Skip to main content

Spotlight: Menjadi Jurnalis



Jarang sekali kita melihat seorang jurnalis bekerja. Sebagai orang awam, biasanya kita hanya melihat sekilas-sekilias, lalu tiba-tiba keesokan harinya sudah ada berita. Kita tak faham bagaimana para jurnalis mulai mencari dan mengumpulkan data, lalu mengolahnya hingga menjadi sebuah news yang biasa kita konsumsi sebagai sebuah kebutuhan.

Dalam film berjudul Spotlight, kita dapat melihat hal itu. Bahkan bagi seorang wartawan pun, film spotlight mampu memberikan wawasan teknik mencari berita yang keren. Tentunya, sangat sulit melihat kualitas jurnalis sebagaimana yang ada dalam film tersebut, khususnya di Indonesia. Apalagi melihat jurnalis lokal yang cenderung terpuaskan dengan berita yang sudah ada, semacam rilis kepolisian, ataupun jumpa pers dari tokoh dan kegiatan.

Mungkin orang yang tidak pernah menjadi wartawan akan biasa saja dalam menangkap film ini. Spotlight hanya akan menjadi sebuah film yang mengesankan. Tapi bagi seorang jurnalis di Indonesia, Spotlight akan menjadi sebuah tuntunan. Terutama memang, bagi media investigasi yang membutuhkan waktu dalam mengolah isu menjadi manis. Tapi bagi media harian, apa yang dilakukan tim Spotlight akan sulit dilakukan –meskipun tidak ada hal yang tidak mungkin.

Kisah dalam film ini bermula saat Marty Baron (Liev Schreiber) mengambil alih posisi semacam Pimpinan Redaksi di The Boston Globe. Sebagai pimpinan baru di redaksi, Baron kemudian mengumpulkan masing-masing kepala bagian liputan. Mereka saling berkenalan, kemudian memaparkan “apa yang sedang dikerjakan”. Di sanalah Baron menelisik suatu persoalan yang tidak diangkat oleh redaksi menjadi sebuah berita.

Tim Spotlight awalnya menyelesaikan kasus proyek konstruksi yang buruk. Kemudian tinggal satu minggu investigasi, mereka tampaknya dapat menyelesaikan kasus manipulasi di kepolisian. Saat pertemuan redaksi dengan Pimrednya yang baru ini, Baron melihat ada kasus yang sudah pernah ditulis 2 kali, tapi kemudian hilang ditelan kelindan perkotaan Boston.

Keputusan pertama diambil oleh Baron, ia ingin agar The Boston Globe sebagai koran lokal, mengangkat kasus pencabulan yang dilakukan oleh Pastur. Karena beberapa waktu sebelumnya, ada seorang penulis kolom yang membahas tentang itu. Kuncinya sudah dipegang, ada seorang lawyer yang bisa memiliki bukti bahwa kejadian itu ada, dan seorang Kardinal mengetahuinya.

Ketika semua jurnalis sekelas editor itu kebingungan, Baron memberikan gambaran : aku tidak tahu hukum di sini, tapi bila di Florida, aku akan mulai dari pengadilan. Maka di sanalah seluruh cerita ini berjalan. Hampir pasti, drama yang diperankan Liev sebagai Baron ini memukau. Ia selayaknya seperti pimpinan Tempo yang ‘hanya’ jalan ke sana kemarin bertemu dengan para pimpinan kota, koordinasi, mencari dukungan, menekankan superioritas, dengan bahasa-bahasa yang halus.

Sementara anak buahnya, bekerja sesuai kapasitasnya; datang ke pengadilan, menemui lawyer para korban cabul yang mengetahui kasus ini, hingga menghubungi seorang peneliti pencabulan yang dilakukan oleh pastur di seluruh negeri. Oya, Baron sebagai Pimred, juga sudah melakukan silaturahim ke sang Kardinal Law, head to head, pimpinan media langsung ke pusat kekuasaan gereja. Sebagai seorang jurnalis yang agak-agak tahu, aku tersenyum dengan plotting yang dilakukan oleh penulis skenarionya: Josh Singer dan Tom McCarthy, ia seperti tahu apa yang harus dilakukan.

Salah satu sosok yang kuat dalam film ini adalah Michael Rezendes yang diperankan oleh Mark Ruffalo. Aksi pertamanya adalah saat ia harus menemui lawyer para korban cabul. Ia sebagaimana reporter lainnya yang tidak tahu siapa narasumbernya, datang ke kantor, tanya ke asisten, lalu disuruh menunggu. Saat ada orang keluar dari ruangan sang pimpinan, Rezendes berdiri, bertanya kepada sang asisten, “apakah dia orangnya?”. Saya yakin, semua jurnalis bisa merasakan bagaimana menjadi dirinya.

Dan ternyata tidak, si asisten mengejar orang yang baru keluar itu. Kosonglah kantornya. Rezendes kebingungan. Akhirnya ia langsung mengetuk dan membuka ruang sang Lawyer, Garabedian –yang temperamen, tidak suka berteman, dan awut-awutan. Tentu saja, Renzendes langsung akan diusir keluar. Tapi sebagai jurnalis handal, ia memiliki alibi, alasan, berbagai komunikasi yang menarik agar si narasumber mau ditemui. Kalau wartawan lokal, akan laporan ke Pimred : wah, saya diusir, dia nggak mau diwawancara.

Mungkin yang menarik dari film ini adalah pelajaran yang didapatkan dari peran yang dimainkan para jurnalis ini sendiri. Meskipun kalau digeneralisir, setiap persoalan yang tertutup rapat membawa permasalahan di dalam internalnya. Dan itulah makanan empuk dari media massa zaman ini. Masalahnya, terlalu banyak wartawan bodrek dan kepala-kepala dinas yang mau-mau saja dipermainkan oleh wartawan bodrek.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.