Skip to main content

Nikah


Bagiku, menikah adalah hal yang biasa. Sehingga kumaklumi keputusanku yang enggan menyebar undangan, bahkan untuk orang yang paling dekat denganku sekalipun. Banyak orang yang akhirnya bertanya-tanya, curiga, penasaran, dan beberapa dari teman dekat ini marah lalu enggan menyapaku lagi. Tampaknya, diantara teman-teman menganggap bahwa undangan adalah sebentuk pengakuan pertemanan sehingga tidak adanya undangan dianggap sebagai pemutusan hubungan silaturahim. Aku menghargai keyakinan-keyakinan macam itu, meskipun aku tidak ingin mengakuinya.

Sejak remaja aku memahami bahwa suatu saat aku akan menikah, dan aku juga memahami bahwa aku pernah dilahirkan, suatu saat akan beranak pinak, menjadi tua, lalu mati dan hilang tak berbekas. Aku akan menjadi debu, beberapa masih mengingatku dan banyak manusia yang lupa bahwa aku pernah ada. Hal itu sama dengan menikah. Minggu lalu aku telah menikah, lalu sekarang beranda Facebookku telah berganti dengan puisi lain dan atau foto narsis yang menggemaskan. Minggu depan, tidak ada lagi yang mengingat pernikahan ini kecuali aku, istriku, dan orang tua kami.

Dengan pemahaman ini maka mana mungkin aku akan berlebih-lebihan di persoalan menikah. Segala yang berlebihan tampaknya terjadi pada orang di sekelilingku. Teman satu kompleks kos, misalnya, berteriak karena aku tidak pernah berkunjung dan menghabiskan waktu hingga tengah malam untuk ngopi bersama mereka. Teman satu kerjaku, menduga bahwa aku pulang lebih cepat dan tidak mampu menyelesaikan tugas tepat waktu. Teman yang biasanya ngopi dan diskusi, juga tiba-tiba bilang bahwa : aku sudah menikah jadi tidak mau ngopi denganku lagi.

Memang banyak yang harus berubah dari cara hidupku –karena hidupku sekarang bukan hanya milikku sendiri. Ngopi dengan siapapun sampai tengah malam tidak akan kulakukan semena-mena. Ngopi sampai berjam-jam harus memiliki alasan yang masuk akal sehingga tidak melukai anak orang yang telah kupinang. Tetapi aku masih tetap ngopi, tidak ada yang berubah dari itu. Dalam hal pekerjaan pun demikian. Tugas tetap kuselesaikan lebih baik dari siapapun. Karena itu, harusnya tidak ada yang menilai bahwa menikah tidak membuat kita menjadi pemalas dan banyak alasan.

Dalam hal pertemanan juga demikian, tidak ada yang berubah. Kebanyakan kawan perempuan, baik yang belum atau yang sudah menikah, langsung menjaga jarak denganku secara drastis. Bahkan diantara mereka mungkin memblokirku. Aku paham dan mencoba untuk menalar kondisi ini. Saya bersyukur bahwa ada beberapa kawan perempuan yang antusias dan ingin berkenalan dengan istri. Kami berkirim doa dan saling menjaga hubungan dengan baik. Kondisi-kondisi ini lebih banyak membuat perenungan di pikiranku, bahwa perbuatan kita bisa menjadi penggerak perubahan sedemikian besar bagi orang lain.

Jadi kutegaskan berulang-ulang, tidak ada yang berubah dariku, hanya lingkunganku berubah. Mereka lebih protektif dan bersikap keterlaluan padaku. Tentunya, ini adalah konstruksi yang terjadi di masyarakat selama ini tentang pernikahan. Pernikahan selalu diidentikkan dengan perubahan drastis, yang awalnya kurus, lalu menjadi gemuk karena ada yang masakin. Yang awalnya tidak rapi, dianggap lebih rapi karena ada yang menyetrikakan. Yang awalnya bekerja biasa saja, karena sudah menikah maka dianggap selalu mengejar proyekkan sehingga bisa dibuat menyenangkan istri. Perkara kecapekan saja, disuruh mencari istri agar ada yang mijitin.

Menikah sering dianggap sebagai solusi untuk segala persoalan, sekaligus masalah pelik untuk kesuksesan pekerjaan. Dua remaja tanggung yang pacaran, disuruh menikah agar terhindar dari zina. Apakah yakin bahwa setelah menikah mereka akan bahagia lalu menjadi keluarga sakinah (tenang) di usia labil? Pemuda yang rajin masak dan cuci baju sendiri, disuruh beristri agar ada yang masakin dan nyuciiin. Perempuan yang mandiri, diberi solusi segera bersuami agar tidak terlalu lelah. Banyak pula orang yang pekerjaannya ngawur, lalu beralasan : kalau saya kan sudah menikah, banyak yang dipikirkan di rumah. Nah kamu mumpung masih jomblo, harus rajin bekerja di kantor. Nah kan, aku yakin orang semacam ini tidak paham dengan ucapannya sendiri.

Menikah bukan solusi segala masalah. Kata temanku yang seniman : menikah itu mencari masalah baru. Ada yang harus dipahami bahwa menikah itu perintah agama. Maka paling tidak, menikah itu menuju pada tiga hal : sakinah, mawaddah, warahmah. Tetapi jangan dianggap bahwa setiap pernikahan bisa mengarah pada hal-hal macam itu. Secara obyektif, kita harus melihat menikah itu satu tindakan yang memiliki potensi kesuksesan dan kesedihan yang seimbang. Kebahagiaan bisa diwujudkan dengan atau tanpa pernikahan, begitupula kegagalan. Maka dari itu, orang yang menikah itu sama dengan orang bersekolah; banyak yang menjadi pandai, tapi lebih banyak yang tidak mendapat manfaat.

Maka nikahku adalah suatu keniscayaan, demikian pula dengan pernikahan orang lain, seniscaya kematian kita semua. Aku tetap akan bekerja dengan baik, menjalin pertemanan dengan penuh cinta, dan menciptakan kebahagiaan sendiri atas pilihan kemenikahanku di usia ini. Selamat untuk diriku sendiri yang telah memilih jalan riuh pernikahan.

Comments

Post a Comment

semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.