Skip to main content

Menjalani Hidup


Note : Aku menulis ini pada November 2016 sebagai suatu catatan tentang ketidakberdayaanku sebagai manusia. Banyak hal yang tidak menguntungkan, banyak hal yang sekarang lebih baik -sematamata menunjukkan bahwa kita semua sama.

Hujan terus turun sejak Subuh tadi. Aku tetap harus melakukan perjalanan Surabaya – Batu agaar bisa melampui kesendirianku di tempat yang teduh, dingin, dan hening. Biasanya aku mendengarkan lagu-lagu silampukau, bossanova jawa, payung teduh, dan lagu-lagu inggris yang tak kupahami liriknya sepanjang jalan. Tetapi saat ini, suara hujan di perjalanan selalu membuatku takjub, sehingga earphone hanya berakhir menjadi kalung leher. Hujan deras itu, mendebarkan jantungku sendiri, memperkirakan kehidupan beberapa minggu ke depan.

Aku terlahir dengan menanggung beban berat. Masa kanak-kanak hingga remajaku bukanlah hidup yang menyenangkan jika dihubungkan dengan kepemilikan terhadap benda material. Aku selalu menjadi anak terakhir yang memiliki kesenangan duniawi. Lalu beranjak menjadi pemuda, aku sudah bisa membuat seluruh keinginanku terwujud –dan membuat banyak orang bahagia. Jika masa remaja tidak ada suatu hal yang bisa kupilih, semasa muda aku bisa memilih apapun semauku. Lalu, titik nadir kembali hadir. Saat ini.

Sejak kepulanganku dari Papua, finansial tidak menjadi persoalan sama sekali. Aku sangat yakin, sebelum uang itu habis kubelanjakan, aku akan punya topangan penghasilan dari jalan lain. Namun ternyata semua rencana tidak selalu berhasil, bukan? aku menghabiskan hampir puluhan juta demi sebuah kepercayaan kepada orang-orang. Dan mereka seakan tidak punya daya untuk membuahkan apapun terhadap apa yang kutanam. Kita sama terdesak oleh nasib: aku terdesak karena sesuatu hal yang kuanggap baik, dan mereka terdesak sebab kemalasan.

Sekarang ini keuanganku benar-benar menipis. Semua nominal perlahan kehilangan angkanya, dan aku hanya bisa memandang getir akan masa depan. Aku tahu bahwa ini bukan pertama kalinya, tetapi saat ini adalah masa-masa yangs sulit. Sehingga aku seharusnya tidak kehilangan kedigdayaan akan uang sebelum semuanya menjadi baik. Kakakku sedang memulai berdiri di penghasilannya sendiri dan sekarang belum menampakkan hasil sama sekali. Adikku terlihat sempoyongan mencari pekerjaan, sementara orang tua sejak zaman kelahiranku tetap tidak berdaya.

Bahkan aku harus menjauh, kehilangan kuasa untuk menemui mereka guna membuatnya tertawa. Sedangkan aku sendiri merasa tidak tahu apa yang harus kulakukan. Malam ini, aku hanya ingin menulis keresahan dan kesedihan yang mendalam. Karena aku adalah satu-satunya anggota keluarga yang diharapkan. Yang mampu menyelesaikan seluruh persoalannya sendiri sejak dulu, yang tidak cacat, yang cerdas, yang rajin, yang selalu juara pertama, dan tentunya laki-laki. Bahkan menelpon orang tua saja rasanya kata tercekat. Uang menjadi suatu yang amat penting dalam sejarah keluargaku. Aku tidak pernah munafik tentang hal ini. Dan jika aku yang menjadi satu-satunya pengharapan ini tidak bisa menghasilkan uang, maka aku tidak berguna.

Belum lagi, persoalan perempuan juga mengundang keresahan tersendiri. Aku musti berhati-hati menyampaikan segala sesuatu kepada gadis yang kuberjanji akan kunikahi. Tetapi kondisi seperti ini tidak mudah, dan lebih tidak mudah lagi membuat dia mengerti. Sepertinya, satu-satunya keinginan gadis masa sekarang adalah menikah, terbebas dari kungkungan orang tua, terbebas dari finansial, menimang anak, dan mendapatan cinta yang sempurna sepanjang hayat. Beberapa kali ia menampakkan kedewasaan yang menyenangkan, lalu tertimbun lagi dalam pembicaraan pernikahan yang tidak ada habisnya.

Jika bisa, aku akan meninggalkan semua itu, menganggapnya sebagai sesuatu yang membebaniku. Pergi dan membebaskan diriku dari tanggung jawab ini. Persis seperti ketika selesai kuliah, lalu mulai perjalanan antar pulau di seantero Indonesia. Toh aku tidak salah –menurutku. Tapi aku tidak bisa begitu bukan? Sebagai seorang hero, aku harus bertahan dan mengupayakan berbagai cara agar penghasilanku bisa menolong mereka. Tapi seperti manusia lainnya yang mengalami hal yang sama, kita tidak bisa memerintahkan dunia untuk menolong kita begitu saja. Aku dikoyak keadaan,dikoyak orang-orang yang menggantungkan hidupnya padaku.

Tetapi aku sudah cukup lama memikirkan dan menjalani hidup yang brengsek ini. Pernah mempercayai kekuatan alam bawah sadar dan semangat membara untuk bahagia, lalu terjatuh dalam lubang apatisme yang bergolak. Semua yang kita dapat adalah semua yang kita usahakan, tetapi ada kalanya apa yang kita tidak usahakan tidak sesuai dengan apa yang kita dapat. Atau kita mendapatkan sesuatu dari hal yang tidak kita usahakan. Dunia seperti berjalan acak, kita tidak bisa memperkirakan segala sesuatu seperti yang kita yakini, seperti yang kita kerjakan, atau bahkan seperti yang kita omongkan.

Aku kira keuanganku tidak akan cukup untuk dipakai hingga bulan depan. Dalam kondisi yang genting seperti ini, kuhubungi beberapa kontak yang bisa menempatkan aku dalam suatu kampus. Tetapi belum satu pun kabar menggembirakan yang kudengar. Keinginanku setelah menyelesaikan kuliah pasca sarjana adalah menjadi dosen dalam mata kuliah yang aku dalami. Tetapi lowongan dosen sudah menjadi pekerjaan nepotisme yang merepotkan, lagi pula lowongan dosen ilmu komunikasi masih sulit dicari –apalagi untuk lulusan kampus swasta kecil yang tidak menjadi pertimbangan kampus besar.

Persoalan seperti ini tidak biasanya aku bicarakan kepada siapapun. Bahkan aku tidak punya teman untuk menerima curhatan mengerikan seperti ini. Kebanyakan kawanku mengalami nasib yang lebih buruk, dan menjadikanku sebagai role model yang harus dicontoh. Jika pun aku bercerita kepada perempuanku, aku tidak yakin apa yang akan ia sarankan. Kehidupannya masih terlalu lugu untuk melihat kehidupan yang tak terkontrol ini. Lagi pula benar bahwa aku tidak perlu menceritakan hal-hal seperti ini kepada siapapun.

Jadi aku hanya akan berusaha, melihat segala jenis peluang dan menata semuanya dari awal. Aku percaya pada tuhan. Tuhan pernah menempatkanku dalam kondisi perekonomian terbaik sehingga banyak hal baik yang kurasa kulakukan. Dan dalam kondisi terjepit sekalipun, aku merasa tidak melakukan perbuatan jahat bagaimanapun juga. Maka tuhan akan menolongku. Tuhan akan menolongku, dengan segala cara yang aku tidak tahu.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.