Skip to main content

Pilkada Malang Tanpa Media Sosial


Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memunculkan budaya cepat saji untuk segala urusan. Handphone, misalnya, bisa memutus jarak komunikasi ratusan kilometer yang awalnya terasa mustahil. Bepergian pun sudah semakin mudah: pesan tiket menggunakan aplikasi, pesan ojek dan taksi menggunakan aplikasi, hingga pesan makanan pun menggunakan aplikasi. Termasuk media sosial yang memudahkan interaksi antar manusia dengan jaringan internet yang tidak pernah delay.

Media sosial ini bergerak cepat melebihi media konvensional dalam penyebaran informasi. Bahkan informasi di media sosial tak terbendung karena kemampuannya menjangkau seluruh khalayak, akses yang friendly, hingga biaya super murah. Tidak hanya digunakan ala kadarnya, tetapi media sosial juga dipakai untuk berbagai keperluan yang membutuhkan penanganan profesional, seperti bisnis, pendidikan, social movement, hingga suksesi politik. Politik yang awalnya kegiatan serius, harus lebih cair demi mendapatkan keuntungan dari dukungan generasi muda yang lebih mudah dijangkau dengan media sosial. 

Nurudin (2017) dengan baik memaparkan mengenai terpaan media massa yang tidak selalu berbanding lurus dengan perilaku masyarakat. Karena itu, politisi harus mampu membungkus iklan politiknya dengan lebih kreatif dan menyamarkan tendensi dibalik aktivitas-aktivitas mencari dukungan. Masyarakat memang sudah dewasa, tetapi bukan berarti sikapnya tidak bisa diubah. Media sosial yang dipenuhi oleh pemuda yang tengah mencari jati dirinya patut menjadi pertimbangan menghadapi iklan politik yang bombastis di media konvensional.

Sayangnya, dalam persiapan Pilkada Kota Malang, media sosial masih dipandang sebelah mata. Buktinya, politisi, partai politik, maupun orang-orang yang hendak mencalonkan diri sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Malang, masih belum memaksimalkan penggunaan media sosial. Hanya Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang beberapa kali update informasi seputar Pilkada di Facebook. Media sosial di Kota Malang masih lebih banyak didominasi informasi sampingan, belum menuju dukungan apalagi diskusi yang dipandu oleh tokoh politik. Bisa jadi, media sosial akhirnya tidak termanfaatkan dalam Pilkada yang diselenggarakan pada Juni 2018 ini.

Manfaatkan Generasi Milleneal!

Generasi milleneal merupakan sekumpulan remaja yang diklaim lebih banyak menggunakan gadget dan media sosial dibanding berdiskusi secara langsung (face to face). Generasi ini juga, menurut Majalah Time, adalah generasi yang sangat bergantung pada teknologi, individualistik, dan sayangnya, apatis terhadap politik. Upaya-upaya pedekatan terhadap generasi ini, selain menggunakan teknologi, rasanya mustahil. Karena itu, para petinggi politik perlu gerak cepat untuk menggalang dukungan dari remaja acuh tak acuh ini.

Dalam berbagai pemberitaan di media massa, termasuk di Malang Post beberapa waktu lalu, Yaqud Ananda Gudban disebut sebagai Calon Wali Kota Malang yang mewakili generasai muda. Hal itu betul jika hanya memandang perbandingan usia antara Yaqud dengan calon yang lain. Tetapi hal ini pun masih klaim. Karena mungkin malah terjadi kebalikannya, Calon Wali Kota dari Partai Kebangkitan Bangsa, Moh Anton, lebih millenealis di banding Yaqud Ananda Gudban, termasuk penantang mereka berdua: Sutiaji.

Calon yang diusung oleh tiga partai besar ini harus memperhatikan apakah dirinya beutl-betul merupakan wakil dari generasi zaman now yang aktif bermain gadget dan bisa diajak berinteraksi dengan gayeng melalui media sosial. Jangan dilupakan bahwa generasi milleneal bukan hanya soal usia, tetapi juga budaya. Karena generasi millenal sangat akrab dengan media sosial maka calon yang hendak mendapat dukungan dari mereka harus juga memainkan media sosial.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Malang telah merilis bahwa pemilih pemula di Pilkada tahun 2018 mencapai 30 persen dari 650 ribu pemilih, yakni sekitar 195 ribu orang. Didasarkan data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Pemkot Malang, untuk pemohon Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang baru di tahun 2018 diperkirakan mencapai 68 ribu. Dukungan dari generasi milleneal ini tentunya tidak bisa dipandang sebelah mata, meskipun KPU hanya menargetkan partisipasi pemilih sebanyak 20 persennya saja. Jika salah satu calon bisa menggalang dukungan dari pemilih pemula, tentunya akan berdampak signifikan pada penambahan suara yang telah disumbang oleh generasi yang lebih senior (baby boomer).

Mengapa melalui media sosial? Karena media sosial bisa menciptakan suatu hubungan imajiner yang rekat antara calon dan konstituennya, baik secara personal maupun kelompok. Meskipun di media sosial orang-orang bisa lebih cerewet, mempertanyakan segala sesuatu, banyak menuntut, dan bisa secara terang-terangan menyerang atau mendukung, namun itulah dinamika memahami masyarakat. Bagaimanapun, orang-orang seperti Moh Anton, Sutiaji, dan Yaqud adalah public figure yang jauh dari jangkauan masyarakat biasa. Sehingga ketika menyapa langsung warganet melalui media sosial, berdialog, diskusi, dan ngobrol dengan terbuka, tentu mereka akan mendapatkan tempat tersendiri di hati masyarakat.

Dilihat dari komunikasi politik yang dilakukan banyak partai dan tokoh penting di Malang, fokus mereka masih pada koalisi dan mencari dukungan di tingkat atas. Mereka masih belum memikirkan betapa pentingnya memulai membuat grup-grup dukungan di media sosial, masuk ke berbagai komunitas dan menyikapi berbagai persoalan warga melalui media sosial. Harus ada satu tim yang dibentuk untuk sesegera mungkin mengurusi soal media sosial. Jika tidak, maka dalam jangka waktu yang sempit ini, tidak mungkin para tokoh mampu meraup dukungan milleneal.

Di banyak negara, media sosial telah menunjukkan kekuatannya dalam menggalang dukungan politik. Selain Barack Obama yang selalu dijadikan contoh politisi yang mampu memanfaatkan kekuatan media sosial, kemenangan Jokowi-Ahok dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012 juga bisa dicontoh. Tim pemenangan mereka dengan kreatif membuat video parodi dari lagu What Makes You Beautiful serta flashmob baju kotak-kotak khas Jokowi-Ahok sehingga muncul gelombang #JokowiEffect.

Jadi sudah saatnya, politisi tidak hanya bermain di level yang jauh dari kebutuhan masyarakat. Media sosial memang bukan satu-satunya kunci kemenangan, tetapi kemenangan bisa lebih dekat dengan memanfaatkan media sosial. Seperti bermain Mobile Legend, hero yang baik dengan equipment yang tepat akan diganjar sebagai Most Valuable Player (MVP).

*Dimuat di Malang Post, 8 Januari 2018

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.