Skip to main content

Cerita Topo Jadi Wartawan



Seperti biasa, kisah ini dimulai dengan suatu hari. Pada suatu hari seorang lelaki yang hidupnya sudah lama tersia-siakan, Sutopo, mendapatkan pekerjaan penting di Kantor Berita Lokal (KBL). Dia merasa terdampar karena 13 semester kuliah, yang ia hafalkan hanya tabel periodik unsur-unsur kimia. Kata dosennya, tabel periodik merupakan inti kehidupan, karena dari sana Tuhan menciptakan seluruh alam.

Namun ia tetap bersyukur karena pekerjaannya bukan main-main; wartawan. Pekerjaan yang berhubungan dengan orang penting. Kartu nama dan kalung leher yang ia dapatkan satu minggu ini begitu membanggakannya. Hidung Topo agak mancung dan bergetar saat ia bangga. Jika ketahuan temannya, mereka semua akan tertawa. Sering kali ia merasa menjadi Pinokio, namun sejak menjadi wartawan, hidungnya bukan masalah lagi.

Topo menjadi ingat kalau keluarganya rata-rata menjadi penulis. Lalu ia tertawa sendiri. Bertanya-tanyalah dia pasca diterima jadi wartawan, kenapa ia mengambil jurusan kimia? Kakaknya yang pertama, Betawi, menjadi ahli kaligrafi. Kakak keduanya, Sularso, menjadi juru tulis di Kantor Urusan Agama. Lalu mbaknya, menjadi Sekretaris yang katanya pekerjaanya juga menulis. Dan kakak keempatnya, menjadi penulis kolom kematian di Koran Nasional Nusantara persis tokoh film The Closer.

Mungkin bapak dan ibunya dulu hobi menulis. Begitu pikir Topo. Lalu kakek buyutnya juga mungkin penulis juga. Bahkan ia sempat berfikir dengan pasti kalau nenek moyang yang melahirkannya telah menemukan tulisan. Semakin ia melamun, semakin ia bahagia. Padahal hapenya sejak 30 menit lalu berdering. 40 menit kemudian, ia membaca sms yang masuk. “Besok mulai kerja!”.

Saat terjun ke lapangan untuk mencari berita, ia disuruh mengawal seniornya. “Untuk belajar cara mencari berita,” begitu kata Bos KBL. Tapi ia terkaget-kaget karena tipikal wartawan senior di tempat kerjanya, dan wartawan senior di perusahaan lain, tidak sesuai dengan Sembilan Elemen Jurnalis karya Bill Covach yang semalam di downloadnya. Ia menjadi heran. Berhari-hari ia melamun, ia menjadi semakin galau.

Hingga tiga bulan berikutnya ia hafal bagaimana menjadi wartawan yang baik. Oya, tentang buku 40 tahun Karni Ilyas menjadi jurnalis, atau cerita Jakob Oetama selama 80 tahun memimpin Kompas sudah lama dibuangnya. Ia sudah tahu kalau buku-buku itu hanya berisi hal-hal indah dan heroik menjadi wartawan. Ia hanya tidak tahu, dan tidak ada yang suka diberitahu, kalau kalung leher dan kartu nama yang ia banggakan, menandakan ia punya juragan yang harus dipuaskan.

Semakin lama ia semakin menikmati menjadi wartawan. Bisa mengurus SIM tanpa harus tes dan membayar. Bisa makan enak dengan harga paling mahal –gratis. Bisa menginap di hotel paling mewah, gratis. Sekali waktu, ia dimintai tolong tetangganya, dimintai tolong saudaranya, dimintai tolong teman dari temannya; kalau tidak mengambil motor di kantor polisi, ya mengajukan proposal ke bupati.

Biadab!! Biadab!!! Begitu ia ngamuk setiap harinya. Ia menjadi telat makan, lalu pernah sakit magh tiga hari. Ia juga telat mengucapkan selamat pagi dan selamat malam kepada pacarnya hingga sekarang menjomblo. Kata si Bos, hidup wartawan sudah milik publik. Sehingga kalau ada tugas, Topo diminta percaya kalau masyarakat, atau rakyat dalam bahasa perjuangan, yang memanggil wartawan.

“Kalau wartawan makan, itu makannya wartawan. Kalau tidur, tidurnya wartawan. Kalau pergi jalan-jalan, ya jalan-jalannya wartawan. Saat ada tugas memanggil dan kita sedang capek ketiduran, cepat bangun dan segera berangkat. Lagi makan enak sama pejabat, tapi ada peristiwa penting, tinggalkan makan dan segera meluncur,” begitu teriak orang-orang kantor.

Topo tentu semakin bersemangat. Ia sangat yakin kalau menjadi wartawan sudah takdirnya, sebagaimana takdir saudara-saudara dan nenek moyangnya. Hidungnya lebih bersemangat cenut-cenut kalau Topo usai mendapatkan siraman rohani dari pimpinan redaksi. Tampaknya ia memiliki segala daya untuk menjadi sukses dengan menjadi wartawan.

Lalu tanpa sebab, ia tiba-tiba terpanggil menjadi orang yang lebih bermanfaat. Beberapa remaja putus sekolah di kampungnya, ia ambil dan ditempatkan di kota untuk merawat kebun bunga miliknya. Katanya ia kulakan di Malang dan bisa dijual 200 kali lipat di Surabaya. Ada Mawar, ada Melati, ada Anggrek, ada Lidah Buaya, plus bonsai yang ia ambil dari warga lokal untuk dijual 1000 kali lipat.

Tiga tahun kemudian, kebun-kebun bunga milik Topo sudah bisa diserahkan kepada salah satu anak buahnya. Ia tidak mengurusi lagi soal tetek bengek kulakan dan detail jualan bunga. Ia menikmati jadi wartawan senior. Media-media lokal yang punya wartawan junior ia manfaatkan. Ancamannya jelas, kalau tidak ngasih berita ya bakal dihalang-halangi informasinya. Wartawan junior tentu ketakutan setengah mati. Topo semakin bangga dan tidak pernah sakit magh lagi.

Sehari-hari yang dilakukannya hanya ngopi di kantin Pemkot berteman dengan PNS yang kini sudah naik menjadi Kepala Dinas. Karena itu, seluruh Kepala Dinas dikenalnya dengan baik. Termasuk mantan Sekda yang dulu juga mantan Kepala Dinas Pariwisata yang saat ini sudah menjadi Bupati, juga teman dekatnya. Karena itu wartawan junior takut bila menyakiti hatinya. Apalagi setoran ke kantor KBL juga lancar seperti Suramadu yang kini tanpa tiket.

Sementara kehidupan kewartawanannya membaik, anak buahnya yang berjualan bunga sudah alih profesi menjadi pengusaha. Bukan hanya bunga, tapi sudah merambah bisnis pohon pengayom pinggir jalan, tanaman untuk perkantoran, termasuk beberapa proyek pengadaan tanaman untuk taman-taman yang rencananya dibangun. Kata pendeknya, ia tinggal ongkang-ongkang kaki. Pekerjaan sampingannya hanya tanda tangan dengan gembira.

Setiap perencanaan APBD, ia masuk melalui anggota dewan dan dinas-dinas terkait. Bila tidak tembus karena beberapa anggota dewan kolot, ia masuk lagi dalam bulan-bulan terakhir saat Perubahan Anggaran Keuangan APBD. Dijamin berhasil karena Pemkot biasanya ngotot supaya anggarannya bisa terserap 100 persen untuk mengelabuhi BPK. Bahkan untuk menguntit dana hingga Rp 30 miliar menjadi mudah. Karena itu, sudah langganan Pemkot di sini diberi ganjaran penilaian Wajar Tanpa Pengecualian oleh BPK dengan nominal Rp 250 juta saja.

Saat memasuki tahun ke lima, Topo sudah benar-benar menjadi bos besar. Ia tidak perlu lagi pura-pura menjadi wartawan. Ia hanya pelesir tiap hari. Ke luar negeri tidak lagi menjadi mimpi. Bahkan ia baru pulang dari Hawai ditemani gadis-gadis bongsor dari tanah yang asing. Pulang dari sana ia kembali ke rumahnya, sementara media mengoyak-ngoyak anggota dewan yang tidak pernah disukainya. Ia santai saja di rumah, merasakan ketentraman.

Apalagi sekarang, anak buahnya yang berkebun bunga sudah menjadi kepala dinas pertanian dengan membeli ijazah di sekolah tinggi yang ia dirikan bersama kenalannya profesor kampus negeri. Bim salabim, orang kaya bisa melakukan apa saja. Bahkan ia juga sudah memiliki gelar doktor dari kampus luar negeri yang bukan main-main. Karena setelah punya uang, ia menjadi yakin kalau pendidikan itu penting.

***

Malam itu ia tidur di hotel. Damai ia ditemani Sulasti, mantan presenter yang dulu suka ngotot saat tanya ke narasumber. Tidak mendengar ketukan atau dobrakan, tiba-tiba rumahnya dibobol beberapa orang pakai senjata otomatis. Ia kaget. Biadab!! Biadab!!! Teriaknya. Sulasti yang masih telanjang dada terdiam di pojokan kamar.

Di televisi, rupanya disiarkan langsung adanya indikasi Topo terlibat korupsi. Nara sumbernya, para kepala dinas dan anak buah Topo yang jadi politisi. Topo menggeram. Ia sudah bukan wartawan lagi. Tapi ia masih menyisakan api, ia menyiapkan kartu AS untuk melengserkan para petinggi. “Permainan belum selesai,” kepal suaranya saat kena bogem.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.