Skip to main content

Infodemik; Kebangkitan Teknologi dan Kejatuhan Manusia


Coronavirus disease-2019 (COVID-19) telah menjadi topik paling dinantikan pada awal tahun 2020, lalu berubah menjadi informasi yang paling menjemukan di pertengahan tahun. Pada permulaan kita semua membutuhkan informasi untuk memenuhi sifat dasar manusia yang selalu ingin tahu. Apalagi COVID-19 bukan persoalan sepele. Wabah ini bisa jadi merupakan peristiwa paling berdampak kepada manusia selama abad 21. Kecelakaan kendaraan di jalan raya, kasus bunuh diri, sulitnya akses pendidikan di Indonesia, atau korupsi yang hampir tidak mungkin diberantas, telah tenggelam dalam riuh informasi COVID-19.

Semua media massa, media sosial, pembicaraan antar teman di instan messenger, obrolan di bus kota, keluarga kecil di desa, hingga omongan bapak-bapak bersarung di warung kopi, berubah. Di kalangan perguruan tinggi, seminar ilmiah tentang tata negara dan keilmuan sosial berubah menjadi diskusi tentang COVID-19 yang dibedah dalam berbagai sudut pandang; paling banyak menyoroti komunikasi publik pemerintah Indonesia yang buruk. Informasi tentang virus yang muncul pertama kali di Wuhan, China, ini mengalahkan seluruh nasib buruk yang pernah kita alami. Dipandang dari sudut pandang religious hingga scientific, kita tetap harus mematuhi pemerintah guna menanggulangi wabah menular tersebut.

Seluruh kepanikan yang ditimbulkan oleh virus corona sebenarnya bisa dilacak dari kehadiran media informasi yang masuk dalam ruang-ruang pribadi individu. Wabah sebelumnya yang menyebar dan sama-sama mematikan tidak memiliki kehebohan yang sama sebagaimana COVID-19. Apalagi corona tidak hanya menyebar tahun 2020 ini tetapi juga pernah menyerang dunia satu dekade sebelumnya, misalkan SARS pada tahun 2002-2003 di China dan MERS pada tahun 2012 di Timur Tengah. Kasusnya jelas sama-sama mematikan dan menimbulkan ribuan korban tetapi tingkat ketakutan menghadapi virus ini tidak pernah seheboh COVID-19.

Keputusan/kebijakan pemerintah yang melibatkan publik saat ini harus dikaji dengan hati-hati. Transportasi dikoreksi habis-habisan agar tidak menjadi penghantar virus ke berbagai daerah di Indonesia. Penerbangan dihentikan, kereta tidak beroperasi, bus dan angkutan umum lainnya mandeg. Bahkan armada online yang sudah bertahun-tahun melayani kepentingan masyarakat umum juga tidak diperbolehkan mengangkut penumpang. Tempat-tempat umum ditutup, lokasi wisata dan perhotelan juga terkena imbas dari menyebarnya COVID-19 ke seluruh Indonesia. Bahkan saat ini, ketika new normal digulirkan, kehidupan tidak sama lagi seperti dulu.

Mengapa semua ini bisa terjadi? Pertama-tama mungkin yang paling jelas adalah karena COVID-19 saat ini memang berbeda. Ada bahaya besar yang akan terjadi jika badan kesehatan dunia dan pemerintah tidak segera mengambil tindakan untuk menyelamatkan umat manusia. Ketika pertama kali mencuat, COVID-19 memang menjadi bahan tertawaan oleh pemerintah Indonesia. Tidak ada upaya yang serius untuk mencegah masuknya COVID-19 ke Indonesia melalui jalur penerbangan. Padahal berbagai penelitian sudah mengungkapkan bahwa traveling antar negara menjadi salah satu penyebar virus ini paling cepat. Tetapi penerbangan di Indonesia terlambat tutup hingga kasus import case COVID-19 pertama muncul di Depok. Barulah kita kalang kabut.

Seluruh cerita ini sudah berulang kali dipaparkan di media maupun oleh akademisi di berbagai webinar. Tetapi cerita ini bukanlah intinya. Kita masih harus mencari mengapa cerita ini bisa kita dapat dalam waktu sekejap dan menjadi bahan gunjingan seluruh warga masyarakat dalam satu waktu. Jawabannya mungkin tidak dapat dapat dipastikan sebagaimana ilmu eksak, tetapi kita dapat memperkirakannya dengan bantuan data; bahwa media massa dan media sosial-lah yang menjadi penyebab utamanya. Media massa sejak awal bertugas memberikan informasi yang akurat kepada masyarakat sehingga pekerjaannya tidak patut mendapatkan cemoohan –kecuali dikerjakan secara serampangan. Diskusi paling menarik tentu saja tentang media sosial, dan dari sanalah kita dapat mengetahui seluruh kekacauan ini.

Kebangkitan Teknologi

Saat ini manusia tidak bisa hidup puas tanpa bantuan teknologi. Kepuasan kita terhadap berbagai produk modernisme tidak datang begitu saja; ia diciptakan dari keberulangan –redudancy- yang hampir datang setiap menit dalam kehidupan manusia. Lalu kita merasa tiba-tiba mencintai lotion yang membuat kulit memutih, tidak dapat mengucapkan cinta kalau tidak punya uang untuk coklat dan bucket bunga, bahkan kebahagiaan dapat terenggut saat promo di Shopee dan Lazada terlewatkan. Kehidupan kita bermula dari bangun tidur, memandang jam dinding guna memeriksa waktu kerja, gawai di genggaman untuk mengetahui peergroup WhatsApp kita sedang membicarakan apa, lalu push email muncul mengingatkan webinar, dan kita harus berselancar bersama smartphone selama 10 jam ke depan.

Bayangkan, kehidupan yang kita ciptaan ini memiliki sebuah awal mula; orang tua kita yang bangun dini hari tanpa tahu jam berapa saat itu, lalu berangkat ke sawah dan kebun, istirahat ketika matahari di ubun-ubun, lalu pulang membawa jagung dan ketela. Malam hari anak-anak berangkat mengaji dan sepulangnya mereka bercengkerama –kadang juga ada drama diantara mereka. Saya tidak mengatakan, masa lalu yang tradisional lebih baik dari masa modern, begitu juga sebaliknya modernitas juga tidak terlalu baik untuk dijadikan pegangan. Saya ingin menunjukkan sebuah keterputusan antara tahun 2020 dengan tahun 1990, antara kehidupan di kota dengan di desa. Konsekuensinya memang luar biasa, bahwa kehidupan kita berubah cepat tanpa terasa.

Jika menengok di masa lampau, kita akan tersihir dengan cepatnya dunia berubah terutama sejak Johan Guternberg menemukan mesin cetak di Jerman tahun 1440. Seketika orang-orang melek huruf dan manusia akhirnya mampu menjadi masyarakat ilmiah yang dapat menciptakan berbagai mesin untuk memudahkan manusia dalam kehidupannya. Revolusi pengetahuan pun terjadi dengan perputaran informasi yang semakin cepat ditukar dari manusia satu ke manusia yang lain. Buku dan surat kabar merambah ke kaum terpelajar, radio menyusulnya dengan informasi sekilas yang memanjakan pendengar, lalu televisi mengubah lanskap media yang dapat memengaruhi persepsi penonton seperti sihir. Sekarang kita menyatu ke sebuah ruang maya dimana individualitas melebur, gengsi dan strata kelas terhapus; semuanya menjadi satu warga, warga global.

Akses internet kini menjadi salah satu kebutuhan yang tidak terelakkan bagi umat manusia. Seluruh orang terkoneksi dalam satu jaringan nirkabel terbesar yang tidak pernah dibayangkan Plato dan Aristoteles. Pengiriman gambar dan video dapat dilakukan secepat jari menjentik. Pertemuan-pertemuan ilmiah, perjumpaan dengan teman lama, hingga aktivitas yang sakral semacam upacara pernikahan dan idul fitri, dilakukan secara daring. Selain revolusi teknologi, COVID-19 juga menyebabkan revolusi kehidupan sosial. Budaya salam-salaman yang identik dengan orang Jawa dan sekitarnya berganti dengan tutup tangan dan hanya menyapa dari jarak jauh. Kondisi ini tentu sangat sulit dinalar jika tidak ada perubahan besar yang disebabkan oleh COVID-19.

Seluruh aktivitas kita saat ini terekam dalam status dan story media sosial yang seringkali tak dapat dikendalikan. Hampir setiap detik kita berhubung melihat handphone dengan harapan ada orang yang berkirim pesan atau bertanya kabar. Seseorang yang duduk di stasiun kereta sendirian seringkali menunjukkan bahwa ia sedang terkoneksi dengan orang lain di smartphone yang ia bawa. Ketika tidak ada seorangpun yang mengiriminya WhatsApp, maka ia mencoba membaca berita yang aplikasi media online yang telah ia download. Pengguna media sosial di Indonesia mencapai 160 juta pada 2020 ini (StatCounter Global Stats, 2020). Kondisi ini memungkinkan setiap informasi menyebar dengan leluasa ke seluruh masyarakat Indonesia. Teknologi, terutama di bidang komunikasi, telah mengubah cara kita beinteraksi dengan orang lain sehingga menyebabkan banyak konsekuensi, salah satunya adalah infodemik.

Infodemik dan Kejatuhan Manusia

Keberadaan teknologi komunikasi membuat manusia kalang kabut menghadapi banjir informasi di media sosial (Shensa, Sidani, Dew, Escobar-Viera, & Primack, 2018). Manusia, secara tidak sadar menganggap seluruh informasi di smartphone-nya adalah sesuatu yang nyata dan dapat dipercaya. Ketidakmampuan manusia membedakan mana yang nyata dan tidak ini sudah lama dikaji dalam ilmu sosial. Kita bisa menyebut kondisi ini, salah satunya, dengan nama hiperrealitas. Istilah hipperalitas dipopulerkan oleh seorang filsuf Perancis bernama Jean Baudrillard. Hiperrealitas menunjukkan bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar realitas, atau bahkan realitas yang kita rasakan bukanlah realitas yang sebenarnya tetapi kita terlanjut percaya.

Prinsip ini dimulai ketika seluruh gambaran akan realitas ditampilkan di media massa. Kita membayangkan bahwa apapun yang ada di media adalah kondisi sebenarnya padahal tidak. Media sosial merepresentasikan –menghadirkan kembali- kenyataan dalam bentuknya yang dapat dipercaya oleh indera manusia. Keistimewaan teknik representasi yang dihadirkan oleh media sosial adalah kemampuannya untuk hadir berulang-ulang dalam waktu yang tidak terbatas. Setelah pikiran manusia mendapatkan terpaan terus-menerus, maka prinsip kedua dari hiperrealitas akan terjadi: semua tanda dan simbol yang direpresentasikan media lebur menjadi sesuatu yang abstrak.

Nilai guna sudah beralih pada nilai tanda yang dibangun oleh iklan di media. Sebuah rumah bukan lagi dinilai dari caranya melindungi penghuninya dari hujan dan panas, tetapi digunakan sebagai tanda kelas sosial. Hal yang sama terjadi pada jam tangan, bukan lagi sebagai penunjuk waktu tetapi sebagai tanda bahwa merk jam tangan tertentu mengindikasikan pemiliknya ‘berkelas’ atau ‘orang biasa’. Semakin lama kita percaya dengan tanda dan simbol yang diciptakan oleh media maka semakin lama kita akan kehilangan pijakan dari tanda itu sendiri. Sebagaimana kita tahu, mobil befungsi untuk memuat individu lebih banyak dibandingkan sepeda motor.

Maka sebuah keluarga yang terdiri dari : ayah, ibu, dan tiga anak, membutuhkan mobil untuk bepergian karena sepeda motor tidak cukup. Keluarga ini memiliki uang Rp 70 juta yang bisa digunakan untuk membeli sebuah mobil bekas merk Daihatsu Ayla, Toyota Kijang atau Honda Jazz. Seorang ayah mungkin akan membeli Kijang, sedangkan anaknya yang berusia 18 tahun ngotot membeli Honda Jazz. Ada gengsi yang dibawa oleh merk sebuah mobil. Mungkin keduanya akhirnya tidak membeli mobil bekas, tetapi kredit di bank untuk membeli Chevrolet Trax seharga Rp 300 juta.

Ini bukan soal kapasitas mobil, tapi gengsi yang dihasilkan oleh merk, termasuk mobil bekas atau gress dari Dealer. Keluarga ini adalah potret bagaimana keluarga modern memperlakukan barang-barangnya dengan pijakan pada makna tanda dan simbol. Mereka sudah lupa bahwa niat awal membeli mobil adalah guna memudahkan mereka bepergian. Tetapi mobil Kijang saja tidak cukup, mereka memilih mobil baru dengan harga empat kali lipat dari uang ia memiliki. Hal yang sama juga akan terjadi pada virus corona. Kita semua pada akhirnya akan melupakan apa yang sesungguhnya kita perjuangkan untuk menghalau peyebaran coronavirus. Informasi yang berkembang dengan cepat di media massa dan media sosial menumpulkan arti COVID-19 sebagai virus mematikan, tetapi lambat laun ia akan berubah menjadi komoditas bagi kapitalis.

Setiap hari kita digempur informasi tentang COVID-19 dalam berbagai kesempatan. Penggunaan media sosial yang tinggi menyebabkan hiperrealitas yang kebablasan. Bayangkan, ketika tangal 12 Juli muncul sebuah gambar di Facebook yang menjelaskan dampak negatif dari penggunaan masker : mengurangi oksigen hingga 60%, meningkatkan risiko keracunan CO2, virus dan bakteri yang memenuhi masker dapat terhirup masuk ke hidung, dan udara segar penting untuk menjaga kesehatan. Informasi tersebut tentu sangat logis bagi kebanyakan orang sehingga dapat menimbulkan kegemparan bahwa penggunaan masker malah memicu penyakit lain. Padahal di seluruh negara di dunia saat ini sedang mengampanyekan hidup sehat dengan masker, terutama dapat melindungi dari penularan virus corona.

Informasi lain yang tidak kalah menyesatkan misalnya, sebuah judul : takut dibunuh, ahli virus china kabur ke AS: saya bersaksi COVID-19 hasil persekongkolan jahat. Judul artikel tersebut menyesatkan bagi orang yang membacanya dan cenderung mengarahkan untuk mempercayai COVID-19 sebagai konspirasi. Banyaknya informasi yang salah tentang COVID-19 sebenarnya membuat resah siapapun yang menginginkan hidup sehat. Ribuan informasi yang datang tanpa didasarkan pada data ini menimbulkan infodemik, yaitu suatu kondisi ketika informasi yang berkembang terus-menerus tanpa dibarengi data dan fakta yang valid. Infodemik ini sendiri tentu sama berbahayanya dengan COVID-19 (Abd-Alrazaq et al., 2020; Ahmad & Murad, 2020). Infodemik membunuh nalar, COVID-19 membunuh fisik.

Jika misinformasi tentang COVID-19 ini tidak terbendung maka manusia bisa jatuh pada prasangka yang keliru. WHO sendiri mengakui bahwa mereka kewalahan menghadapi infodemik yang meluncur deras di seluruh negara di dunia (Wee, Jr, & Hernandez, 2020). Banyaknya informasi yang berkembang tentang suatu penyakit membuat masyarakat kebingungan membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Padahal kedudukan informasi yang ‘benar dan akurat’ tentang suatu krisis sama pentingnya dengan keberadaan vaksin untuk mengatasi virus menular. Dalam kasus COVID-19 yang semakin memburuk, keberadaan infodemik memperparah kondisi tersebut. Sudah seharusnya seluruh masyarakat mendapatkan informasi terpercaya, tetapi yang didapat malah konspirasi.

Manusia yang sesungguhnya harus menguasai teknologi lalu menggunakannya demi kemaslahatan bersama, malah terpuruk bersama dengan niat jahat dari beberapa orang yang memanfaatkan krisis untuk mengeruk keuntungan. Infodemik dapat menyebabkan beberapa kendala psikologis seperti kepanikan dan ketakutan berlebih pada COVID-19 sehingga mengancam keselamatan orang lain. Ketakutan yang berlebihan bisa menimbulkan panic buying yang terjadi pada Maret 2020 ketika seluruh bahan pokok dibeli habis oleh sekelompok orang. Kelangkaan masker dan alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan juga sempat habis di pasaran. Hal ini nyata, bukan sebuah imajinasi. Panic buying pada bahan pokok dan alat kesehatan bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga persoalan hidup dan mati masyarakat lainnya.

Penutup

Kita harus bergerak menyelamatkan manusia dari infodemik ini. Persoalan virus biarlah ditangani oleh tenaga kesehatan yang memang expert di bidangnya. Mereka mampu membuat aturan yang aman agar COVID-19 tidak menyebar luas. Para ahli juga telah direkrut pemerintah guna menemukan ‘vaksin merah-putih’ untuk memelopori keberadaan obat COVID-19 di dunia. Langkah kita sebagai masyarakat kebanyakan adalah dengan mengampanyekan hidup sehat dengan menerapkan standar new normal; menyediakan hand sanitizer, menyediakan tempat cuci tangan, menggunakan masker, dan menjaga tubuh tetap sehat selama pandemi. Jika ada masyarakat yang teledor maka kita bersama wajib mengingatkan agar semua warga hidup tentram dan nyaman.

Cara lain menghentikan infodemik yang efektif bisa dilakukan pemerintah dan seluruh lembaga yang memiliki otoritas dalam pembatasan konten yang berkaitan dengan COVID-19 di semua platform media. Tentu saja ini hal yang dilematis karena kita juga membutuhkan informasi tentang virus ini guna melakukan pencegahan supaya tidak tertular COVID-19. Beruntungnya, perusahaan informasi skala internasional seperti Google, Facebook, Microsoft, hingga Twitter dan Youtube telah bersepakat untuk mendukung informasi akurat tentang COVID-19. Beberapa isi dari komitmen mereka misalnya melarang iklan yang menjual masker di platform media mereka. Komitmen ini sangat penting agar beranda media sosial kita tidak terus-menerus berisi iklan yang mengingatkan kita pada COVID-19.

Selain itu, komitmen multinational corporation ini terhadap penanganan COVID-19 ini juga muncul dalam berbagai program, seperti menyediakan informasi paling baru tentang COVID-19 bekerjasama dengan otoritas kesehatan di setiap negara di dunia. Perusahaan yang menguasai informasi di seluruh dunia ini juga berjanji untuk memberi iklan gratis kepada WHO guna menyebarkan informasi yang benar. Bahkan Google telah menghapus aplikasi yang menyebar informasi COVID-19 di Play Store yang tidak berasal dari lembaga kredibel guna mengurangi misinformasi tentang virus yang sampai sekarang masih menghantui dunia tersebut.

Pemerintah dan lembaga dunia sudah bergerak memerangi infodemik. Kini saatnya kita bergerak untuk menghapus hoax dan disinformasi COVID-19 di seluruh platform yang kita temukan. Seluruh lembaga, baik pemerintah maupun swasta, telah mempermudah cara-cara pelaporan hoax sehingga internet bersih dari berita palsu. Seluruh orang bisa melakukan screen capture atau mengcopy url informasi yang salah lalu mengirimkannya ke Kominfo RI. Google, Facebook, Twitter, dan Mafindo sendiri juga sudah menyediakan cara pelaporan yang mudah ketika muncul hoax di beranda media sosial atau di grup WhatsApp yang dimiliki. Tugas ini memang berat, tetapi bukan sesuatu yang tidak mungkin jika dilakukan secara bersama-sama.

Referensi

Abd-Alrazaq, A., Alhuwail, D., Househ, M., Hamdi, M., Shah, Z., Ahmad, A. R., … Rizun, M. (2020). Free Communication Fake News in the Context of the COVID-19 Pandemic. International Journal of Environmental Research and Public Health, 22(4), 1–11. https://doi.org/10.2196/19556

Ahmad, A. R., & Murad, H. R. (2020). The Impact of Social Media on Panic During the COVID-19 Pandemic in Iraqi Kurdistan: Online Questionnaire Study. Journal of Medical Internet Research, 22(5), e19556. https://doi.org/10.2196/19556

Shensa, A., Sidani, J. E., Dew, M. A., Escobar-Viera, C. G., & Primack, B. A. (2018). Social media use and depression and anxiety symptoms: A cluster analysis. American Journal of Health Behavior, 42(2), 116–128. https://doi.org/10.5993/AJHB.42.2.11

StatCounter Global Stats. (2020). Social Media Stats Indonesia. Retrieved February 10, 2020, from Statscounter.com website: https://gs.statcounter.com/social-media-stats/all/indonesia

Wee, S.-L., Jr, D. G. M., & Hernandez, J. C. (2020). W.H.O. Declares Global Emergency as Wuhan Coronavirus Spreads - The New York Times. Retrieved April 3, 2020, from New York Times website: https://www.nytimes.com/2020/01/30/health/coronavirus-world-health-organization.html

* Tulisan ini dimuat dalam buku Kolaborasi, Riset, dan Volunterisme: Membangun Resiliensi dalam Gejolak Pandemi yang diterbitkan oleh MAFINDO. 

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.