Skip to main content

Oligarki Media di Indonesia


Jika ingin memahami tentang bagaimana oligarki media bekerja, maka bacalah buku Kuasa Media di Indonesia. Sejauh ini, buku karya Ross Tapsell ini adalah buku terbaik yang pernah saya baca soal oligarki, kepemilikan, juga cara bermain culas media massa.

Sebagai pengajar jurnalisme di program studi ilmu komunikasi, saya sangat bersyukur telah membacanya. Buku ini dengan akurasi tinggi memotret peta kepemilikan yang menguasai media di Indonesia. Banyak kejutan menyenangkan membaca buku dengan basis data berdasar penelitian selama 8 tahun tersebut.

Selama ini pembahasan mengenai kuasa media atau konglomerasi media merupakan sesuatu yang abstrak dan tanpa data. Kita hanya menebak dari pergerakan pemberitaan media massa, cara-cara mereka menyusun framing dan tata bahasa, dan juga kecondongan dari pemilik media yang ikut serta dalam partai. Tapi dalam buku ini kita akan dibuat terkejut dengan banyaknya data yang bertebaran.

Tampaknya begitulah ciri khas penulis barat yang daya literasinya jauh mengungguli kita. Ini bukan persoalan rendah diri atau jiwa inlander, tetapi suatu otokritik kepada pribadi saya dan bangsa ini yang tidak suka buku -bahkan cenderung membenci dan mencemooh. Setiap kalimat dalam buku ini bermutu, tidak patut melewatkan satu halaman pun.

Media massa dalam berbagai kajian merupakan salah satu produk modernisme yang paling penting. Ia yang menentukan pengetahuan kita terhadap realitas di sekeliling masyarakat. Karena itu, kajian media akan selalu penting terutama karena media itu sendiri, adalah alat -sebagaimana pisau- jika berada di tangan orang yang salah akan bisa membunuh orang.

Pisau hanya membunuh seorang dalam satu waktu, tetapi media bisa membunuh jutaan manusia dalam sekali tayang.

Dulu banyak contoh yang diulang-ulang dalam perkuliahan terjadinya kontra antara TV One (Aburizal Bakrie - Golkar) dan Metro TV (Surya Paloh - NasDem). Baik saat Lapindo menenggelamkan Sidoarjo, maupun saat Pilpres 2014. Dalam buku ini Tapsell melihatnya lebih dekat dan membuat pembaca benar-benar merasa lega bahwa akhirnya kita bisa mengetahui politik macam apa yang berjalan di dalamnya.

Lihat pernyataan tiga oligark media yang diwawancarai oleh Tapsell. Pertama, Surya Paloh : "Secara jujur harus saya akui bahwa saya menggunakan Metro TV dan Media Indonesia..., Kalau ada wartawan yang tak senang, ya, salah sendiri mengapa dia menjadi wartawan Metro TV atau Media Indonesia. Saya tidak ingin jadi hipokrit".

Mirip dengan pernyataan itu, Aburizal Bakrie, ketika ditanya tentang memanfaatkan medianya untuk kepentingan politik, dia menjawab : "Ini seperti Fox mendukung kandidat Partai Republik. CNN mendukung kandidat Partai Demokrat. TV One tentu saja mendukung saya, dan Metro mendukungnya (maksudnya Surya Paloh)". Ini to the point, dan melukai perasaan masyarakat yang selama ini berharap banyak pada media.

Tidak berbeda dengan kedua tokoh Parpol itu, Dahlan Iskan yang dulu dipuja sebagai sosok yang berintegritas dan pekerja keras, ternyata memiliki jawaban yang sama terkait media yang dikelolanya. Kata Dahlan, "Kami selalu mendukung beberapa kandidat di (grup) 
Jawa Pos, hampir selalu seperti itu". Termasuk sekarang Risma jadi Wali Kota Surabaya, sedikit banyak adalah berkat jasa Jawa Pos yang mencitrakannya sedemikian rupa dengan framing yang tak sejajar dengan kandidat lainnya.

Selain tiga orang yang telah saya tulis di atas, Tapsell dengan meyakinkan menyebut 4 konglomerat lain yang menguasai seluruh media besar di Indonesia. Yaitu : Harry Tanoesoedibjo yang memiliki MNC, Global, RCTI, Koran Sindo, Okezone, dll. Eddy Sariatmadja SCTV, Indosiar, Liputan6, dan El Shinta. James Riady memiliki BeritaSatu dan Koran Suara Pembaruan. Jacob Oetama pemilik Kompas TV, Kompas, Tribunnews, dll. Terakhir adalah Chairul Tanjung, pemilik Trans Corp, CNN, dan Detik.

Memang persoalan ini bukan khas Indonesia. Oligarki media, oligarki politik, oligarki ekonomi, terjadi di semua negara dan di banyak zaman. Mengetahui bahwa informasi hanya dikuasai segelintir orang membuat hati kesal dan pengen pukul orang. Karena jika kita ingin betul-betul membaca berita, serius ingin menonton berita politik dan pemerintahan, semua sudah diedit sesuai dengan pesanan.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.