Skip to main content

Media Massa; Simulasi dan Parodi


Hidup adalah peperangan abadi. Apapun yang kita lakukan selalu melahirkan peperangan baru. Kita lahir dengan cara bertengkar dengan jutaan sel sperma. Menjadi anak-anak lalu remaja, kita mulai bertengkar dengan orang tua soal remot televisi, bertengkar dengan guru karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah, atau berkelahi dengan teman setelah saling ledek. Menjadi dewasa, kita dihujani berbagai tanggung jawab, bergelut dengan nasib. Menang atau kalah, pertengkaran baru selalu muncul.

Saat ini kita sedang menghadapi peperangan baru; manusia versus Covid-19, dan negara versus organisasi keagamaan. Dimana masyarakat umum berada? Mereka stay at home, kita berada di rumah menyaksikan silang sengkarut peperangan yang tak ada habisnya. Covid telah membawa sejenis peradaban baru yang mengandalkan kebersihan di atas segalanya. Bersih pangkal sehat, dan orang yang sehat di masa ini adalah orang yang bakal bertahan hidup. Perbandingan hidup dan mati saat ini amat tipis gara-gara Covid-19.

Peperangan (battle) seakan-akan terjadi di sekeliling kita tanpa kehadiran kita sama sekali. Masyarakat takut keluar rumah, tetapi mereka memenuhi pusat perbelanjaan dan tempat wisata. Masyarakat melakukan tes-tes kesehatan agar terhindari dari virus, namun mereka berlalu lalang di jalanan atas nama hidup dan kebebasan. Peperangan telah, sedang, dan akan terus terjadi. Kita menjadi simulasi sempurna dari kehidupan yang bergerak dengan sendirinya. Seketika kita menjadi sadar, bahwa dunia hanya panggung sandiwara. Pagi kita menangis, malam kita tertawa karena siklus harian hanyalah parodi.

Simulasi

Guy Debord, menyebutkan dunia saat ini merupakan aksi tonton-menonton semata. Masyarakat memasuki abad society of the spectacle, semuanya adalah tontonan. Orang yang berada di panggung politik dan bisnis disebut sebagai performer, dan kita semua adalah spectator. Performer bebas melakukan apapun, memproduksi citra dengan segala cara, sementara spectator selalu pasif dan tidak memiliki kuasa –bahkan untuk berfikir mandiri. Mesin-mesin produksi yang menghasilkan barang juga menghadirkan citra kebutuhan barang tersebut dalam iklan-iklan yang menarik. Seketika, kita membutuhkan semua barang di dunia ini, tanpa mempedulikan etika dan estetika.

Tontonan menjadi kebutuhan yang pasti dalam masyarakat yang telah dipenuhi budaya konsumsi; sebuah budaya yang menghamba pada produk kapital. Baudrillard, seorang pemikir Perancis pos-modernis, menyebut semua reproduksi realitas media sebagai simulasi. Dalam panggung simulasi, spectators (kita) adalah silent majority yang enggan menanggapi, apalagi bermusuhan dengan para performers. Kita pasif, hanya memandangi televisi dan koran sebagai bentuk informasi yang pasti dan terpercaya. Sedangkan di media sosial, kita menjadi pribadi yang baru dan rela bersitegang dengan pengguna media sosial lainnya.

Media massa dan juga media sosial, telah menjadi wadah bagi sebagian besar kesalahan manusia. Pertama-tama, media menjadi ruang demokratis untuk menyuarakan setiap kemungkinan yang ada pada kehidupan; pendidikan, informasi yang bebas dan merdeka, pekerjaan, dan kesetaraan dalam sosial dan politik. Selanjutnya, media mulai merekonstruksi setiap realitas yang muncul pada tubuhnya menjadi sebuah tanda-tanda baru yang unik, kreatif, namun palsu. Ruang media massa pada tahap kedua telah menjadi sebuah asosiasi tanda yang dangkal, tidak utuh, dan anti-realitas itu sendiri.

Kepalsuan realitas ini bisa kita saksikan saat media massa menyajikan tentang bentrokan antara negara yang diwakili Tentara Nasional Indonesia bersama Polisi, versus organisasi keagamaan yang direpresentasikan sebagai Front Pembela Islam. Kita menontonnya dengan telanjang di media, bagaimana mereka bertengkar, bertarung, berperang; secara bebas dan tak terkontrol. Masyarakat yang menjadi ‘massa diam’ hanya dapat mengamati sembari ketakutan jika terjadi bentrok yang berkepanjangan. Namun apa yang sesungguhnya terjadi? Pada dunia yang simulatif, tidak ada yang pasti; gamang, ragu, dan mengkhawatirkan.

Tahap ketiga dari simulasi yang dilakukan (industri) media masa adalah mengaburkan seluruh tanda-tanda sosial-budaya itu menjadi realitas yang benar-benar baru. Awalnya media masih memberitakan negara dan FPI secara proporsional, saling beradu konsep nasionalisme, kebebasan, dan hak-hak konstitusional. Namun semakin lama, negara dan FPI mulai berhadap-hadapan; tidak peduli lagi bahwa mereka sama-sama orang Indonesia. Media, melalui kemampuannya mem-framing dan mengacaukan tanda bahasa (discourse) membentuk realitas baru; negara mewakili kaum nasionalis dan FPI mewakili kaum Islam.

Tanda-tanda semacam ini sangat berbahaya jika terus-menerus dipublikasikan media massa. Media massa harus membebaskan dirinya dari sergapan pasar yang mengerikan ini. Sejak awal mulanya, media dianggap sebagai pilar demokrasi, ia menjaga kewarasan berfikir masyarakatnya, bahkan bersama-sama sastra untuk menginspirasi pembacanya. Media dipuja sebagai pembawa perubahan. Di kampus-kampus, media massa dikaji, dianalisis, digunakan sebagai salah satu mercusuar kebenaran yang akan menjadi guide bagi orang yang tersesat.

Parodi

Seluruh proses penciptaan tanda dan wacana di media massa merupakan sebuah peperangan tiada akhir. Media massa tengah memparodikan sebuah realitas menjadi sesuatu yang lucu, menggembirakan, dan bahkan menjadi bahan canda tawa warung kopi. Kita, sebagai manusia juga sedang memparodikan kehidupan dengan cara yang aneh; lebih mempercayai media massa, mempercayai apapun yang disampaikan media, bertengkar dengan akun anonim di media sosial untuk membela sesuatu yang kita tidak tahu pasti kebenarannya. Kita sedang melucu, sedang menghilang dalam sebuah peradaban teatrikal di negara teater.

Parodi dalam budaya posmodern tidak pernah disadari oleh individu sehingga manusia cenderung terjerumus pada ambiguitas pengetahuan. Kita enggan memahami bahwa media massa sedang mengolok-olok kehidupan penontonnya sendiri dengan cara memalsukan setiap realitas. Persis seperti kita yang marah, menangis, menjerit ketakutan, saat menonton film di bioskop. Padahal kita sama-sama tahu bahwa film merupakan karya fiktif-artistik. Manusia akhirnya kehilangan hal-hal yang transendental, nilai moral dan spiritual, yang lebih dari sekadar penamaan agama tertentu.

Apalagi –tentu ini lebih mengenaskan- agama telah menjadi komoditas baru di media sosial sehingga nilai-nilai sakralitasnya merosot. Banyak orang mempelajari agamanya melalui YouTube. Dari jutaan vieo yang ada di sana, bagaimana kita memutuskan video yang mengajarkan agama secara benar? Manusia kehilangan tempat berpijak. Dimana-mana yang ada hanyalah realitas semu religiusitas. Agama, moral, kebenaran, semua telah menjadi bahan tontonan di media sosial yang menghasilkan Adsense dan perang komentar. Jika sudah seperti ini, apa yang tersisa dari kemanusiaan kita? Hilang dalam kebercandaan.

Kita harus merevolusi pikiran kita sendiri. Diet media perlu dilakukan. Literasi terhadap politik, sosial, ekonomi, dan bahkan keuangan, perlu digencarkan. Media sosial mulai harus dibatasi dan digunakan hanya untuk kepentingan sosial serta penyebaran gagasan yang konstruktif. Tentu saja ini bisa diperdebatkan, namun pilihan pertama dan radikal selalau menjadi pilihan tersulit. Saatnya kita mulai bertanya tentang pemberitaan media massa yang selalu menghadirkan konflik –lalu menghasilkan konflik lanjutan. Media massa juga harus instropeksi tentang bagaimana melaporkan fakta, menjadi melaporkan kebenaran. Media harus menghentikan leluconnya, dan khalayak akan berhenti memparodikan kehidupannya yang mengenaskan.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.