Skip to main content

Jangan Pecah : Umat dan Ulama

jumatan 212, sumber : Republika

Ada tiga kondisi umat islam di Indonesia saat ini; pertama, orang yang militan terhadap pengusutan hukum terhadap Basuki Tjahaya Purnama, kedua, orang cenderung mendukung ketidakbersalahan Basuki alias Ahok, dan terakhir adalah orang muslim yang memilih cuek dan tidak ambil pusing dengan seluruh kejadian tersebut. Persamaan diantara tiga kelompok ini adalah; mereka semua merasa benar dengan pilihannya sehingga banyak yang saling mencemooh dan menghujat di berbagai media publik.

Telah menjadi maklum bahwa Majlis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa bahwa Ahok telah menistakakan agama Islam dalam pidatonya di Kepulauan Seribu. Dan fatwa seperti itu, bagi golongan muslim pertama bisa menjadi tongkat musa. Bagi golongan kedua, MUI akan semakin dibenci dan diduga diisi oleh ulama tak berilmu, dan bagi golongan terakhir, MUI adalah lembaga yang ada ataupun tidak adanya sama saja (wujuduhu ka’adamuhu). Kita patut menyayangkan kondisi yang silang sengkarut ini, namun selalu ada hikmah di setiap peristiwa.

Harus diakui bahwa sesalah-salahnya kemarahan umat islam, hikmah dari peristiwa ini juga sedemikian besar. Bagi masyarakat yang mau berpandangan obyektif, tentunya mengakui bahwa aksi yang dilakukan umat islam pada 411 maupun 212 merupakan aksi yang menggetarkan hati. Media sudah banyak mencuplik kisah-kisah di dalamnya, mulai dari massa yang berjalan kaki karena bus dilarang mengangkut mereka, makanan gratis bertebaran, hingga ketertiban umat islam saat melakukan aksi, salat, dan tetap kokohnya tanaman di taman Jakarta.

Kebersatuan umat islam ini bukanlah berdasar sesuatu yang diimajinasikan –sesuatu yang seperti konsep bangsa dan nasionalisme ala Bennedict Anderson. Kebersatuan ini mengambil Agama Islam secara mendalam sebagai dasar pergerakannya. Mereka bergerak karena mereka satu agama, satu rasa –yang sama marah dengan perkataan Ahok. Tentu saja banyak ulama’ yang aktif dalam aksi super damai tersebut,termasuk juga banyak umat yang taklid di sana. Tapi tidak salah juga bahwa banyak ulama yang tidak ambil bagian dalam aksi salat Jumat di Monas itu. Jadi semuanya sah demi alasan dan ijtihad masing-masing.

Peran Ulama

Di Indonesia, ulama masihlah sosok yang dimuliakan karena dipercayai sebagai warosatul anbiya’. Sehingga titah ulama sangat dipegang oleh jemaahnya; digunakan sebagai pedoman, bahkan digunakan senjata yang tidak mempan tembakan aparat bersenjata. Ada tanggung jawab besar yang dipegang ulama’ pada persoalan penistaan agama oleh Ahok ini. Karena sebagai pewaris para nabi, jangan sampai mereka mengeluarkan fatwa yang membuat umat pecah belah. Kita harus memahami bahwa banyak umat yang tidak mempraktekkan kearifan ‘undzur ma qola, wala tandzur man qola’ : lihatlah apa yang dibicarakan, bukan siapa yang berbicara.

Karena itu, sosok ulama masihlah menjadi tumpuan bagi Negara Indonesia untuk ‘menjinakkan’ umat islam ketika suatu persoalan terjadi –dan dengan kekuatan umat islam, persoalan itu akan selesai. Karena itulah, pemerintah berkali-kali mengunjungi markas NU dan Muhammadiyah untuk berkonsolidasi. Kita tidak tahu apa yang mereka bicarakan, namun dalam konteks positif, tentulah pemerintah ingin agar NU dan Muhammadiyah menjinakkan jemaahnya. Dan tebakan ini hadir dalam ‘kenetralan’ NU dan Muhammadiyah untuk aksi 212.

Namun keyakinan bahwa ulama’ dan organisasi keagamaan masih memegang kendali atas umatnya, kadang tidak terbukti 100 persen. Karena kekuatan media saat ini jauh melampaui kekuatan ulama dan organisasinya. Diakui ataupun tidak, banyak jemaah yang kini merasa memiliki kemandirian pola pikir –entah karena terprovokasi atau karena benar-benar berfikir. Hal itu yang menjadi sebab, banyak umat NU, Muhammadiyah, maupun organisasi keislaman lainnya tetap memenuhi Monas dan sekitarnya dalam aksi bela Islam. Seruan NU, Muhammadiyah, dan MUI malah cenderung ambigu, antara memperbolehkan atau melarang.

Tapi meski terlihat ambigu, langkah yang diambil organisai keislaman ini bisa menjadi langkah strategis. Banyak orang yang mencintai NU menganggap langkah NU adalah langkah sakral pengorbanan diri. Meskipun dihina karena dianggap tidak punya ghirah memperjuangkan nama baik islam, NU tetap kokoh untuk melarang jemaahnya demo ke Jakarta. Alasannya jelas; pertama hukum terhadap Ahok tidak dapat diintervensi; kedua, NU memilih jalur aman agar tidak terjadi gelombang massa yang maha besar jika NU memfatwakan jemaahnya agar datang ke Jakarta –ingat bahwa massa NU lebih tunduk pada fatwa kyainya dibanding jemaah ormas lain, dan NU adalah ormas yang punya massa islam terbesar di Indonesia.

Langkah-langkah yang sudah ‘benar’ tersebut jangan sampai dinodai lagi. Perkataan Ulama jangan ditambah-tambahi dan jangan mau dipancing oleh wartawan untuk mengomentari kasus ini tanpa pikiran yang jernih. Kalau dianggap keliru bisa menyebabkan blunder karena bermusuhan dengan jutaan massa aksi, kalau dianggap benar oleh massa 212 maka muslim golongan kedua dan ketiga bakal mecucu. Karena itu, tweet Gus Mus yang menyebut Jumaatan di jalan raya sebagai ‘bid’ah sedemikian besar’ itu menimbulkan polemik baru. Terjungkal-jungkal lah pecinta Gus Mus dengan muslim yang tergerak hatinya untuk jumatan bareng di Monas.

Di sini Gus Mus sepertinya membela Ahok, padahal di statusnya di facebook, beliau pernah menunjuk Ahok sebagai virus yang telah menyerang akal sehat jutaan umat muslim. Mungkin saya memahami bahwa Gus Mus hanya ingin meletakkan masalah pada tempatnya –yang menurut beliau: Ahok jelas salah, tapi mengumpulkan umat islam untuk salat Jumat di jalan raya Jakarta demi persoalan ini juga langkah yang tidak tepat. Gus Mus tidak memberikan jalan keluar secara syariat, hanya hakikat yang ia sampaikan : Jangan berlebih-lebihan. Termasuk sedang-sedang saja dalam menyenangi dan tidak berlebih-lebihan dalam membenci.

Saya tidak merasa lebih baik dibanding ulama, tapi ada perkara yang harus ulama ambil dari kasus Gus Mus ini. Bahwa suatu hal yang mengerikan ketika ulama memberikan pernyataan, lalu beberapa umatnya malah menjadi musuh dan melayangkan perkataan yang buruk. Karena itu, dalam kasus Sari Roti yang saat ini menjadi viral gara-gara pernyataannya yang ‘tidak mengenakkan’ peserta aksi 212, ulama pun mesti berhati-hati. Fikirkan juga ketika memasang foto sarapan Sari Roti bersama teh di facebook, akan ada orang yang menjadi musuh secara mendadak.

Bukankah hal itu harus dihindari agar umat Islam tidak semakin terpecah? Pemahaman umat jelas berbeda-beda, ada yang awam dan ada yang pemahamannya tinggi. Sehingga ulama sebagai orang yang kuasa pengetahuannya lebih banyak, harusnya lebih bijak menyampaikan hal kontroversial ini. Sungguh suatu kerugian jika umat terpecah, jika bersatu lebih baik.

Proses Hukum

Karena gema penolakan yang menggelegar ini, akhirnya Ahok mengucapkan permintaan maafnya. Ini adalah langkah yang bagus, kalau tidak bisa dianggap luar biasa, bahwa seorang pejabat Indonesia akhirnya mengucapkan permintaan maaf atas kesalahannya. Biasanya, kita cenderung berkaca ke Jepang, yang jika pejabatnya terlibat dalam kesalahan yang tak termaafkan, akan mengakui kesalahannya dan mengundurkan diri. Jadi Ahok sudah meminta maaf, meskipun akhirnya kita tahu bahwa permintaan maaf saja tidak cukup. Dan sekarang, Ahok sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri, apakah cukup?

Umat islam sudah menunjukkan kekuatannya yang luar biasa dengan dua aksi yang super mengejutkan. Presiden dan Polri harusnya tidak main-main dalam kasus ini karena hal ini bisa membahayakan status mereka di masa mendatang. Karena itu, umat islam lebih baik mendinginkan kepala terlebih dahulu. Ada proses hukum yang berjalan. Persoalan penahanan, memang hak subyektif dan obyektif kepolisian berdasarkan hukum materiil dan formil untuk melakukannya. Apakah penahanan ini akan disamakan antara Buni Yani dan Ahok, itu susah-susah gampang. Yang penting, jika ada hal yang tidak janggal, mereka tahu bahwa muslim tidak tinggal diam.

Yang perlu kita lakukan saat ini adalah berbuat santun di media sosial. Berminggu-minggu ini umat Islam seperti kesetanan karena debat yang tak berkesudahan di dunia antah berantah; mulai warung kopi, masjid, kampus, media konvensional dan media sosial, bahkan mungkin dalam tidurnya sekalipun. Jangan pedulikan orang yang ingin memancing pembicaraan yang tak berujung pangkal, karena sekali kita terperosok, agama yang dikorbankan. Kita musti menyontohkan bahwa Islam adalah agama yang damai dan agama yang benar.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.