Skip to main content

Bob Dylan, Musik yang Menggerakkan

DylanPostcard - sumber : nobelprize[.]org
Komite Nobel Sastra 2016 dengan berani memberikan hadiah paling bergengsi di dunia itu kepada seorang pemusik dan penulis lirik lagu; Bob Dylan. Keputusan ini sangat berani mengingat ada beberapa kandidat penulis – sastrawan kelas dunia yang diunggulkan, seperti Haruki Murakami yang dalam tiga tahun ini selalu diharapkan menang, penulis AS Joyce Carol Oates, penulis Irlandia John Banville, juga penulis asal Indonesia; Eka Kurniawan yang baru-baru ini muncul dalam pemberitaan.

Penghargaan yang diberikan kepada Bob Dylan ini bakal menimbulkan dampak yang besar di kalangan sastrawan, terutama dalam hal menerapkan standarisasi karya sastra dan sastrawan itu sendiri. Selama ini, karya musik –khususnya lirik lagu, masih belum dianggap sebagai karya sastra yang diperbincangkan dalam diskusi kebudayaan. Lirik lagu dan musiknya hanya akan menjadi bahasan dalam diskusi musik, bukan diskusi karya sastra. Maka dengan penghargaan Nobel Sastra kepada pemusik ini, sastrawan akan mulai membincang lirik lagu sebagai ‘awal pergerakan baru’, sebagai sastra yang hidup.

Nobel Sastra adalah penghargaan yang paling dinanti di seluruh dunia. Tidak ada yang punya kuasa untuk menggugat penghargaan ini, meskipun banyak orang yang tidak puas terhadap keputusan mereka dari waktu-waktu. Namun demikian, penghargaan nobel masihlah sesuatu yang membanggakan dan akan dijadikan tolok ukur dari sebuah penilaian. Jika panitia nobel kemudian membuat pemusik legendaris AS ini sebagai pemenang di bidang sastra, maka demikianlah ke depannya pemusik punya kesempatan mendapatkan hadiah serupa.

Sementara pemusik mendapatkan tempatnya yang memukau di kalangan sastrawan dunia, pemusik di Indonesia masihlah belum menunjukkan keberhasilan sama sekali. Kecuali Anggun C Sasmi dan Agnes Monica yang diberitakan sudah mendunia, namun lirik ataupun aliran musik yang mereka mainkan belum banyak dibicarakan. Kita boleh sedikit senang karena masyarakat kelas menengah yang diwakili pemuda-pelajar, sekarang dibuat terpesona dengan pemusik yang membawakan lagu-lagu di luar mainstream. Kebanyakan pemusik seperti ini bekerja sendirian bersama teman-temannya (pemusik indie), dan tidak bakal dilirik sesentipun oleh perusahaan rekaman mayor kecuali terikat kontrak yang mengerikan.

Karena itu, pemusik-pemusik indie ini sudah seharusnya mengambil langkah secepatnya agar mendapat penghargaan yang serupa. Saya kira, mendorong pemusik indie kepada penghargaan semacam nobel adalah kesulitan level dewa. Namun bukankah kita tidak boleh menyerah? Jika bukan nobel yang didapatkan, paling tidak pemusik akan turut mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemusik harus membuat tempatnya sendiri karena musik adalah bahasa universal yang dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat.

Bagaimanapun juga, sebuah bangsa dipastikan punya lagu kebangsaan dibanding dengan syair kebangsaan. Sehingga tentunya musik punya prestasi yang harusnya lebih menggerakkan karena pekerjaan pemusik adalah menyentuh hati pendengarnya. Di manapun orang demo, mereka akan menyuarakan lagu-lagu perlawanan. Bahkan ketika terdapat kematian diantara keluarga kita, sebagian besar bangsa dan peradaban membuat lagu saat persemayaman. Apalagi, musik adalah budaya yang sangat tua yang bisa kitemukan di berbagai daerah pelosok, musik adalah hiburan yang menyenangkan dibanding menonton televisi.

Ini adalah momen kebangkitan bagi pemusik. Kita harus menggunakan cara-cara penyadaran yang paling masuk akal, dan jangan terjebak oleh klausul klasik : yang penting niatnya. Jika kalian menulis syair berjudul “Jancuk” lalu di dalamnya berisi syair-syair yang keji dan urakan, maka kalian hanya akan diterima oleh generasi remaja yang seperti itu. Yang memiliki pembenaran yang masuk akal terhadap alasan mendengarkan musik macam itu. Sebagus apapun niatnya, lagu berjudul ‘Kelamin’ tidak akan didengar oleh generasi yang lebih lanjut. Bahkan bisa jadi, lagu itu dimasukkan dalam daftar hitam.

Hal yang patut saya banggakan saat berkunjung ke teman saya di Mojokerto selama beberapa waktu lalu adalah adanya social movement dari pemuda-pemuda setempat yang ingin membangkitkan musik indie. Saya kira gerakan ini bisa tumbuh menjadi sesuatu yang berpengaruh tidak hanya di Mojokerto, tapi juga di Indonesia. Selain manajemen media dan pengorganisasian yang perlu ditata oleh pemuda-pemuda ini, hal lain yang krusial adalah masalah lirik. Sebagaimana Bob Dylan, pemusik dan penulis lirik ini harus mempertimbangkan kekuatan sebuah musik.

Sebatas yang saya dengar beberapa kali di warung kopi, lagu-lagu yang digagas oleh mereka belumlah membawa perubahan ke arah positif. Terakhir kali saya mendengar lagu di warung kopi tersebut adalah saat vokalisnya bolak-balik meneriakkan kata ‘Kimcil’. Saya tidak tahu bagaimana lirik itu secara keseluruhan. Tetapi teman saya dan beberapa temannya sangat menyukai musik ini dan ikut bernyanyi. Sepersekian menit berikutnya, saya berfikir apakah sesuatu yang seperti ini bisa diubah? Benar bahwa kemunculan gerakan punk di Amerika berawal dari penentangan terhadap kapitalisme. Tapi apakah, lagu-lagu yang memiliki lirik ‘tabu’ ini juga diniatkan untuk hal-hal yang demikian?

Jika kita bena-benar menginginkan perubahan, sebagaiknya kita memikirkan kembali apa yang telah kita lakukan. Khususnya mengetahui sejarah bermusik Bob Dylan yang akhirnya ia diakui dunia dan memenuhi takdirnya sebagai penerima Nobel Prize dengan hadiah sebesar Rp 11,8 miliar. Lagu-lagu Dylan dianggap menginspirasi masyarakat untuk demonstrasi menentang peperangan di Vietnam dan menyuarakan kebebasan sebagai hak yang asasi. Lagu-lagu Dylan, sebagaimana lirik puisi Widji Tukul yang kemudian dimusikalisasi, telah menjadi lagu wajib bagi pergerakan sosial dan pejuang anti perang.

Bahkan, siapa sangka, The Beatles sekalipupun sering mendapatkan semangat dari lagu-lagu Dylan lalu menjadi kelompok musik terbaik sepanjang massa. Seperti rilis yang dikeluarkan majalah musik paling kredibel di dunia, The Rolling Stone, Bob Dylan adalah the second greatest artist of all time -pemusik terbaik kedua sepanjang massa setelah The Beatles. Dan memang tidak mendadak tiba-tiba Dylan diganjar berbagai hadiah yang dipungkasi dengan Nobel Sastra, karena sejak tahun 1960-an hingga saat ini, Dylan tidak pernah berhenti berkarya dan memberikan inspirasi melalui lagu-lagunya.

Sekretaris tetap penghargaan Nobel, Sara Danius, menganggap penghargaan kepada Dylan mengingatkan manusia akan pencapaian sastra dari zaman sastra klasik seperti Homer dan Sappho. Homer adalah penulis buku-syair-mitos berjudul Odyssey tahun 700 sebelum Masehi yang merupakan buku terlaris sepanjang masa dan buku yang paling dicari. Sementara Sappho adalah penyair perempuan yang berasal dari abad ke 600 sebelum Masehi. Persamaannya, adalah karya mereka masih dibaca hingga saat ini, dan karya Dylan sekalipun masih didengarkan hingga saat ini sejak 50 tahun yang lalu.

Musik Penyadaran

Musik yang saat ini dipandang sebagai kebutuhan tak terleakkan dari manusia, masihlah belum mengarah ke pergerakan yang memiliki daya ubah. Musik masih mengedepankan kecantikan seorang artis, lagu-lagu yang sekadar enak didengar, dan penjualan ala kapitalistik. Ketika musik menjadi sebuah pergerakan, pendengar pun akan semakin berkurang. Dan itu bisa jadi mimpi terburuk bagi seorang pengarang lagu dan pemusik secara umum.

Namun bagaimana jika lirik bernada perjuangan tapi dikemas dalam lagu yang menyenangkan? lagu-lagu Bob Dylan bisa dijadikan referensi. Coba saja mulai dari blowin in the wind-nya yang menggerakkan masyarakat Amerika. Kata-katanya mendalam dan sangat luar biasa, bahkan jika tidak dinyanyikan. Kalau tidak mau jauh-jauh, kita bisa mendengarkan lagu Rhoma Irama yang saat ini orang-orang mulai membencinya gara-gara keterlibatannya dalam persoalan politik. Jika mau yang agak nasionalis, bisa kita dengar lagu Iwan Fals dan Slank, dan versi lain adalah Efek Rumah Kaca atau pemusik lainnya yang tidak saya kenal. Jika masih ingat tentang sejarah, lagu ‘Darah Rakyat’ sempat disebarkan ke seluruh orang saat rapat akbar di Lapangan Ikada. 

Sungguh banyak sekali pemusik yang menjadi penggerak kebangkitan sosial, seperti John Lennon, di Chile ada Victor Jara, kemudian Silvio Rodríguez di Cuba, Karel Kryl di Czechoslovakia, Jacek Kaczmarski di Polandia, dan Vuyisile Mini di Afrika Selatan. Dan jangan sampai, remaja-remaja kita masih terjebak dalam arus industri musik yang melahirkan generasi cengeng. Tetapi jangan pula kita membuat lagu-lagu yang ngglambyar,kehilangan bentuk dan kekuatannya, dan cenderung tidak dapat dipahami sebagaimana yang dibuat oleh beberapa pemusik indie.

Musik memiliki peran penting dalam membuat suatu gerakan karena memiliki dua hal yang pokok, pertama lirik yang dinotasikan ke dalam bahasa, dan musik yang hanya bisa dirasa. Bahasa adalah alat utama manusia untuk saling bertukar simbol sehingga menimbulkan interpretasi dan persepsi  lalu melahirkan sebuah tanggapan. Sementara emosi yang dihasilkan oleh musik membawa dampak yang dalam dari sisi psikologis, yang mampu membangkitkan manusia dari keterpurukan yang mengerikan.

Dalam ilmu neuro-linguistik, emosi menempati peran penting dalam hal menggerakkan fisik. Dalam satu hari seminar misalnya, kita hanya akan memahami 1-10 persen dari materi yang disajikan. Namun jika kita menggunakan emosi, maka kita akan dapat meningkatkan pemahaman hingga 90 persen. Karena itu, jika suatu musik sudah mengena ke hati seseorang maka lirik yang ada di dalamnya pun akan ditangkap dengan sempurna. Jika liriknya mengajak perubahan, maka perubahan akan bergerak. Namun jika lirik yang disuguhkan berupa ‘tai kucing’, maka dijamin orang yang mendegarnya juga akan merasa bau dan tidak tergugah sama sekali.

Jika kita misalnya memandang setengah hati akan lagu-lagu Sonata dan Rhoma Irama, maka penelitian William H Frederick terhadap musik dangdut akan memecahkan argumentasi kita. Karena pada tahun 1975, Islam di Indonesia mengalami kebangkitan yang diduga disebabkan musik-musik Bang Haji. Seiring berkembangnya penelitian di Indonesia, diketahui bahwa musik bisa menggerakkan perubahan sosial sehingga sudah ada genre baru mata kuliah bernama Sosiologi Musik. Musik yang juga digolongkan menjadi karya seni, selalu bisa diterima banyak orang sehingga secara langsung maupun tidak, orang akan ikut bergerak karena menyentuh emosional mereka.

Jika seseorang sebagai pemusik enggan mengetengahkan perlawanan dalam musik-musiknya, maka dunia tidak akan berubah. Pemusik sama berharganya dengan penyair Rendra, demonstran Gie, dan aktivis Munir. Saat pemusik-pemusik indie mengambil bagian dari perlawanan terhadap hal-hal yang tidak akan pernah selesai dari bangsa ini, betapa beruntungnya orang-orang yang mendengar musik itu. Karena lirik musik dengan bahasa yang kita pahami dan mengangkat persoalan yang tidak hari kita geluti, akan lebih mudah menyadarkan dari pada membaca kitab suci itu sendiri -yang masih perlu banyak penafsiran. Jadi, Bob Dylan yang saat ini berusia 75 tahun mungkin akan segera luruh dalam debu, namun apa yang dilakukannya pasti akan dikenang. Bukti awalnya, Nobel Sastra telah ia genggam.

Untuk melengkapi tulisan ini, berikut saya kutip lagu Bob Dylan berjudul Blowin In The Wind;

How many roads must a man walk down Before you call him a man? Yes, 'n' how many seas must a white dove sail Before she sleeps on the sand? Yes, 'n' how many times must the cannon balls fly Before they're foreve banned? The answer, my friends, is blowin' in the wind, The answer is blowin' in the wind

Lihat juga cuplikan lagu berjudul Master of War di bawah ini :

Come you masters of war

You that build all the guns

You that build the death planes

You that build the big bombs

You that hide behind walls

You that hide behind desks

I just want you to know

I can see through your masks



You that never done nothin’

But build to destroy

You play with my world

Like it’s your little toy

You put a gun in my hand

And you hide from my eyes

And you turn and run farther

When the fast bullets fly



Like Judas of old

You lie and deceive

A world war can be won

You want me to believe

But I see through your eyes

And I see through your brain

Like I see through the water

That runs down my drain

Comments

Post a Comment

semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.