Skip to main content

Segala Hal Permukaan



Moana lahir di sebuah pulau yang dikelilingi oleh lautan. Sebagai anak perempuan berusia lima tahunan, Moana malah berbinar ketika salah satu tetua kampungnya menceritakan tentang monster lautan. Sebuah kisah ibu bumi yang membuat anak-anak seusianya pingsan atau menangis ketakutan. Sebagai sosok yang berbeda, kita akan langsung tahu bahwa ‘dialah bintangnya’. Meskipun tampak klise dan tertebak, namun percayalah bahwa di pertengahan hingga akhir kisah, Moana tidak pernah bertindak membosankan.

Perbedaan Moana dibandingkan anak-anak lainnya di Kepulauan Polynesia itu adalah: dia bandel. Kebandelan semacam ini biasanya diasosiasikan dengan kenakalan yang tidak bertanggung jawab. Kita lebih suka dengan anak yang penurut dan bisa diandalkan. Apalagi perempuan, kita menginginkan mereka bertindak manis, lembut, gemulai, murah senyum, taat, baik hati, dan pandai menabung. Perempuan yang bertindak sebagaimana Moana akan dicap sebagai perempuan urakan, lalu kita menciptakan berbagai kata buruk untuk distereotifkan kepadanya.

Kisah-kisah sebagaimana Moana, putri salju, ataupun cinderela memang mainstream dan susah mencari padanannya di kehidupan nyata. Bahkan jika kita memuja Moana sebagai sosok antimainstream sekalipun, menimbulkan keumuman yang lain. Karena banyak review film Moana yang menggumamkan bahwa kisahnya berbeda dengan kisah putri Disney yang lain. Tersisa pertanyaan yang janggal, kenapa Moana harus anak kepala suku? Kenapa dia tidak anak pelaut biasa, yang hidupnya biasa saja sebagaimana penduduk desa lainnya?

Kebanyakan kita memang sulit memikirkan bahwa orang biasa akan mampu menjadi orang yang luar biasa. Dalam kehidupan nyata, kita sering menjumpainya. Gus Dur misalnya, apakah ia akan mampu menjadi sosok yang berpengaruh jika saja dia bukan cucu pendiri NU? Meskipun kita tidak menafikan pula bahwa banyak orang kecil akhirnya menjadi besar karena usahanya sendiri yang luar biasa. Misalnya Jobs, Chairul Tanjung, atau Miyamoto Musashi. Bahwa kita lebih suka memilih menyumpahi diri sendiri, menikmati menjadi orang kecil nan miskin, atau melulu dininabobokan oleh rasa syukur karena bisa ‘sekadar’ bernafas, menikmati kesehatan dan keimanan; itu harus diakui.

Kembali ke Moana, bahwa jika ia hidup di dunia nyata, akan membawa dampak yang luar biasa. Kemampuannya untuk berbuat nekat harus dipraktekkan oleh orang-orang yang terlalu lama hidup di zona nyaman. Karena memang harus ada kondisi yang ‘menakutkan’ untuk membuat orang melompat ke dalam jurang. Moana harus mencoba menerjang ombak hingga terjepit batu karang sebelum ia akhirnya berhasil melewati keganasan ombak lautan Pasifik di percobaan berikutnya. Toh ia tidak menyerah. Sebabnya, ia harus menyelamatkan orang tuanya, menyelamatkan desanya, menyelamatkan segala identitas kedirianya dari kemusnahan yang disebabkan oleh Te Fiti.

Moana

Moana sendiri secara fisik bukanlah sosok sebagaimana putri Disney pada umumnya. Dengan kulit kecoklatan khas gadis pantai, Moana tentulah tidak menyukai perawatan tubuh yang ideal. Tetapi bagaimanapun, sebagai anak dan sebagai perempuan, Moana dipandang sebelah mata. Bahwa di manapun di dunia ini, seorang anak sering salah di hadapan sang ayah –apalagi anak perempuan namun berkeinginan seperti lelaki. Demikianlah Chief Tui, ayah Moana, terus melarangnya untuk berlayar karena lautan bukanlah tempat bermain.

Dalam kajian feminisme, sosok Moana pastilah mendapatkan applouse yang luas biasa. Feminisme yang selalu ‘menomorsatukan’ perempuan tampaknya akan mendapat banyak tempat di film-film Disney mendatang. Hal ini bisa kita lihat dari kisah princess sebelumnya, Tangled, Frozen, Mulan, dan Brave yang membuat remaja-remaja berusia 16 tahun menjadi sosok yang tangguh dan bahkan mendominasi pasangannya (laki-laki). Moana pastilah bukan perempuan yang lemah. Tetapi apakah semua perempuan harus seperti Moana? Atau semua perempuan harus seperti putri salju dan putri tidur?

Perempuan harus bertindak berdasarkan kepribadiannya, kemampuannya, dan peran sosialnya. Penomorduaan perempuan memang tidak bisa dibiarkan, tetapi membuat perempuan mempersoalkan posisinya sebagai perawat anak-anak bukanlah tindakan bijaksana. Moana sebagai putri kepala suku memang harus bertindah menyelamatkan homeland-nya. Sehingga ia telah bertindak sesuai dengan peran yang dibebankan kepadanya. Mengharapkan Moana duduk manis, sedangkan petani mulai kehilangan buah kelapanya dan nelayan kehilangan ikan-ikannya, adalah kebodohan.

Sehingga Moana harus mendobrak, dan hal ini bisa dilakukan oleh siapapun –bahkan jika yang melakukan pendobrakan adalah lelaki, tetap harus didukung dan diberikan standing applouse. Jadi persoalannya bukanlah di sosok Moana yang perempuan, tetapi Moana sebagai manusia yang bertanggung jawab atas peran anak kepala suku. Beruntung bahwa ia berhasil (karena film), dan jika ia gagal dalam kehidupan nyata, maka jasanya harus dikenang. Jadi kita harus terus mencoba melihat fakta sebagai fakta. Karena Moana yang dijagokan sebagai penggerak feminisme sekalipun, adalah konstruksi yang harus ditelisik lagi makna-makna dibaliknya.

Chief Tui

Sebagai penonton, sebenarnya kita akan tahu bahwa Moana bakal berhasil pergi ke lautan mengarungi mimpinya. Tetapi terlebih dahulu kita akan membenci Chief Tui karena menentang keinginan anaknya sendiri. Ini adalah hal normal karena memang ayah Moana bisa dikatakan antagonis permulaan. Padahal ada banyak alasan mengapa kepala suku itu berbuat demikian. Alasan-alasan inilah yang jarang dipahami oleh siapapun kita sehingga bisa mengklaim, menuduh, atau menjustifikasi, orang lain dengan leluasa –bahkan tanpa rasa bersalah.

Dalam psikologi komunikasi, kita akan akrab dengan konsep diri (self concept) yang menjadi dasar seseorang bertindak ke dalam maupun keluar dirinya. Konsep diri ini dipelajari bahwa setiap orang bertindak sesuai dengan : pendidikan, latar belakang sosial, budaya, dan terutama pengalamannya. Pun demikian dengan ayah Moana, bahwa ia punya pengalaman buruk dengan laut. Ia pernah menentang perintah kepala suku sebelumnya (ayahnya sendiri) lalu pergi bersama kawannya. Sesampainya di batas wilayah pulau sebelum lautan lepas, ombak besar menggulungnya hingga kawannya mati tak tertolong.

Kejadian itu mengganggunya hingga bertahun-tahun kemudian. Kebersalahannya itu lah yang membuatnya bersikap demikian kepada anaknya. Bahkan jika anaknya ngotot ingin pergi menyelamatkan dunia, ayahmua tetap akan menentang. Semata-mata, tindakannya didasarkan pada pengalamannya. Ia tidak ingin pengalaman buruknya menimpa anaknya. Kecintaan semacam ini wajar. Di kehidupan nyata sekalipun kita juga akan sering mengalaminya. Tetapi kesadaran kita tidak sampai mengungkap motif dibalik pelarangan atau perintah seseorang. Karena jika sudah dilarang, maka kita akan emosi lalu tidak mengindahkan lagi pikiran yang masuk akal.

Gramma Tala

Tokoh yang paling saya gemari di film ini adalah nenek Moana. Sang Gramma ini pandai menari mengikuti dengan ombak laut. Bisa dikatakan, Gramma merupakan sosok yang punya pertalian kuat dengan lautan. Ia satu-satunya yang percaya bahwa jantung Te Fiti, Dewi Bumi, dicuri oleh manusia setengah dewa bernama Maui sehingga menimbulkan malapetaka di dunia. Ia juga mempercayai bahwa nenek moyang mereka sebenarnya adalah penjelajah laut. Termasuk kepercayannya bahwa Moana memang ditakdirkan untuk menemukan jantung Te Fiti sehingga ia harus pergi ke lautan.

Di kehidupan nyata, Gramma bisa dikategorikan sebagai orang gila yang akan diolok-olok. Orang-orang yang terlihat gila ini bisa sangat menikmati kehidupannya, bisa pula kesepian sepanjang waktu. Gramma menjadi tokoh penting dibalik keberhasilan Moana dalam menyelamatkan dunia. Karena tanpa orang yang mempercayai mitos atau legenda masa lalu, maka orang zaman sekarang tidak akan tahu kisah-kisah dari Candi Prambanan, Pencurian sayap bidadari oleh Jaka Tarub, atau kisah semar yang memakan gunung.

Bahwa kita tidak mempercayai tahayul, sah-sah saja. Jalan keluar untuk menghadapi orang-orang yang kita anggap gila adalah dengan tidak meremehkannya, tidak mencemoohnya, termasuk tidak membencinya. Biarkan lah orang menemukan jalan kedamaiannya masing-masing. Bahkan jika ada seorang manusia yang mengaku sebagai Nabi baru, kita tak sepatutnya melemparinya dengan batu. Karena Isa pada kemunculannya, atau Muhammad saat memulai dakwahnya, juga dihina, dilempar batu, diolok-olok, juga disiram kotoran. Memang tidak berarti bahwa setiap orang gila adalah nabi, tetapi mereka memiliki jalan kebaikan dan kejahatannya masing-masing. Kita sama sekali tidak pernah tahu masa depan.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.