Skip to main content

Resah Manusia Indonesia





Di akhir pengajian Bangbangwetan pada 2 Juli 2015 lalu, pertanyaan yang paling konkret untuk diajukan adalah bagaimana menjadi manusia indonesia dalam menyikapi kosnpirasi politik dan ekonomi yang terpampang nyata tersebut.

Dulu saya sempat meyakini bahwa semakin kita tahu, maka semakin kita tidak bisa apa-apa. Dan kini, keyakinan tersebut tampaknya menemui pembenarannya karena kita memang tidak mampu berbuat apa-apa kecuali berbicara dan membuat konsep. Mau tanah indonesia dirampas, media kita ditunggangi pemodal, hasil bumi dicuri, bahkan kebudayaan juga sudah diklaim negara tetangga, kita sebagian besar bangsa Indonesia malah plonga-plongo.

Mahasiswa masih saja gelisah karena tidak bisa meluluskan diri dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Mahasiswa yang keren dengan puisinya, lalu memiliki pacar di setiap sudut kampus dan menjadi linglung oleh perempuan. Dan pemuda-pemuda yang akhirnya membuat komunitas-komunitas sendiri karena galau tidak mampu bergabung dengan kekuatan yang lebih besar.

Banyak orang yang sakit hati, entah karena pengetahuannya yang sombong, atau karena ketidaktahuannya yang dungu. Mereka lalu menjadi apatis, dan persoalan ini mewabah di hampir seluruh kota di Indonesia. Pemuda yang sadar dan berani bergerak pun, enggan menyentuh dimensi ekonomi politik karena beranggapan bahwa dunia tersebut sudah teramat kotor, dan butuh kekuatan Tuhan untuk merubahnya seketika.

Keresahan-keresahan kita sebenarnya sudah terlampau banyak. Sehingga penambahan keresahan yang dilakukan oleh Bangbangwetan menemui puncaknya, dan seharusnya membawa suatu revoluasi yang sebenarnya. Kita tidak boleh lagi apatis. Kita tidak boleh lagi ngeri dengan politik. Dan kita tidak boleh lagi acuh terhadap model-model penjajahan modern abad ini. Kita musti bangkit.

Transfer Prinsip Kehormatan

Okelah Cak Nun sudah malang melintang dengan pemikirannya soal ke-indonesia-an dan ke-jawa-an. Saat ini yang hendak saya cuplik adalah ajakan revolusioner yang dilakukan oleh anak lelaki Cak Nun, Sabrang –yang membuat tantangan kepada pemuda-pemuda di halaman Balai Pemuda. Ia meradang, ia gelisah pula, dan ia telah lama terluka namun luka itu harus ia sembuhkan sekarang juga.

Dengan lantang ia mengacung, dan pemuda diam dari dengung. Sabrang mengajak semua mahasiswa berkumpul berdasarkan jurusannya masing-masing. Yang Jurusan Ekonomi berkumpul, yang jurusan Sosiologi berkumpul, dan yang jurusan Teknik atau anak-anak Ilmu Komunikasi diminta berkumpul. Kumpulan ini harus lintas kampus, dan nantinya akan diajak oleh Sabrang merumuskan agenda besar revolusi untuk mempertahankan kehormatan Indonesia.

Hal ini masih abstrak, namun patut diacungkan jempol. Karena apa? Kita anggap bahwa Sabrang sudah menemui eksistensinya, ia telah selesai dengan kebutuhan dirinya sendiri. Karena seandainya saya yang berteriak lantang, orang-orang akan gumun, siapakah anak muda lusuh yang tidak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri lalu mengajak berrevolusi ini?

Jadi tantangan Sabrang ini tampaknya menjadi ngiang yang tak selesai digendang penonton. Sebagai mahasiswa dan notabenenya pemuda, pergerakan adalah sesuatu yang gagah; entah secara fisik ataupun secara intelektual. Mereka akan selalu menunggu Sabrang merealisasikan tantangannya. Dan bila pemuda dan mahassiwa sudah berkumpul lalu Sabrang melupakan ucapannya, maka yang ada adalah kembali kepada ketiadaan.

Sekarang kita kembali pada sesuatu yang kongkrit. Bagaimanakah menjadi manusia Indonesia yang dihadapi keresahan yang sedemikian rupa ini? Sabrang telah menjawabnya, tentu saja, karena ia sebagai representasi pemuda, mahasiswa, intelektual, dan dari golongan kami yang sangat tahu akan jiwa yang berkobar.

Bahwa kita harus mengindentifikasi awal persoalan apa yang hendak kita bela, dan musuhnya siapa. Kita betul-betul harus belajar dari bawah untuk memahami persoalan bangsa Indonesia. Karena kita musti bergaul dengan warga sepuh untuk mengorek kembali sejarah 20-30 tahun bangsa Indonesia yang lalu. Dari sana kita akan melihat, akan bergerak ke mana Indonesia, dan apa untung-ruginya bagi kehormatan bangsa Indonesia.

Sabrang menekankan pada proses belajar. Memang hal ini kongkrit namun lambat. Kita diminta metani (memilah milih) sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri. Lagian, pemuda seperti apa yang mampu menelaah sejarah panjang indonesia lalu menghasilkan simpulan tokcer tentang kebenaran? Hampir tidak ada –dan saya yakini pasti ada meskipun terlalu sedikit.

Bukan berniat kecil hati, namun memang solusinya adalah bahwa Sabrang sebagai pentolan harus mampu mentransfer pengetahuan terkait persoalan yang kita tidak tahu. Ia juga harus mentransfer kehormatan seperti apa yang hendak kita pertahankan dari Indonesia. Apa yang telah, sedang, dan akan dicuri dari bangsa Indonesia oleh bangsa lain (saya tidak mau menyebut Tiongkok ataupun USA kecuali keceplosan).

Lalu dari transfer pengetahuan ini, penyaringan-penyaringan akan dimulai di kepala masing-masing pemuda. Prinsip-prinsip kehormatan akan muncul pada dada pemuda, lalu lambat laun menjadi patriotisme yang rela membela tanah air sampai titik darah penghabisan. Di sinilah kita akan kembali pada bahasan kita di awal sekali, Sadumuk bathuk, sanyari bumi, ditohi pati, dan dalam berperang, genderang bertalu membawa semilir angin; Tiji Tibeh, Mati Siji Kabeh, dan Cak Nun berharap bukan mati, tapi Mukti Siji, Mukti Kabeh.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.