Skip to main content

Sex Education by Netflix



Kita tidak sedang membicarakan wacana pembelajaran seks bagi siswa sekolah. Sex Education adalah tv series original dari Netflix yang saya tonton sejak satu minggu ke belakang. Ide ceritanya menarik, sebuah film yang mengisahkan kehidupan anak-anak sekolah menengah pertama di Amerika

Protagonisnya adalah Otis Milburn, usia 16 tahun, siswa SMP yang tidak pernah berhubungan seks sekalipun. Jauh setelah film diputar, baru diketahui bahwa Otis mengalami fobia seks. Teman akrabnya, Eric, seorang lelaki pecinta lelaki, suka dandan dan memakai outfit mencolok ke sekolah. Ia dan Otis adalah lelaki biasa di sekolah, minoritas, dan cenderung rendah diri.

Tokoh protagonis lainnya adalah Maeve Wiley, salah seorang perempuan yang punya stereotip murahan dan terkenal dengan julukan 'penis bitter'. Maeve seorang pembaca buku feminist dan memiliki kehidupan yang semrawut dengan orang tua dan kakak seorang penjual narkoba. Maeve termasuk sosok yang mandiri di sekolah, apatis, dan tangguh.

Otis dan Maeve akrab gara-gara mereka mendapati Adam Grof di kamar mandi, yang pusing karena menenggak 3 tablet viagra. Penisnya mengacung keras dan tidak bisa mengecil. Sebenarnya Adam mengidap rasa tidak percaya diri akibat penisnya yang terkenal superb. Akibatnya ia tidak pernah bisa ejakulasi ketika main seks pacarnya.

Singkat cerita, Otis berhasil mengedukasi Adam untuk menerima kondisinya. Sehingga beberapa hari kemudian, Maeve tahu dari pacar Adam, bahwa ia bisa ejakulasi. Keberhasilan Otis ini tidak lepas dari posisinya sebagai anak seorang terapis seks, sehingga sejak kecil ia memiliki banyak pengetahuan soal alat kelamin sampai persoalan seksualitas.

Kondisi ini segera ditangkap Maeve sebagai peluang bisnis. Otis diminta menjadi konsultan seks sebagaimana ibunya, dengan kliennya adalah siswa sekolah yang memiliki banyak persoalan; pubertas, masalah tidak puas berhubungan seks, takut dengan kelamin, juga kecanduan masturbasi.

Dari sini kisah mengalir menjadi banyak cerita yang menarik. Tetapi bukan hanya soal Otis yang akhirnya banyak menyelesaikan persoalan seks teman-temannya, tapi lebih dari itu mengupas banyak persoalan remaja dan kehidupan siswa di Amerika.

Film ini banyak menggambarkan kehidupan yang riil, bukan seperti sinetron fantasi pada umumnya. Otis yang memiliki ibu seorang terapis seks malah fobia terhadap seks dan ibuknya pun tidak bisa menyembuhkan. Eric, sempat mengalami masalah berat dengan Otis yang menyebabkan hubungan mereka hancur lalu Eric harus mencari jati diri akan ke-homo-annya.

Maeve, yang sejak awal dijuluki 'penggigit penis' akhirnya juga bercerita bagaimana ia mendapatkan julukan itu gara-gara ia menolak berhubungan seksual. Ditunjukkan dengan jelas bahwa Maeve hanya berhubungan seks dengan seorang lelaki paling tampan, berkulit hitam, dan seorang bintang renang sekolah. Kehidupan pribadinya yang patut dikasihani juga terungkap dan inspiratif.

Adam Grof juga bisa disorot, sebagai seorang lelaki tinggi besar, suka mengganggu Eric, anak kepala sekolah, tapi selalu bermasalah dengan ayahnya. Semua tokoh digambarkan secara manusiawi, memiliki satu kelebihan dan banyak kekurangan. Tak terkecuali geng centil yang biasa ada di sinetron Indonesia, juga tidak menggangu secara fisik, tetapi bermain isu dan sinisme.

Film ini sangat greget mulai dari awal hingga akhir. Sebuah tontonan yang menghibur sekaligus memberi kita banyak perspektif soal etika dan moral di dunia ini. Apalagi kisahnya mengenai remaja yang rata-rata masih mencari jati diri. Semuanya sedang menghadapi masa puber yang menjengkelkan, juga menantang.

Mereka membentuk kelompok, menyusun strategi pertemanan, mencari trik agar memiliki pacar dan dapat berkencan. Bahkan di film ini ada seorang perempuan yang sangat ingin berhubungan seks sampai menawarkan tubuhnya ke siapapun yang dijumpai, termasuk Otis. Yang akhirnya dua orang ini hanya sampai telanjang di kamar tidur tetapi gagal melakukan tujuannya gara-gara fobia Otis.

Jika betul bahwa film merepresentasikan masyarakatnya, maka kita akan mengacungkan jempol ke bawah untuk bangsa Amerika. Etika timur yang kita anut di Indonesia sungguh bertolak belakang dengan yang terjadi di sana. Kita menjunjung tinggi asas kerahasiaan dan ke-tabu-an seks, sementara di sana diobral.

Dari sudut pandang pribadi, saya tidak menolak seksualitas bagaimanapun. Tetapi merayakan seksualitas sebagai tanda seorang remaja keren sungguh tidak patut. Jauh lebih berbahaya ketika seorang remaja malu tidak berhubungan seks dengan pacar atau teman sekolah, dibanding seorang remaja yang menjaga diri dari seks dan menyimpan moment itu untuk masa depan yang lebih siap. Seks tentu lebih baik dilakukan di ruang privat, dibanding di pesta-pesta sekolah.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.