Skip to main content

Kenangan



Perasaanku menjadi sepi saat kukenangkan kembali masa perjalanan keliling ASEAN pada April lalu. Sungguh, aku tidak menanam apa-apa kepada teman-teman seperjalanan karena banyak hal yang memuakkan. Namun apalah daya, hati yang tiba-tiba menjadi melankolis saat kutatap satu saja foto perjalanan itu.

Aku seperti bunga kuning kecil yang bertaburan di Taman Lumpini. Sorot matahari sore yang kemuning di kejauhan menjadi cita-cita yang tak beraturan. Aku bertatapan dengan segala hal yang ambigu. Perasaan semacam ini, penting namun mengganggu, menggelisahkan namun nikmat, nyaman dan asyik tapi sakit.

Mataku mengerjap, dan semua perjalanan itu laksana mimpi. Saat aku harus menginap dengan orang yang baru saja kukenal beberapa hari ini dalam satu kamar besar. Berbagi kebahagiaan, berbagi kejengkelan, berbagi kedengkian, dan bebagi abon dan sambal terasi yang kami bawa dari Indonesia. Benar-benar sebuah kekosongan yang aneh.

Apakah hanya aku yang merasa seperti ini? Mungkin aku tipe orang yang melankolis. Aku menjadi senang menatapi satu-satu foto saat perjalanan itu. Dan yang paling menggetarkan adalah bagaimana hujan di Malaysia membuat perjalanan kaki kami terganggu. Hujan, selalu menyisakan sekeping sepi yang tak akan dapat kukembalikan kepada siapapun itu.

Sementara hujan berlangsung, suasana hati kami waktu itu sedang tidak menentu. Perpisahan dan perpecahan karena keegoisan dan ketidakdewasaan dalam menyikapi persoalan menemukan puncaknya. Kami memilih berpisah, tapi benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan kecuali mengikuti garis nasib yang telah kami tancapkan dalam jadwal perjalanan.

Hujan menderas, dan aku linglung. Aku menikmati hujan, tapi waktunya tidak tepat. Kami berjalan cepat-cepat ke Terminal Bus Puduraya untuk melanjutkan perjalanan ke Hatyai, Thailand. Saat itu hingga nanti negara ke delapan, Brunei Darussalam, kami akan berjalan tanpa ada seorangpun yang berpengalaman. Kami hanya percaya pada pertemanan pahit yang terbentuk tiba-tiba.

Semua orang memiliki kenangan pahit, atau manis, atau tidak disebutkan keduanya, lalu mengisi suasana tiba-tiba. Kenangan semacam ini tidak mudah dilerai, tidak bisa dipadamkan. Sewaktu-waktu, ketika kita memandang, mendengar, atau menyentuh sesuatu yang membawa asosiasi ke kenangan itu, maka jantung kita akan berdetak : dug, dan persendian menjadi linu.

Aku mengenang bagaimana Eka harus memutuskan untuk melakukan perjalanan sendirian bersama karibnya sejak SMP, Takeda. Ia yang paling paham persoalan luar negeri akhirnya pergi membawa kejengkelan, dan kami menyimpan kebencian meski tetap melangkah. Aku mengingat bagaimana harus bepergian dengan sekian orang perempuan, sedangkan aku adalah lelaki tanpa pengalaman sama sekali.

Memang akhirnya kebencian-kebencian menjadi sirna saat kami memutuskan untuk menjadi backpacker bahagia. Sangat disayangkan bagaimana pertemanan bisa menjadi rapuh tiba-tiba. Tapi demikian kenyataan yang tak pernah bisa ditolak. Karena hal-hal seperti inilah yang membuat kita dewasa, lalu menjadi lebih bersyukur saat Brunai Darussalam di depan mata.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.