Skip to main content

Rumah Penyala




home is where the heart is –Pliny the Elder

Sambil menonton kembali film yang mengingatkanku pada neraka; SAW VI, aku secara tidak sengaja berfikir tentang rumah. Mulai membayangkannya, lalu tersenyum.

Kadang, dalam perjalanan panjang ini, kita menemukan sesuatu yang kita nyaman berada di dalamnya. Aku akan menyebutnya rumah. Sebagaimana ketika kita kecil, rumah menjadi tempat yang selalu kita huni, jaga, dan rindukan. Meski pada waktu itu kita tidak pernah memperhatikan perasaan, kita tahu bahwa rumah mendapatkan tempat yang istimewa dalam perasaan kita. Di samping ada ibu yang selau menunggu kita sepulang sekolah dengan masakan yang mesti pas di lidah, juga ada tempat tidur yang nyaman, yang tidak bisa digantikan dengan tidur di rumah teman.

Lalu semakin kita besar, kita terbiasa meninggalkan rumah yang indah itu karena beberapa pikiran realistis. Banyak hal yang membuat kita meninggalkan rumah, salah satunya adalah sebuah perjalanan menemukan diri sendiri, aku menyebutnya backpacker –meskipun tidak secara keseluruhan. Seperti saat ini, rumahku yang indah itu melintasi lautan. Dan berdiri di sini menatap atas cakrawala yang selalu membuatku penasaran, ku menemukan rumah yang baru. Rumah yang tidak ada omong kosong di dalamnya, rumah yang bisa membuatku menangis tertahan, senyum mengembang, dan tentu saja bangga tiada tara.

Mereka menyebutnya Penyala. Lalu aku menyebutnya rumah penyala. Dari sini, aku yang pernah merasa sudah terlalu lama hidup di dunia ini sehingga pantas untuk tinggal di desa tanpa peradaban, merasa ingin hidup berkali-kali, tersebab senyum ramah yang sering kutemui di rumahku yang baru ini. Terlebih karena kita bisa membahagiakan orang lain berkali-kali, bahkan lebih dari kemampuan kita membahagiakan diri sendiri.

Rumah bahkan lebih penting dari yang kita pikirkan. Dari sini muncul berbagai macam karakter yang pernah kita ketahui, muncul dalam lingkungan sosial kita yang eksentrik. Rumah membantuk mental, membentuk kepribadian, bahkan dapat membentuk kecerdasan kita. Jika kita tepat membangun rumah, baik secara fisik (bangunan) maupun non fisik (kenyamanan) maka kita sungguh telah menumbuhkan keluarga yang sejahtera. Karena rumah adalah segalanya. Dan Confusius, pernah berkata “the strength of a nation derives from the integrity of the home”.

Pada cerita yang lain, suatu kali, dengan nada sinis, seorang mantan pacar yang sudah menikah bertanya padaku; “apa tujuanmu hidup sekarang, sayang?”. Aku membayangkan bahwa dia memiliki seringai mengerikan dan taring tajam yang ingin menerkamku hidup-hidup. Aku menjawab dengan hatiku yang lurus; “untuk kebahagiaan orang lain”. Waktu itu aku menjawab dengan sangat serius karena sedang melamar menjadi Pengajar Muda –keinginan yang sudah wafat beberapa bulan yang lalu karena gagal seleksi. Lama-kelamaan aku menertawakan jawabanku sendiri, dan meragukan apakah ada kehidupan macam itu? Dan yang lebih penting, apakah aku sanggup menjalani kehidupan yang sedemikian?

Akhirnya kuputuskan menjadi backpacker, dalam arti yang kubuat sendiri, melakukan perjalanan dengan caraku sendiri, tanpa harus tahu pandangan orang lain tentang backpacker tersebut. Hal ini sebenarnya menyesatkanku karena aku sudah terlanjur akrab dengan dunia akademis. Sebuah pilihan rasional bagiku, karena selama kuliah aku begitu dalam menyelam ke paru-parunya. Lalu semuanya berhamburan seperti kuman terkena sabun cuci, aku kutu, bercerai dari cita-cita lalu menekuni hobi lama yang menyenangkan.

Mungkin jawabanku atas pertanyaan sinis diatas menyumpahiku. Karena sekarang, di Makassar, aku secara ajaib terlibat menjadi anggota penyala makassar. Tenang, I’m not a madman. Sebenarnya aku sadar, hanya sesekali sok tidak sadar. Begitu pula di penyala makassar ini, rumah baru yang bercat semangat, berkeringat di gelap matahari, berpanas dari emosi dan bergulat pada kemanusiaan, aku banyak belajar dari mereka. Dari orang-orang yang hampir tidak mengelap keringat di dahinya –kecuali itu keringat sungguhan yang memang menyebalkan.

Lalu, sebagaimana rumahku yang diseberang lautan, yang tidak selamanya kuhuni meski sangat ingin, seperti itulah rumah penyala. Tangan yang terkepal pada awal perjalanan, telah mendidihkan jantungku menuju ujung timur indonesia. Aku tidak bisa berhenti pada rumah yang ini. Aku tahu, rumah memang sejatinya sebagai tempat peristirahatan yang sempurna sebelum kita kembali pada perjalanan yang sebenarnya. Aku singgah pada rumah-rumah yang menampung semangatku. Meski ada ragu menyergap, kuyakin itu hanyalah tantangan dari diriku sendiri untuk melangkah sedikit lebih jauh.

Mengenal sosok-sosok inspiratif ini, aku ingin kembali percaya pada energi positif yang mampu kita tebarkan. Namun selalu, ketakutanku menghancurkan diriku sendiri. Aku selalu takut banyak bicara karena pengalaman telah mendidikku untuk banyak bicara. Meski pada suatu waktu, banyak bicara telah memerangkap mulutku pada pilihan hidup dan mati. Sehingga, biarlah aku menjadi penggembira dalam rumah baruku ini. Yang membuat gosip tentang perkenalan, juga membuatkan puisi untuk kalian nikmati sebelum tidur malam. Aku senang, aku bangga pada kalian. Meski kebanggaanku ini tidak berpengaruh apa-apa, karena aku bukanlah siapa-siapa. Aku hanya seorang pelancong yang suatu hari mesti melanjutan perjalanan, lalu kita sama melanjutkan hidup masing-masing.

Yang kutahu akhirnya, meskipun pada suatu hari nanti kita pulang, kembali pada rumah kita yang dulu, semua tidak akan pernah sama lagi. Maka kuberharap, ketika aku berkunjung ke rumah penyala, ia bukan lagi sekumpulan orang yang berjuang keras demi kebahagiaan orang lain, tapi juga berisi segala sesuatu yang dibutuhkan untuk kebahagiaan diri sendiri, juga kebahagiaan orang lain. Karena, charity begins at home, but should not end there. -Thomas Fuller. ^^

Namun aku tidak ingin mengucapkan selamat tinggal itu sekarang.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.