Skip to main content

Media Siber, Pidana, dan Kualitas Jurnalistik

 


Kita sedang berada pada satu-satunya kapal yang dapat mengantarkan seluruh penumpangnya pada daratan, tetapi kapal itu sedikit bocor, gelombang tinggi, arah angin tidak menentu, dan layar setengah berkembang. Itulah gambaran aktivitas jurnalistik yang terjadi pada media siber masa kini. Alih-alih menjadi mercusuar yang mengarahkan masyarakat pada kebenaran, media siber malah membuat bingung masyarakat itu sendiri.

Media siber punya tanggung jawab yang lebih besar dibanding media massa konvensional. Televisi memang masih mendominasi konsumsi media massa di berbagai wilayah (Nielsen, 2017; CSIS, 2017; IDNTImes, 2019) tetapi sudah tidak ada lagi yang membicarakan televisi sebagai media yang secara fisik harus ada di setiap ruangan rumah tangga. Televisi sudah beralih ke ponsel pintar yang di dalamnya terdapat lebih banyak ragam pilihan. Demikian pula radio, dan media cetak yang harus bekerja keras untuk mendapatkan pelanggan.

Semuanya beralih ke media siber yang hampir menjadi sumber informasi masyarakat lintas generasi. Media siber memperoleh pembaca yang spektakuler dibanding pembaca yang bisa dicapai media cetak. Detik.com misalnya memperoleh pembaca harian mencapai 34 juta pageviews (statistic dari worthofweb.com). Bandingkan dengan Kompas yang pada tahun 2014 menjual 507.000 eksemplar (Suryana, 2018). Kondisi ini mengubah sumber informasi yang sebelumnya didominasi media konvensional, sekarang berubah ke siber.

Dengan potensi pembaca yang mencapai jutaan perhari pada media siber, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia juga memiliki kegalauan. Dalam buku yang mereka terbitkan dengan judul ‘Media Online: Antara Pembaca, Laba, dan Etika’, AJI membuat ungkapan bahwa zaman ini kita; mengoyak-oyak aneka pakem jurnalistik yang dibangun dan dijaga selama bertahun-tahun. Jika pakem jurnalistik sudah terkoyak, etika berganti laba, maka sudah jelas pidana akan menemukan jalannya kepada wartawan dan media massa.

Realitas ini harus disikapi oleh media siber agar terus memperhatikan kualitasnya. Pola-pola penyelesaian sengketa melalui Dewan Pers yang sering dianggap menguntungkan media massa, jangan menjadi garansi bahwa pers akan selalu lolos pidana dan perdata dari orang-orang yang terluka gara-gara pemberitaan. Pers jelas harus berbenah. Pemberitaan media siber harus tetap mengedepankan kaidah jurnalistik yang baik dan selalu mengutamakan kebenaran dalam pemberitaannya. Disiplin verifikasi juga perlu diperkokoh. Karena sejatinya, jurnalisme berkualitaslah yang akan menjauhkan pidana dari jurnalistik itu sendiri.

Pembersihan Yellow Journalism

Pekerja media dan akademisi tentunya memahami bagaimana yellow journalism pertama kali populer di Amerika sekitar akhir tahun 1800-an. Istilah tersebut merujuk pada media massa yang lebih banyak memberitakan berita sensasi, gosip, membesar-besarkan peristiwa, atau pemberitaan terkait skandal orang terkenal. Pada media jenis ini, layout bermain pada komposisi warna yang mencolok, judul berita menggunakan font yang besar, dan permainan kata-nya mengusik orang-orang sehingga tertarik membeli.

Media siber masa kini, tanpa berniat melakukan generalisasi, memiliki ciri khas yang sama dengan ‘jurnalisme kuning’ tersebut. Banyak media online yang mengadopsi judul-judul bombastis, pemeriksaan fakta yang tidak jeli, serta memberitakan segala sesuatu yang sedang viral di media sosial. Proses jurnalistik yang tidak serius ini berimplikasi pada kualitas berita yang tidak bisa membangun khalayaknya. Padahal peran jurnalisme dalam kehidupan berbangsa-bernegara amat penting, bahkan menjadi satu-satunya sumber informasi tentang kondisi sosial, ekonomi, dan politik Indonesia.

Berita sensasi yang ada pada media siber sebenarnya bertujuan untuk menarik pembaca sebanyak-banyaknya. Hasilnya adalah traffic meningkat, lalu dibaca oleh pemasang iklan sebagai media potensial untuk menggelontorkan dana promosi. Dari sana media siber bisa hidup dan menghidupi seluruh karyawannya. Tetapi cara-cara semacam ini melukai idealisme jurnalisme yang sejak awal bertujuan untuk mengawal dan mengoreksi kekuasaan, bukan hanya tujuan ekonomi.

Jika tidak segera dibersihkan, kondisi ini bisa membahayakan aktivitas jurnalistik yang dilakukan oleh seluruh wartawan di Indonesia. Jika terjadi ketidakpercayaan massal terhadap media massa maka Indonesia terancam bahaya. Siapa lagi yang dapat dipercaya oleh masyarakat? Sebutan media massa sebagai pilar demokrasi keempat bukanlah jargon kosong. Demokrasi, yang seluruhnya bersumber dari rakyat, menginginkan agar media massa juga membela rakyat, bukan hanya memikirkan kelangsungan bisnis.

Jika kepercayaan masyarakat kemudian beralih ke media sosial, maka kebenaran bisa menjadi sumir, bahkan kabur dan dapat dipalsukan. Media sosial tidak memiliki mekanisme gatekeeper sebagaimana media massa yang bisa menyaring informasi bodong. Karena itu, media massa harus segera memperbaiki diri untuk mendapatkana kepercayaan seratus persen dari masyarakatnya. Seluruh elemen harus menjaga kualitas pers sehingga bisa menjadi pilar yang kokoh.

Dewan Pers memang tidak memiliki kekuatan untuk menghalau setiap media siber yang melanggar kode etik dan menggunakan cara-cara yellow journalism dalam aktivitas jurnalistiknya. Ancaman pidana juga tidak akan bisa dikenakan kepada media yang ‘sekadar’ tidak disiplin dalam melakukan verifikasi. Karena itu, persoalan utama sebenarnya terletak pada bagaimana perusahaan pers, tim redaksi, wartawan itu sendiri, di tambah peran serta masyarakat, melakukan penjagaan terhadap media.

Secara teori, media akan berkualitas jika perusahaan memberikan keleluasaan kepada redaksi untuk berkembang tanpa dituntut untuk melayani kepentingan golongan/orang tertentu. Tim redaksi membangun sistem yang ketat untuk menjaga wartawan tidak main mata atau dikendalikan kemalasannya memverifikasi setiap informasi sampai ke narasumber utama. Wartawan juga harus membawa pondasi jurnalistik yang jujur dan berpihak kepada kebenaran dalam setiap pemberitaannya.

Masyarakat di sisi lain saat ini menjadi komponen penting untuk mengoreksi media siber jika terjadi kesalahan. Pada media massa konvensional, masyarakat sulit menyampaikan pendapatnya karena harus melalui mekanisme berbelit serta tidak bisa dilakukan secara langsung. Saat ini media siber menyediakan ruang yang luas untuk mengomentari setiap berita yang ditayangkan. Bahkan media siber menyediakan kanal-kanal diskusi, selain untuk menjaga kualitas, juga mendapatkan traffic dari diskusi yang dilakukan masyarakat.

Literasi Media

Masalahnya sekarang masyarakat sendiri tidak bisa membedakan mana media siber yang berbasis jurnalistik, dan mana website yang berbasis opini perseorangan. Banyak yang tidak mempercayai media siber karena dianggap sebagai sumber berita hoax dan informasi yang menyesatkan. Padahal media siber yang serius akan malu jika menyebar berita hoax. Koreksi pasti segera dilakukan karena media siber yang tidak kredibel akan ditinggalkan pembaca dan pengiklan. Masyarakat harus memahami mana media berbasis jurnalistik yang serius dan mana website yang muncul secara tiba-tiba.

Ada benarnya jika Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) RI memblokir 800 ribu situs yang informasi hoax dan negatif sejak tahun 2015. Di tengah masyarakat yang literasi medianya jeblok, media online yang terpercaya pun rawan dicemooh. Kondisi ini sudah terjadi sejak Jokowi dan Prabowo dihadap-hadapkan pada Pemilihan Presiden 2019. Buzzer politik yang bertugas sebagai penyebar gosip murahan menebar hoax di website lalu diklaim oleh masing-masing pendukungnya sebagai kebenaran.

Media siber yang berbasis jurnalistik masih punya tugas untuk membebaskan diri dari beban tersebut, selain menjauhkan diri dari pidana pers. Tanggung jawab ini jangan diperburuk dengan menugaskan tim redaksi yang malas verifikasi, lebih mengejar click dibanding judul yang sesuai isi, atau redaksi yang menyukai informasi di media sosial dari pada menangkap fakta di lapangan. Insan pers harus terus memperbaiki diri baik secara kuantitas maupun kualitas. Karena masa depan Indonesia terletak pada kualitas jurnalistiknya.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.