulitan akan ada kemudahan.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.