Skip to main content

Mendamba Menteri Usia Muda



(Dimuat di Malang Post, edisi 6 Juli 2019)

Berbicara pemuda mengingatkan kita pada ungkapan presiden pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno; “Beri aku seribu orang tua, niscaya kucabut semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda niscaya kuguncang dunia”. Quote tersebut mampu menggambarkan semangat pemuda yang luar biasa sehingga banyak orang berharap besar terhadapnya. Karena itulah, Presiden ke 7 Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) dalam pemberitaan akhir-akhir ini juga berkeinginan merangkul pemuda untuk menjadi menteri di dalam kabinetnya.

Jika melihat perhelatan politik tanah air, dominasi senior memang sangat terlihat. Sebut saja misalnya; Jokowi (58), Prabowo Subianto (67), Ma’ruf Amin (76), Jusuf Kalla (77), Mahfud MD (62), Wiranto (72), SBY (69), dan Luhut (71). Karena itu, melihat Jokowi ingin mengangkat generasi muda dan menggeser para veteran ini merupakan berita yang heboh meski tidak terlalu mengagetkan. Pemuda selama ini selalu diasosiasikan sebagai anak-anak yang tanpa pengalaman, labil, sluman-slumun-slamet, dan emosional. Sehingga kontroversi dari isu yang direncanakan oleh presiden asli Solo tersebut pasti ada.

Tetapi Jokowi tampaknya memiliki rencana khusus sehingga memilih pemuda untuk menjadi menteri di kabinetnya yang kedua. Dalam pemberitaan di Malang Pos (Rabu, 3 Juli 2019) disebutkan, Jokowi menginginkan pemuda karena mereka bisa mengeksekusi program-program pemerintah dengan cepat, tepat, dan kuat. Ungkapan ini bisa dimaknai bahwa Jokowi ingin mengubah birokrasi pemerintah yang selama ini dikritik karena lamban dalam menanggapi berbagai masalah. Pemerintah lebih tercermin seperti pemadam kebakaran tetapi tidak tanggap untuk mencegah datangnya api.

Sehingga keberadaan pemuda dalam jajaran menteri tersebut, akan mengubah kebiasaan menjalankan program pemerintah yang awalnya terseok menjadi trengginas. Sebagai mantan pengusaha, Jokowi menginginkan pemerintahan bekerja seefektif mungkin dengan memangkas seluruh birokrasi yang menyulitkan gerak kerja. Di sanalah dibutuhkan pemuda yang fleksibel, bekerja dengan cepat, lebih berorientasi hasil dari pada berpusing dengan prosedur. Dengan alasan yang demikian, pilihan Jokowi untuk mengakomodir pemuda menjadi penting dan masuk akal.

Namun memilih pemuda untuk menjadi menteri juga harus hati-hati. Jangan sampai pemuda yang dipilih semuanya berasal dari partai koalisi atau dari organisasi masyarakat yang ketat menghitung untung-rugi. Sehingga memilih pemuda yang berasal dari kalangan profesional dan akademisi memiliki argumentasi lebih kuat, dan bakal menepis anggapan bahwa pemerintahan selalu bagi-bagi kursi menteri. Karena sosok yang menjadi menteri seringkali dipilih berdasarkan pilihan politis, bukan kapasitas dan kapabilitas. Dengan langkah ini, Jokowi akan membuat negara mendapatkan legitimasi dari masyarakat sehingga memperkuat posisi pemerintahan.

Surplus Pemuda

Pemuda memang bukan malaikat penolong yang akan mengubah wajah birokrasi Indonesia seperti jin aladin, bim salabim. Tetapi ini adalah salah satu ikhtiar memberikan kekuasaan kepada orang-orang yang masih memegang idealisasi bangsa dan belum tercemar oleh intrik politik praktis. Tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru sepanjang percobaan ini telah dilakukan kajian yang matang. Apalagi pemilihan menteri ini bukan untuk mendampingi Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di perguruan tinggi, tetapi di sebuah negara sehingga tidak mungkin percobaan ini bersifat asal-asalan.

Mengapa pemuda bisa menjadi salah satu solusi mempercepat kemajuan bangsa? Karena pemuda bisa membunuh salah satu penyakit birokrasi negara Indonesia; berbelit-belit. Mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Asman Abnur, pernah mengungkapkan bahwa organisasi pemerintah di pusat maupun daerah seringkali membesarkan struktur organisasinya padahal tidak dibutuhkan dalam tugas nyata keseharian. Struktur yang terlalu besar ini cenderung memperlambat proses kerja serta berbanding terbalik dengan reformasi birokrasi yang digaungkan pemerintah.

Indonesia mengalami surplus pemuda yang jauh lebih banyak dibanding dengan negara lain di dunia ini. Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2018 menyebutkan, seperempat penduduk Indonesia adalah pemuda, yaitu sekitar 63,82 juta jiwa. Ini angka yang besar mengingat pemuda adalah calon pemimpin di masa mendatang. Yang lebih mengesankan dari jumlah tersebut adalah angka partisipasi sekolah (APS) mencapai 71,99 persen sehingga bisa dikatakan pemuda Indonesia adalah pemuda berpendidikan. Dengan pendidikan ini diharapkan kualitas pemuda di masa mendatang akan melampaui generasi baby boomer yang cenderung menyukai hierarki dalam tatanan pemerintahan.

Kenyataan ini membuat kita yakin dan bisa dengan bebas mengungkapkan ‘mengapa tidak jika pemuda diberi peran lebih di bidang sosial, politik, dan kenegaraan?’. Menguatkan hal itu, majalah bergengsi seperti Forbes memasukkan 23 pemuda Indonesia menjadi pemuda yang memiliki prestasi penting di Asia pada tahun 2019. Padahal sebelumnya, di tahun 2018 hanya ada 10 pemuda yang masuk dalam program ‘Forben 30 Under 30 Asia’ itu. Kondisi ini menunjukkan bahwa surplus pemuda di Indonesia tidak hanya bergerak di statistik (kuantitatif) tetapi juga di kualitas.

Usia dan Pengalaman

Data dan argumen di atas bisa jadi tidak cukup untuk meyakinkan berbagai pihak agar lebih banyak memasukkan pemuda dalam jajaran menteri. Alasan yang sederhana dan mencurigakan adalah karena yang berpendapat yang demikian rata-rata berusia di atas 50 tahun. Sehingga ketika pemuda banyak mendapat jatah menteri dan atau minimal posisi-posisi selevel dengan menteri, maka generasi tua tidak akan mendapatkan kesempatan lagi. Memang banyak alasan yang menghubungkan usia muda sama dengan kurang pengalaman. Atau usia muda cenderung masih labil sehingga tidak cocok di posisi pengambil kebijakan.

Perlu ditagaskan bahwa pemuda memiliki pemikiran yang terus berkembang dan tidak stagnan pada satu titik. Hidup itu tidak berjalan linier dan transaksional sehingga siapapun di posisi manapun akan belajar. Sehingga pemuda juga pasti belajar dari sistem yang telah berjalan di kementrian lalu mengembangkannya menjadi lebih efektif dan efisien. Paling tidak itulah yang kita damba dari pemuda yang digadang-gadang bisa memperbaiki kinerja pemerintah. Itu pun jika memang pemuda yang diambil oleh tim Jokowi menggunakan pemuda non-pengalaman –yang menurut hemat saya kondisi itu tidak akan terjadi.

Sebaliknya, Jokowi yang sudah berpengalaman menjadi presiden selama lima tahun, Wali Kota Solo, juga Gubernur DKI, akan lebih selektif dalam memilih menteri yang bisa bekerja seirama dengannya. Tentu saja orang-orang profesional sebagaimana Jokowi, akan memilih partner kerja yang dapat menjalankan visi-misi negara dengan tangkas. Tidak heran Jokowi memiliki tekat ‘kerja! kerja! kerja!’ yang identik dengan pemuda dalam bayangan Jokowi; cepat, tepat, kuat.

Apalagi dalam kabinet jilid dua-nya ini, Jokowi ingin mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang berdaya saing sehingga pemuda-pemuda pilihan Jokowi akan dapat berperan penting. Jika pertanyaannya kembali pada kurangnya pengalaman pemuda untuk berinteraksi, membaur, dan memerintah di lingkungan kementrian, maka Jokowi sudah punya jawabannya : akan ada Menteri Koordinator yang memberi arahan. Dari sini sudah tepat jika pemuda diberi kesempatan untuk melakukan perubahan dari dalam sistem, bukan luar sistem sehingga Indonesia dapat cepat berubah dari industri 4.0 menuju 5.0.

*Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Tribhuwana Tunggadewi, Malang. Tulisan-tulisannya bisa dibaca di www.fathulqorib.com

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.