Skip to main content

Fight Club


Sepertinya, dalam tiga film terakhir yang kutonton menyajikan sebuah kesimpulan yang agak melenceng dari pemahamanku. Fight Club (1999), Melancholia (2011), dan The Art of Getting By (2011), memunculkan tokoh utama yang sama-sama memikirkan tentang kematian. Yaitu, kerelaan hidup untuk menerima segala hal yang terjadi di dunia ini, bahkan kematian itu sendiri.

Aku mengambil sesuatu dari sini, semacam generalisasi atas orang-orang yang tak percaya kepada agama. Maka ada perbedaan mendasar antara orang beragama dan atheis dalam menyikapi kematian. Bagi orang beragama, terutama saya, akan menyikapi kematian dengan baik. Dalam artian, menyiapkan diri menjadi lebih baik demi menghadapi kematian. Ini mungkin, tak lain, karena tuhan telah menetapkan sebuah pengadilan yang maha adil setelah kematian ini. Sedangkan bagi orang yang tak beragama, tidak ada pertanggungjawaban apapun terhadap kematian. Pada skala lebih besar, orang yang tidak percaya kepada alam kubur, atau alam lain sesudah kematian, akan berpikiran sama dengan dengan orang atheis –meskipun dia beragama.

Tyler Durden, yang dibintangi oleh Bradd Pit, memainkan peran besar dalam film Fight Club. Ia berperan sebagai bayangan yang senyata pikiran kita sendiri. Pernah lihat film Beautiful Mind? Tyler Durden adalah manusia imajiner yang hidup dalam diri seorang narator film. Jadi ada satu orang yang memiliki dua kepribadian. Dan itu hal yang wajar mengingat dunia sekarang adalah dunia yang penuh dengan tipuan. Dari judulnya, ini terlihat seperti fim laga yang penuh dengan kejar-kejaran mobil, pukul memukul, tinju, kriminal, narkoba, dan sebagainya, namun lebih dari itu, ini film tentang kehidupan sesungguhnya.

Pernah berfikir bahwa kita dikendalikan oleh sesuatu? Cobalah fikirkan, apa yang mengendalikan kita. Hentikan membaca selama satu menit. Lalu kita akan terkesiap karena kita dikendalikan oleh iklan yang berseliweran dalam setiap kesempatan yang ada. Di mana-mana kita bertemu dengan iklan. Itulah gaya hidup. Dan film ini seperti ingin menggugat gaya hidup yang hanya sekedar ‘sesuatu yang tidak pernah kita butuhkan’.

Kita adalah budak iklan, kita sadar. Itulah pesan yang ingin di sampaikan oleh film ini. Kita yang membeli ini itu tanpa tahu kebutuhan apa yang sebenarnya. Kita hanya menginginkannya, lalu kita membeli karena perusahaan iklan begitu cerdas untuk membujuk kita –oh, tunggu, atau kita yang terlalu bodoh untuk dengan mudah di bodohi? Tyler, yang mengaku budak iklan, memang tidak bisa menghentikannya. Ia punya uang, dan dengan mudah tertarik; meja kopi berbentuk Yin-Yang, Sepeda Rumah Hovertrekke, Sofa Omashab dengan pola garis hijau, lampu ryslampa dari kertas mentah, bahkan peralatan makan dengan gelembung kecil dan ketidaksempurnaan.

Dalam The Confession of Shopaholic (2009) dijelaskan secara tersurat, di ucapkan oleh Rebecca Blomwood “When I shop, the world gets better, and the world is better, but then it's not, and I need to do it again”. Apakah benar bahwa ketika kita berbelanja, maka dunia terasa lebih baik? Mungkin bagi kita yang tidak pernah kecanduan belanja, akan mengatakan itu pertanyaan bodoh. Tapi bagaimana dengan orang seperti Blomwood? Tyler? Iklan telah benar-benar membunuh kita selagi kita hidup. Sekarang,  di sini, kita mati berdiri menggunakan semua hal yang merupakan hasil dari pesona iklan. Seorang perempuan, mungkin bangga mengucapkan hal ini : I wear, jacket : Visa, Dress : Amex, Belt : MasterCard, Bag : Gucci (Blomwood dalam film yang sama).

Dan harus ada seseorang yang mulai memikirkan ini dengan benar, lalu mulai menghancurkan dunia ini. Di mulai dari sebuah club kecil, tempat orang bebas berfikiran apapun –bahka melakukan kekerasan. Memukul temannya sendiri dengan bangga, membuat darah yang mengalir indah itu muncrat kemana-mana, lalu selesainya mereka berpelukan dan saling tertawa. Tentu, tak pernah terbayangkan club hancur macam begitu. Kata Tyler “Seberapa banyak kau akan mengenal dirimu jika kamu tidak pernah berkelahi? Aku tidak mau mati tanpa luka” lalu terbentuklah sebuah “Fight Club”. Judul film sekaligus tempat di mana semua di mulai.

Tyler yang memiliki sisi “fight club” ini berbeda dengan Tyler yang bekerja di Kantor. Jadi, ia berperan ganda antara menjadi pengikut dan atau menjadi pemikir utama. Tyler yang fight club inilah yang sebenarnya mencuri perhatian penonton karena ia memiliki pemikiran yang berbeda dengan umumnya manusia. Ia seorang yang siap menerima segala sesuatu. Suatu sisi lain yang kadang di tolak oleh manusia karena selalu ingin menjadi pengendali dalam segala situasi. Maka pada suatu kali, Tyler mengendarai mobil dan membiarkannya menuju segala arah. Berakhirlah mobil itu ke jurang.

Orang ini, yang sudah siap menyerahkan semuanya kepada kematian, benar-benar kesulitan memahami dunia dari sisi kapitalis. Satu-satunya hal ideal yang ada dalam pikirannya adalah bahwa dunia ini harus menjadi baik. Tidak ada lagi iklan yang selalu melakukan kebohongan publik tanpa dikenai denda atau hukuman penjara. Ia katakan bahkan, “apakah guna penutup ranjang yang tebal?” “sebagai penghangat, selimut!” “Lalu mengapa kita mengenal duvet? Apakah itu penting untuk keselamatan kita?” Setelah ku searching apa itu duvet, ternyata semacam bed cover yang nyaman dan berharga mahal.

Lalu dengan nada tetap sinis, Tyler melanjutkan “Kita hanyalah konsumer. Pembunuhan, kejahatan, kemiskinan, tidaklah kita pedulikan. Yang kita pedulikan hanyalah majalah artis, televisi dengan 500channel, nama orang yang tercetak dalam celana dalam –rogaine, viagra, olestra, martha stewart…”. Yup, jika yang lain menyimpulkan bahwa kita adalah apa yang kita baca, maka aku berkata: kita adalah apa yang kita beli.

Dan cara mereka yang telah siap untuk mati ini adalah dengan menghancurkan semuanya. Ini pasti sangat tidak sesuai dengan kepercayaan yang dimiliki oleh kaum beragama. Bertolak belakang. Fight Club dibentuk untuk tujuan menghancurkan peradaban modern yang susah payah dibangun ini. Mereka menjadi agen-agen inteligent persis seperti freemason yang menyelinap dalam organisasi apapun. Ia seperti sel-sel mandiri, terorganisir dengan sangat teratur untuk membuat kerusakan mendalam pada tubuh kebudayaan manusia.

Jadi, film ini benar-benar membuatku begidik tentang apa yang terjadi pada dunia ini. Membuka mataku, sekaligus menutup mataku dalam-dalam.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.