Skip to main content

Mencari Hidup Bahagia


Kenyataannya, hidup tidak semudah sebagaimana yang kita bayangkan. Dari ratusan teman BBM, dan ribuan teman Facebook, mungkin hanya satu persen yang tidak pernah mengeluh, dan selalu “terlihat” bahagia. Hampir 99 persen lainnya mengeluh dan mengumpat, atau bersembunyi dalam doanya kepada tuhan melalui quote yang ia temui di internet.

Mengapa banyak yang sedih di dunia ini? Adalah hal yang sangat membingungkan bila Allah menciptakan kehidupan menyedihkan yang selalu mengelilingi umatnya. Tapi sekaligus menggelikan karena Allah bukanlah makhluk, tapi Dia adalah Tuhan, yang dengan demikian ia menciptakan segala sesuatu dengan sempurna. Maka jalan rumit yang diusulkan oleh Pak Kiyai adalah : semua ada hikmahnya.

Kehidupan memberikan kita fasilitas berupa kesulitan sehingga kita bisa berjuang, juga kemudahan agar kita tidak putus asa. Itulah esensi yang mestinya kita tahu. Maka dari itu, belajar adalah hal yang sangat baik, belajar serius melakukan sesuatu yang tidak kita senangi. Akan ada banyak kesulitan dalam perjalanan ini, dan yakinlah bahwa bukan hanya kita sendiri yang mengalaminya.

Semua orang pernah mengalami bahwa hari itu adalah hari terburuk sepanjang hidupnya. Lalu esok hari setelah persoalan itu selesai, ia lupa bahwa ia telah menghentikan hari terburuknya tersebut. Dan saat ia merasa bahwa hari itu adalah hari terbaiknya sepanjang masa, ia juga lupa bahwa besok akan menghadapi kesedihan lagi.

Lalu adakah orang di dunia ini yang berbahagia terus menerus tanpa pernah bersedih? Tentu saja tidak ada. Kebahagiaan dan kesulitan itu ada sesuai dengan porsinya. Kita yang menjadi manusia normal, akan memandang setiap orang yang berkelas seperti Harry Taoesoedibjo, atau Dahlan Iskan, atau Choirul Tanjung, atau Jacob Oetama sebagai orang yang selalu bahagia.

Dan kalau kita memandang anak-anak gelandangan, penjual pentol yang keliling pakai sepeda ontel, pengemis yang rumahnya di bawah jembatan, orang tua yang berjualan pracangan di pinggir jalan setiap hari Minggu pagi, dan yang sebangsa dengan mereka, adalah orang-orang yang selalu bersedih dan berkesusahan.

Kita bisa melihat, bahwa pandangan kebahagiaan dan kesedihan kita lebih didasarkan pada kepemilikan materi, bisa uang atau pakaian atau kendaraan, dibandingkan dengan kepemilikan hati yang bersih. Ini adalah sesuatu yang naif. Bahkan kita sebetulnya tidak benar-benar mengerti ukuran kebahagiaan.

Sebagian besar kita faham bahwa kebahagiaan bukan didasarkan pada hal-hal yang bisa dilihat, namun dalama prakteknya kita selalu lupa. Itulah manusia. Kita yakin bahwa kekayaan paling penting adalah kaya hati, tapi sekaligus kita melupakan keyakinan itu dengan mengambil harta dan hal-hal fisik sebagai tolok ukur.  

Kepada setiap orang saya selalu bilang bahwa jangan menyerah untuk bahagia. Kenapa jangan menyerah? Karena kebahagiaan adalah tujuan utama. Demi kebahagiaan, semuanya harus dikorbankan. Susunlah kebahagiaan menurut kita sendiri, lalu perkirakan apa saja yang perlu dilakukan untuk meraih kebahagiaan tersebut.

Kita musti belajar apapun juga untuk meraih kebahagiaan itu. Jika kita memang yakin bahwa kebahagiaan adalah berhubungan dengan uang, maka tidak perlu malu-malu mengungkapkan bahwa uang adalah sumber kebahagiaan kita. Tunjukkan kepada orang-orang bahwa kamu mengejar uang.  

Jika kebahagiaan adalah bekerja dengan orang-orang secara sosial demi mewujudkan kehidupan orang lain yang sejahtera, maka peganglah pekerjaan sebagai pekerja sosial. Dan bila bahagiamu adalah dengan memiliki istri yang cantik lagi kaya, maka berjuanglah demi cita-cita tersebut.

Tentu saja, semua itu harus didasarkan pilihan rasional, memilih dengan hati tanpa emosi, pikiran tenang dan damai, dan akal yang sehat lagi beradab. Semua orang berhak bahagia dengan pilihannya masing-masing, namun ketahuilah pilihanmu dengan rasional agar kebahagiaan menjadi lebih dekat dan mudah dicapai.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.