Skip to main content

Diamput!

sepur nang singapura rodok penak tumpa'ane

Hal yang paling men-diamput-kan di dunia ini adalah pengen jadi orang lain. Bukan hanya soal wajah cakep, kekayaan, pekerjaan, atau bisa jalan-jalan wisata, tapi bahkan istri dan pacar orang lain juga pengen kita miliki. Istilah inggrisnya, rumput tetangga selalu lebih hijau. Bayangkan rumput kita yang sudah disiram tiap hari, ya tetap aja kering kerontang.

Memang pengen jadi orang lain bukan berarti kita kalah cakep atau kalah nasib baik. Soalnya, nasib itu nggak ditentukan oleh tuhan saja, tapi rupa-rupa usaha kita juga mempengaruhinya. Jadi persoalan pengen jadi orang lain itu bukan hanya soal enteng, tapi berat. Karena hubungannya jelas, harus dilihat dari berbagai sudut pandang, ya sosiologi, psikologi, ya vulkanologi, atau juga logi-logi yang  lain.

Nah masalahnya, kita harus bisa cepat menjadi orang lain. Kalau kita posisi jelek, bagaimana agar kita jadi ganteng, minimal nggak malu-maluin pas makan di Mc Donal atau kafe-kafe gaul. Kalau pas bokek, gimana caranya agar cepetan kaya. Kalau pas nggak punya pacar bahenol, ya gimana caranya agar dapat yang semok. Banyak cara bisa ditempuh, sayangnya kebanyakan kita goblok dan merasa oke dengan kegoblokan sendiri.

Jadi bagaimana agar bisa berubah menjadi orang lain?

Seorang ideolog pesohor, Marx, telah membagi kita semua dalam tiga kelompok besar. Yakni pemodal, buruh, dan pemilik tanah. Gaya hidup masing-masing orang ini berbeda. Kenapa berbeda? Karena yang dimiliki seseorang berbeda satu dengan lainnya, terlepas bahwa sifat kita sebagai individu juga sangat berbeda –yang akhirnya akan membedakan tingkah laku kita pula.

Seorang pemodal, akan lebih memikirkan bagaimana cara mempertahankan semua kondisi apa seperti sedia kala. Jadi pemodal yang memiliki uang banyak, yang dalam terminolog Marx disebut borjuis ini, punya gaya hidup manja atau memanjakan orang lain. Hal inilah yang mungkin kita anggap kehidupan gemerlap dan flamboyan. Kita pengen seperti orang itu. Padahal ya uang kita, diamput, pas pasan banget.

Menurut pengikut Hegel (hegelian) yang revolusioner ini, seorang pemodal akan berfikir bagaimana mempertahankan status quo, alias status nggak jelas, dari semua yang ada. Dengan begitu ia akan aman. Karena pemodal yang memiliki aset dimana-mana sangat benci dengan perubahan. Perubahan yang mengarah ke politik dan sosial, akan mempengaruhi perusahaannya sehingga kemungkinan rugi besar akan terjadi.

Pemikiran seperti itulah yang terjadi, sehingga saat Wali Kota atau Bupati turun ke lapangan, semua pemodal akan menyambutnya seakan-akan dia adalah dewa. Sebab, ditangan pimpinan daerah inilah segala ijin brengsek mereka dikabulkan. Kalau pimpinan daerah diberikan priviledge tertentu, semua pekerjaan akan aman. Keuntungan akan mengalir ke kantong pemodal terus menerus.

Sementara buruh, berfikirnya ya seperti kita ini. Progressif dan revolusiner. Progressif berarti punya pikiran ke depan yang lebih baik, sedangkan revolusioner berarti menghendaki perubahan secara menyeluruh dan mendasar. Ingat, menyeluruh dan mendasar, tapi dengan tujuan ke depan yang lebih baik. Itu yang musti kita pegang, karena saya yakin yang membaca tulisan ini adalah kaum buruh semua. Diamput kan?.

Dengan pemikiran seperti inilah, Marx sangat yakin bahwa suatu perubahan besar hanya akan terjadi ketika buruh bersatu. Dalam konteks Indonesia, perubahan terbesar karena para pemudanya, yang punya pemikiran progressif dan revolusioner pula. Maka jangan heran, pemuda dan buruh itu mirip-mirip seperti saudara. Tapi bila ada buruh namun masih muda, kemungkinan Marx akan senang setengah mati berkawan dengan orang itu.

Lalu apa hubungannya dengan menjadi orang lain? Ya itu. Pembagian peran. Bila kita ingin hidup seperti seseorang, berperanlah seperti dia. Peran yang dimaksud di sini adalah peran sosial yang seseorang itu mainkan. Bila kita iri dengan kehidupan seorang birokrat, bersiap-siaplah menjadi PNS. Kalau kita ingin hidup bebas dan bisa pergi ke mana saja, maka berhentilah jadi buruh sekarang juga. Jadilah pengusaha, terus jadilah backpacker.

Karena masih menurut Marx dalam Materialisme Dialektika-nya, yang menentukan semua ini adalah kelas-kelas sosial. Bila kelas sosial kita rendahan atau proletar atau kasta waisya dan paria, bersiaplah terus dihisap oleh pemodal. Jelas bahwa kelas-kelas sosial ini bukan ada dengan sendirinya, tapi diciptakan, dikonstruksikan. Bahkan segala pemikiran kita (yang di dalam otak  dan hati) juga dikonstruksi oleh sesuatu di luar kita. Diamput.

Jadi, bukan kesadaran kita untuk menentukan keadaan sosial, tetapi sebaliknya, keadaan sosiallah yang menentukan kesadaran manusia. Lihat, betapa semunya kesadaran kita. Termasuk keinginan kita menjadi orang lain adalah semu. Jadi apa yang kau inginkan sekarang? Tetap ingin menjadi ornag lain? Ambillah peranmu, sekarang juga!.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.