Skip to main content

Intelektual


Sering dalam kondisi menggebu-gebu saya ingin menjadi bagian dari pemikir dunia. Tetapi dalam satu waktu, ketika angin mulai berhembus ke barat dan hujan turun tidak stabil, pikiranku menjadi kalut. Dalam wilayah lokal saja, pemikiran saya gagap menangkap banyak hal yang berkaitan dengan permasalahan sosial. Banyak peristiwa yang saya tidak tahu bagaimana awal mulanya, apalagi mengurainya menjadi solusi. Lalu saya mulai bekerja acak, membaca acak, dan tidak mencoba merumuskan tujuan sama sekali.

Kegelisahan-kegelisahan ini menjadi gumpalan mendung yang sering menghantam tengkukku. Bagaimana tidak, saat ini aku bekerja dalam industri intelektual yang mengagung-agungkan kemampuan analisis yang tepat dan tajam. Aku bekerja dalam industri yang sama dengan Horkheimer, Einstein, Al Ghazali, Emile Durkeim, Roland Barthes, Ibn Rusyd juga Bertrand Russel. Karena itu, membaca karya mereka membuat kegelisahan menjadi tak berujung. Semacam rendah diri yang meledak-ledak. Karena dengan belajar seribu tahun pun, aku akan sulit mencerna maksud dari cogito ergo sum-nya Descartes.

Karena itu, membaca buku sejatinya merupakan aktivitas psikologis yang mencoba memadu-padankan siapa diri kita kepada segala sesuatu. Membaca buku juga menjadi aktivitas perenungan yang mendalam ketika pada bab tertentu, kita menemukan sepenggal pemikiran yang sama, atau ketidaksetujuan yang menggelikan. Seketika itu juga kita akan dilalap berbagai macam kemungkinan-kemungkinan yang tidak ada jawabannya. Membaca menjadi aktivitas yang melelahkan, aktivitas yang berujung pada kematian berpikir yang menakutkan.

Kesakitan pikiran semacam ini sebenarnya banyak manfaatnya padaku. Paling tidak, ini menunjukkan bahwa aku masih manusia biasa. Pada beberapa tulisan lain, aku juga menunjukkan banyak kelemahan yang lagi-lagi, aku ingin berkata bahwa inilah manusiawi itu. Max Weber, ilmuwan sosial genius yang menderita sakit bertahun-tahun itu, juga berkata: penyakit semacam itu ada kompensasinya. Ia membukakan kembali sisi manusawi kehidupan, yang mana luput memberitahukannya padaku. Jadi, aku pikir, bagus juga menulis kesakitan-kesakitan pikir yang kualami di beberapa bagian kehidupanku.

Realitas Intelektual Kita

Maka suatu hari, saya lelah untuk menjadi sosok yang penting bagi dunia. Pada suatu titik, aku memahami bahwa kehidupanku dan kematianku tidak ada bedanya. 50 tahun dari sekarang, ketika aku mati, yang tertinggal adalah kenangan yang mungkin hanya bertahan 1000 hari di ritual cucu-cucuku –itupun jika mereka masih NU. Lalu dunia akan memunculkan sosok yang lain, sosok yang sama tidak bergunanya, atau satu sosok yang mewakili 1000 orang dalam kurun waktu tertentu.

Lagi pula, kelelahanku ini menemukan banyak pembenaran jika melihat tradisi intelektual di Indonesia. Pada banyak hal, kualitas pemikiran kita tidak akan menemukan dukungan jika tidak memenuhi persyaratan administratif. Bukan berarti aku punya pemikiran yang melampaui segala sesuatu sehingga harus dibebaskan dari beban adiministratif semacam. Tetapi karena aku masih mencari, maka contoh-contoh aktivitas akademisi menjadi menjengkelkan. Saat ini, menentukan kualitas intelektual seseorang menjadi sedemikian rumit mengingat kita bangsa yang suka santai.

Di kalangan akademisi, banyak yang menyebut bahwaintelektualitas kita didikte oleh Scopus. Orang-orang yang tidak bisa menulis jurnal yang terindeks oleh Scopus akan menemui kesulitan yang maha besar untuk jadi lektor kepala apalagi profesor. Jadi praktis, orang yang pandai dan tersohor sekalipun, jika tidak memiliki syarat administratif ini, maka akan gagal mendapatkan jaminan finansial yang dahsyat ketika diangkat sebagai guru besar. Dan bukan berarti aku tidak setuju soal Scopus. Aku akui, kita butuh standar untuk menentukan kualitas seseorang. Inilah kuantitatif itu. Kualitas kita ditentukan oleh kuantitas. Jadi Scopus itu bagus. Orang-orang yang serius dalam keilmuannya pasti suatu saat akan melampauinya.

Meski demikian, banyak orang di sekeliling industri intelektual ini yang santai dengan kondisi yang ada. Meskipun Scopus tidak bisa dikejar dengan jalan seadanya, namun tingkah kaum intelektual kita seakan-akan sudah bebas dari tugas terus belajar itu. Maka banyak orang, terutama pengajar di perguruan tinggi, mengalami pseudo intellectuall. Karena mereka ini jago di kandang, jago di hadapan mahasiswa, dan menjadi gagap saat keluar menghadapi realitas. Ketika diskusi diadakan di luar kampus, tidak jarang dosen bingung menganalisis dan menjawab persoalan yang ada di realitas.

Tidak salah lagi, aku menjadi bagian dari orang yang mengalami pseudo intellectual itu –hanya jika aku berhenti membaca dan diskusi. Tetapi membaca dan diskusi itu mengantarkanku pada kejemuan yang kronik. Melihat banyak orang yang seprofesi denganku bisa menjalani hidup dengan baik hanya dengan modal santai, membuatku bertanya-tanya: kehidupan macam apa yang aku jalani?. Orang-orang ini, bukan hanya mengabaikan kerja intelektual, tapi juga melepas tanggung jawab administrasi dan organisasi. Buktinya mereka tetap bisa hidup bahagia tanpa beban. Jadi siapa yang songong kalau begitu? Jelas aku.

Kemungkinannya jelas, aku bekerja dengan terlalu pongah. Seakan-akan aku adalah Weber itu sendiri, yang dalam kesakitan, mampu menulis esai-esai penting yang menjadi pondasinya merumuskan Ilmu Sosiologi di usia 13 tahun. Maka aku semakin ragu pada aktivitas intelektual yang jalani. Mungkin aku harus menurunkan standarku sendiri, mungkin juga harusnya aku abai dengan segala sesuatu yang menimbulkan kemelut ini. Kemungkinan-kemungkinan ini, menimbulkan gejolak yang tak pernah mau pergi.

Sering saya menemukan kesimpulan bahwa dunia berjalan acak. Orang-orang yang belajar giat malah berakhir di tong sampah. Atau orang-orang yang dulunya pemalas, di usia dewasa malah menjadi sukses dalam kategori tertentu. Pun ada yang bekerja giat lalu menuai kesuksesan, dan orang pemalas begitu menyesali masa lalunya karena tidak rajin belajar atau bekerja. Jika kondisi berjalan semacam ini, maka mana mungkin kita mampu memprogram suatu aktivitas dengan penuh keyakinan.

Jadi, suatu hari, mungkin aku akan muncul menjadi seorang pencetus wacana dunia yang berjalan acak dalam konteks sosial. Bahwa kita tidak selalu bisa memperkirakan masa depan seorang anak manusia berdasarkan apa yang dilakukan sekarang.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.