Skip to main content

Memutus Intoleransi di Negeri (Paling) Beragama



Menjelang Natal, umat beragama di Indonesia pasti digaduhkan dengan isu-isu intoleransi. Isu ini berputar pada pelarangan pemakaian atribut Natal, pelarangan pengucapan ‘selamat Natal’ dari muslim kepada umat kristiani, bahkan sampai pada isu larangan pelaksanaan Natal. Meskipun sangat disayangkan, tetapi kondisi tersebut belum menggambarkan keseluruhan cerita intoleransi di Indonesia. Masih banyak kasus intoleransi yang tidak diketahui orang awam sehingga belum menjadi agenda penting bagi banyak kalangan untuk memutus rantai intoleransi tersebut.

Wahid Foundation yang concern di bidang penelitian toleransi beragama, mencatat adanya ratusan peristiwa intoleransi di Indonesia. Tahun 2016, misalnya ada 315 kasus intoleransi. Tahun 2017 turun sedikit menjadi 265 kasus, dan tahun 2018 meningkat lagi menjadi 276 kasus. Tiga aktivitas intoleransi tertinggi adalah pemidanaan berdasarkan agama/keyakinan, penyesatan agama, dan pelarangan aktivitas. Adapun pelaku dari tindakan intoleransi tidak hanya dilakukan sekelompok orang atau individu, tetapi juga oleh negara.

Jumlah-jumlah ini mencengangkan karena warga Indonesia selalu menyuarakan persatuan di tengah kebhinnekaan. Karena itu, kondisi semacam ini sulit dipercaya tetapi benar-benar terjadi. Diperlukan langkah pasti untuk mencari solusinya sehingga siapapun yang hidup di Indonesia bisa merasakan kedamaian berdasarkan keyakinannya. Ada infrastruktur komunikasi yang dapat digunakan untuk mendamaikan kasus-kasus horizontal tersebut, yaitu media massa, dan media sosial. Kedua perangkat ini harus dimanfaatkan sehingga bisa mencegah meluasnya konflik.

Sebenarnya di media sosial sendiri sudah banyak yang meng-counter isu intoleransi dengan informasi-informasi toleransi yang menyejukkan. Tapi sebagaimana hukum sosial yang mengatakan ‘keburukan akan selalu cepat menyebar dibandingkan dengan kebaikan’, maka hal itulah yang terjadi pada kehebohan intoleransi. Masalahnya media sosial tidak ditata dengan baik, tidak terkoordinasi sehingga tidak menimbulkan efek yang besar bagi tersebarnya toleransi.

Peace Journalism

Aktivitas jurnalistik harus menjadi pioneer dalam menyebarkan gagasan toleransi. Toleransi merupakan salah satu unsur terpenting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak mungkin suatu negara bisa berdiri dengan pembangunan yang terus menerus jika terjadi gesekan antar masyarakatnya. Perlu dipahami bahwa toleransi harus digaungkan oleh kelompok mayoritas sehingga memiliki daya dorong ke seluruh pelosok negeri. Jika mayoritas bisa menjadi contoh yang baik di bidang toleransi maka minoritas akan dengan mudah mendukung toleransi tersebut.

Jika unsur masyarakat sudah menggaungkan toleransi, maka tugas media kemudian untuk mem-blow up nya sehingga menginternalisasi dalam kehidupan setiap individu di Indonesia. Media harus menjadi bagian dari ‘juru pendamai’ masyarakat agar tidak terjadi chaos dan mengganggu aktivitas bermasyarakat. Karena media memiliki peran penting sebagai satu-satunya sumber informasi yang dapat dipercaya. Informasi selain dari media massa bisa dianggap hoax, spam, disinformasi, atau fake news. Mengapa demikian? Karena selain media massa, tidak ada sumber lain yang memiliki gatekeeper dengan kode etik yang teruji.

Bayangkan jika media sosial digunakan sebagai parameter kebenaran informasi, maka bisa dipastikan akan terjadi kekacauan massal. Hal itu disebabkan setiap orang yang memiliki akun dapat mempublikasikan tulisannya ke media sosial tanpa mendapatkan sortiran dari orang yang dapat dipercaya. Berbeda dengan media massa yang memiliki sistem kerja jurnalistik yang teruji ratusan tahun. Jika wartawan tidak melakukan verifikasi terhadap fakta, maka beritanya pasti cacat. Jika redaktur tidak melakukan cek silang terhadap karya wartawan maka beritanya bisa jadi menipu. Sama halnya dengan pimpinan redaksi harus mempertimbangkan berita apa yang harus dijadikan headline, dan berita apa yang harus digugurkan dari meja redaksi.

Dalam konteks inilah media massa harus bertransformasi menjadi peace journalism yang dalam setiap pemberitaannya mempertimbangkan kedamaian khalayaknya. Karena banyak penelitian yang mengaitkan berita-berita di media massa dengan peningkatan kekerasan di suatu daerah. Padahal media massa memiliki tanggung jawab sosial untuk menciptakan dunia yang terhindar dari kepalsuan dan menyuarakan kebenaran secara terus-menerus. Kebenaran itu sendiri akan bermuara pada kedamaian sehingga jangan sampai media massa yang malah memperkeruh keadaan di masyarakat.

Peace journalism sendiri bukanlah konsep yang benar-benar baru dan ingin mengubah praktik jurnalistik yang ada di dunia. Peace journalism tetaplah jurnalistik yang sekarang ada dengan segala hiruk-pikuknya. Titik penting dari peace journalism adalah bagaimana media membuat pilihan tentang apa yang harus diberitakan dan bagaimana memberitakan informasi tersebut; tidak hanya melaporkan apapun yang dilihat oleh wartawan di lapangan. Hasil akhirnya adalah menciptakan pemahaman di masyarakat untuk menghargai perbedaan dan menanggapi perbedaan dengan penuh kedamaian.

Pilihan-pilihan ini seringkali harus membuat wartawan bekerja keras mulai dari melakukan peliputan hingga penayangan beritanya. Bentuk radikal dari peace journalism adalah media massa tidak memuat pemberitaan yang berkemungkinan menimbulkan konflik. Cara yang halus adalah dengan terus memberitakan kerjasama-kerjasama lintas golongan, lintas iman, dan lintas kebudayaan guna mengampanyekan toleransi. Cara-cara lain dapat dilakukan oleh tim redaksi berdasarkan kebutuhan termasuk mempertimbangkan peletakan halaman dalam berita cetak, jam tayang untuk televisi, dan jumlah penayangan berita di media siber.

Media Sosial

Solusi terakhir untuk memutus rantai intoleransi di Indonesia adalah dengan menyebarkan gagasan bhinneka tunggal ika melalui media sosial. Media sosial memiliki hukumnya sendiri, berbeda dengan media massa yang mengikuti undang-undang dan kode etik. Media sosial berputar bebas seperti roller coaster yang berputar-putar sampai penumpangnya muntah-muntah. Yang patut dicatat dari media sosial adalah penggunanya yang cenderung generasi milenial dan generasi alfa. Dua generasi digital inilah yang harus dipegang untuk masa depan Indonesia yang lebih toleran.

Generasi Y (milenial) dan generasi z ini masih mencari jati diri sehingga perlu diperluas aktivitas lintas iman dan kebudayaan yang dapat dijadikan referensi hidup damai di Indonesia. Jika media massa sudah mendukung peace journalism, masyarakat umum memperbanyak aktivitas toleransi secara riil, dan kampanye toleransi banyak disebar melalui media sosial maka masa depan Indonesia bisa lebih optimis. Kini tinggal bagaimana semua pihak ini saling merangkul dan berkomitmen menciptakan Indonesia bebas intoleransi, dengan komposisi kerja yang disesuaikan dengan kapasitasnya masing-masing.

Tentu ini tugas berat! Tidak ada yang ringan untuk membangun bangsa. Tetapi toh harus tetap diupayakan untuk menjamin anak cucu kita nanti bisa menikmati negeri Indonesia yang sejuk dan damai.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.