Skip to main content

Catatan Menjadi Wartawan


semasa jadi wartawan yang alhamdulillah allahuakbar
Pekerjaan yang paling mengesankan adalah menjadi wartawan. Bagi sebagian besar orang, menjadi wartawan adalah pekerjaan idaman. Atau bagi sebagian besar mahasiswa lulusan Ilmu Komunikasi, menjadi seorang wartawan adalah impian sejak ikut pers kampus. Tidak jarang pekerjaan wartawan diidentikkan dengan pekerjaan yang mulia, semacam penyambung lidah rakyat –bagi Sukarno. Wartawan juga identik dengan sekelompok orang yang maha tahu. Karena itu jangan heran jika banyak orang menghormati kenalannya yang berprofesi sebagai wartawan.

Meskipun profesi ini dicintai, namun banyak juga yang membenci. Banyak orang yang ‘tampaknya saja’ menghormati orang yang berprofesi sebagai wartawan. Namun di balik itu, mereka mengolok-olok bahkan terkesan mencemooh wartawan. Sebabnya bisa jadi macam-macam, misalnya sekarang banyak berita hoax atau media yang meliput hanya mengandalkan angle yang menarik –bukan angle yang dibutuhkan masyarakat. Bisa juga karena perilaku wartawan yang dianggap sewenang-wenang, atau banyak wartawan bodrek yang memberlakukan tarif pada narasumbernya.

Terlepas dari dicintai atau dibenci, enakkah menjadi wartawan itu? Pertanyaan ‘enak atau tidak enak’ kebanyakan akan mendapatkan jawaban subyektif. Beruntungnya adalah saya pernah menjadi wartawan sehingga subyektifitas ini layak dipercaya. Dari pada menjawab dengan singkat, persoalan enak dan tidak enak ini lebih baik saya jabarkan di bawah :

Pertama, sibuk. Menjadi seorang wartawan selalu memiliki kesibukan yang teramat sangat. Ketika ada bencana alam, seorang wartawan tidak akan bisa istirahat dan ia malah mendatangi lokasi bencana. Ketika ada bom di sebuah pusat perbelanjaan, maka orang-orang akan berlarian menjauhi bom. Wartawan malah sebaliknya, ia datang, kalau bisa masuk ke dalam dan melihat rupa bomnya seperti apa, apakah hijau kekuningan, berapa jumlah kabel yang berjuntai, tidak lupa juga mengabadikannya.

Ketika tanggal merah berderet, orang-orang bisa terlena. Sedangkan bagi wartawan, tanggal merah berderet itu seperti dencit kereta api: waktunya berangkat menembus kabut. Ingat, jika tanggal merah maka orang pasti ramai memperingati sesuatu, bisa maulid Nabi, Natal, atau Waisak. Dan dalam acara-acara seperti itu, wartawan tidak bisa tidur tenang di rumah. Ia harus di sana, berjibaku dengan polisi yang mengatur kemacetan, atau membayangi kyai yang berkhutbah berapi-api.

Kedua, tidak punya waktu. Wartawan tentunya memiliki waktu 25 jam dibanding manusia normal pada umumnya. Namun wartawan sebenarnya tidak punya waktu untuk melakukan segala sesuatu. Terasa aneh dan janggal karena meskipun berjaga sepanjang waktu, seorang wartawan merasa telah melewatkan begitu banyak hal. Bagi orang yang tidak pernah menjadi wartawan, profesi ini diibaratkan profesi hantu. Pagi ia menyelinap di pasar, siang bertamu pemilik pabrik, sore meliput karnaval budaya, dan malamnya masih harus mengikuti polisi mengejar maling ayam.

Wartawan punya waktu 25 jam sehari untuk berita, tetapi ia tak pernah punya waktu untuk selain itu. Karenanya jangan heran kalau janjian personal dengan wartawan –bukan urusan berita- maka dipastikan terlambat, atau minimal berubah jam pertemuan. Karena bagi wartawan, bertemu dengan narasumber harus didahulukan dari pada bertemu dengan orang lain. Jika punya saudara atau teman wartawan, mereka sering kali tidak mendatangi undangan nikah, tidak ikut coblosan di kampung sendiri, jarang punya pacar yang bertahan hingga tiga bulan, bahkan tidak mendatangi upacara kematian tetangga rumah –kecuali tetangga rumah mati terkena malaria, atau tanggal kematiannya sama dengan tanggal lahir dan tanggal pernikahannya.

Ketiga, hidup untuk publik. Sudah lama diketahui bahwa fungsi pers adalah memberikan informasi kepada masyarakat luas. Di atas juga sudah disinggung bahwa wartawan hanya memiliki waktu untuk mengejar berita, dan berita adalah untuk publik. Karena itu bisa dikatakan, wartawan hidup untuk publik. Ia bisa jadi lupa kapan ulang tahun istrinya, tapi ia ingat dan diingatkan kapan istri Kapolres ulang tahun. Bukan karena istri Kapolres biasanya lebih cantik, tetapi ulang tahun istri Kapolres selalu dirayakan sehingga bernilai berita.

Bagi wartawan, publik adalah nomor satu. Meskipun tidak secara langsung berhadapan dengan publik, namun wartawan adalah kunci dari berita yang tersebar. Tanpa wartawan mustahil ada berita yang mampir di meja redaksi. Karena itu, apapun yang diketahui masyarakat tentang dunia luar, biasanya berasal dari kerja kewartawanan. Jika masyarakat merasa terbantu dengan berita itu, maka popularitas media yang bersangkutan akan naik –imbasnya adalah pujian kepada wartawan juga mengalir.

Konteks kerja untuk publik juga harus mengalir ke dalam nadi seorang wartawan. Ia tidak boleh dikekang oleh kantor redaksi, manajemen keuangan perusahaan, atau pun dikekang oleh pihak eksternal yang mencoba untuk menutupi informasi yang bernilai berita. Meksi demikian, seorang wartawan juga tidak boleh lebai, informasi ditutup sedikit saja oleh oknum aparat, langsung heboh dengan membuat pernyataan, aksi, atau melaporkan ke asosiasi jurnalisnya. Padahal dalam kerja investigative reporting, main kucing-kucingan dengan narasumber adalah hal biasa.

Jika wartawan sudah niat bekerja untuk publik, maka apapun yang ia lakukan di lapangan adalah demi rakyat. Ia bekerja demi kebenaran. Seorang wartawan akan rela bergelimang lumpur di sawah demi menguak kasus penjualan manusia, atau seorang wartawan demi berlarian di medan perang untuk meliput kejahatan yang dilakukan oleh negara kepada rakyatnya. Karena itu, jika sudah menyematkan diri menjadi pekerja publik, maka seorang wartawan tidak diperbolehkan manja lagi.

semasa jadi wartawan yang aduhai syalalalala
Keempat, tuntutan selalu tahu. Tidak jarang dalam diskusi umum, salah seorang akan berkata “ayo mas wartawan, menurut sampean gimana? Kan wartawan harusnya tahu persoalan seperti ini”. Ini jenis anggapan dan pertanyaan yang ngeri-ngeri sedap. Karena tidak semua wartawan tahu segala hal. Seorang wartawan hanya tahu apa yang ia pernah dengar atau apa yang pernah ia liput. Seorang wartawan yang pindah tempat liputan, dari kriminal ke pemerintahan, sudah jelas terlihat culunnya. Wartawan pemerintahan mana tahu bedanya pasal 351 dan 352, wartawan olahraga tidak akan ngeh dengan KUAPPAS dan PAK APBD, begitu pun wartawan kriminal tidak akan faham kenapa PSSI sampai sekarang memusingkan.

Karena itu, penyematan kategori ‘wartawan serba tahu’ adalah sesuatu yang jahat. Tuntutan serba tahu dari masyarakat ini kadang memaksa wartawan bicara asal bunyi. Yang terjadi wartawan kehilangan kredibilitasnya. Sehingga wartawan sebagai penulis berita yang mendidik, juga harus memberikan pemahaman kepada warga bahwa tidak semua wartawan tau kasus korupsi yang dilakukan kepala desa. Namun tuntutan masyarakat ini bisa diminimalisir dengan memperbanyak membaca berita temannya sendiri. Wartawan jangan malas membaca berita. Meskipun wartawan olahraga, ia harus tetap membaca berita kriminal dan budaya.

Tuntutan serba tahu yang paling sadis biasanya datang dari redaksi sendiri. Tidak jarang seorang editor, redaktur, dan pimpinan redaksi, memarahi  seorang wartawan karena ketinggalan berita dari media tetangga. Hal ini sering menjadi beban wartawan dalam pekerjaannya. Karenanya wartawan sering bekerja sama saat di lapangan. Mereka mengelompok, membuat grup, ngopi bareng, bahkan saling tukar berita demi tidak dimarahi redaktur di kantor. Padahal ketika rapat redaksi, selalu ditekankan bahwa wartawan media tersebut bekerja sendiri dan haram hukumnya barter berita dengan media lain. Kata wartawan : kayak redaktur tidak pernah jadi wartawan aja!.

Keenam, punya uang berlebih. Enaknya menjadi wartawan adalah punya uang yang lebih banyak dibandingkan dengan bekerja di tempat lain yang setara. Persoalan gaji, kita sering mengaku kurang –dimanapun tempat kerjanya. Karena saya pernah jadi wartawan, maka saya tahu dari mana saja sumber uang berasal. Misalnya, dari gaji pokok+tunjangan, dari penghasilan iklan, dan dari santunan narasumber. Untuk gaji dan uang persentase iklan, semua orang pasti sudah tahu. Misalnya jika wartawan berhasil mendapatkan iklan senilai Rp 50 juga, maka wartawan akan mendapatkan bagian, tergantung kesepakatan persentase dengan perusahaan persnya.

Khusus mengenai santunan narasumber ini biasanya ditutup-tutupi oleh wartawan. Kita juga tidak bisa menjustifikasi bahwa semua wartawan menerima amplop. Jadi lebih baik jangan menuding, dari pada wartawan marah dan akhirnya kita kena getahnya. Nilai dari santunan narasumber ini tidak sedikit, tapi juga tidak besar. Fungsinya pun bukan untuk menutupi suatu berita, tetapi lebih pada menjalin hubungan dan penghargaan narasumber atas kerja wartawan. Seringkali wartawan yang tidak diberi uang santunan ini ngomong; narasumber tidak menghargai kita sama sekali, saya tulis sedikit saja.

Mau membahas persoalan ini panjang-panjang kadang mengerikan juga. Karena banyak wartawan yang benar-benar tidak mau menerima apapun dari narasumbernya. Bahkan jika terpaksa menerima, uang itu akan dikirim ke kantornya untuk dikirim ke santunan anak yatim atau fakir miskin. Jadi kejadian ini tidak bisa digeneralisir. Percayalah hanya wartawan tertentu saja yang menerima uang dari narasumber, dan percayalah bahwa keuangan wartawan lebih banyak yang baik-baik saja dari pada yang kekurangan. 

Ketujuh, link bercabang. Jika kita sering ngobrol dengan orang lain, sering berdiskusi, apalagi sering menyenangkan hati orang, maka dengan sendirinya kita akan akrab. Keakraban semacam ini bisa mendatangkan manfaat berupa link jangka panjang yang serba guna. Misalnya memudahkan pengurusan proposal penggalangan dana Karang Taruna, memudahkan mengurus KTP dan SIM, hingga memudahkan keluarga wartawan untuk masuk ke tempat wisata gratis. Hal ini tidak dipungkiri, kadang dimanfaatkan oleh wartawan, dan banyak pula wartawan yang sering menolak fasilitas semacam ini.

Intinya adalah dengan link ini wartawan mendapatkan manfaat dan fasilitas. Sering kali kita harus menganggapnya sebagai fairness –karena orang-orang kadang suka menraktir wartawan agar nanti jika punya acara bisa diliput. Yang mengenaskan, wartawan diberi faslitas agar tidak menulis hal-hal yang buruk dari perusahaan multinasional atau personal. Kejadian ini juga banyak dialami profesi lainnya. Misalnya kita sering membawa rokok ke Kepala Desa agar ketika mengurus nikah sirri ketiga, tidak mendapatkan kesulitan. Jadi, selama masih di Indonesia, kejadian ini ‘dianggap’ sah-sah saja. 

Bekerja Serius

Itu adalah beberapa catatan indah dan tidak indah selama menjadi wartawan. Masih banyak hal yang bisa menjadi alasan kenapa kita tidak harus menjadi wartawan. Terutama adalah bagi kita yang sangat cinta sama keluarga, lebih baik tidak menjadi wartawan. Ketika saya sudah alih profesi sebagai pekerja kantoran, saya faham arti libur dan ketenangan batin. Karena saat menjadi wartawan, hape tidak pernah bisa di-silent, apalagi dimatikan. Hukumnya haram –menurut Pimred Malang Voice. Pun ketika ada bunyi WA, bbm, atau telepon dan sms, harus segera direspon seketika.

Perlu penggambaran memang, antara wartawan media serius dan tidak serius. Ketika wartawan bekerja di media yang serius, yang ingin bersaing dengan media lain, maka ia memberlakukan ketentuan kerja yang ketat. Wartawan tidak pernah bisa tenang bekerja di media yang seperti ini. Ia harus selalu memantau perkembangan, berfikir semalaman untuk berita besok yang spektakuler, memasang telinga di reserse kepolisian, hingga nongkrong sampai jam 02.00 demi wawancara dengan bencong yang berada di perbatasan Batu-Malang.

Wartawan jenis ini selalu tidak bisa tenang ketika mendengar dering hape. Rasanya di dada ada yang bergetar tidak mengenakkan. Sama seperti mahasiswa S1 semester 11 yang belum menyelesaikan skripsinya. Ketika ia ngopi santai di dermaga saksi bisu, kemudian ada temannya yang ngomong soal skripsi, dadanya langsung gemetar karena gentar. Serrr!. Nggak enak. Wartawan juga tidak punya jam pasti kapan ia harus liburan, kapan harus bekerja. Bahkan jika diberi libur pun, liburannya menjadi hal yang menggelisahkan karena setiap saat dihubungi narasumber.

Berbeda dengan wartawan yang bekerja di media tidak serius, ia bisa santai ngopi sampai pukul 12.00 siang tanpa khawatir tidak mendapat berita. Karena ia bisa mencontoh, kopi paste modifikasi, hingga mencuri berita wartawan lainnya. Wartawan model ini juga tidak dioyak-oyak (disuruh-suruh dengan keras) oleh kantornya. Kenapa? Karena kantor berita yang tidak serius tidak dapat menggaji wartawannya dengan pantas. Hukum jual beli berfungsi: tidak mampu memberi gaji tinggi, maka tidak mampu menyuruh pegawai untuk bekerja keras.

Comments

  1. penjabaran yang luar biasa mas Fathul. Salah satu yang membuat saya tertarik menjadi wartawan adalah dari kenal mengenal dan bercerita.

    Tulisan saudara membuat saya tetap konsisten dengan motivasi profesi yg saya jalani. Salah hormat :)

    ReplyDelete
  2. pengalaman akan membawa simpulan yang subkektif, pun tulisan di atas. bagaimanapun: terimakasih sudah mampir, monggo silatirahim di facebuk jika berkenan, supaya bisa saling mention. :D

    ReplyDelete

Post a Comment

semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.