Skip to main content

Musik


Music adalah salah satu hal yang belum kukenal hingga saat ini. Sejarah musikku amat buruk. Hingga saat ini aku tidak punya kesukaan akan satu musik tertentu, baik genrenya, musisinya, maupun vokalis yang banyak dibanggakan teman-teman. Hal ini mengganggu mengingat orang-orang hidup dengan menjadi bagian dari sebuah music, baik musik sebagai budaya maupun industri. Rasa-rasanya ada yang kurang dalam hidup, namun mencintai segala sesuatu -termasuk musik- tidaklah mudah bukan?. Jadi ada beberapa hal dalam diri yang kita tahu kekurangannya, tetapi sulit menyembuhkannya.

Ketika Jokowi mengatakan bahwa ia penyuka music rock dan ia adalah penggemar berat Metallica, maka saya tidak paham apa itu rock dan apa itu Metallica. Begitu pun ketika Presiden SBY membuat beberapa lagu yang bahkan ia nyanyikan di hadapan para tamu negara, aku tidak paham sama sekali tentang musik yang ia bawakan. Sementara teman-temanku mengidentikkan dirinya pada OI dan Iwan Fals, aku sama sekali nggak paham sejarah OI atau pemberontakan yang dilakukan Iwan Fals dalam lagu-lagunya. Aku lugu soal lagu.

Pada 20 Juli 2017, Vokalis Linking Park Chester Bennington menggantung dirinya karena depresi. Aku mendengarnya dari salah satu penumpang mobil travel yang kukendarai. Ia bertanya tentang kematian Chester, dan aku mengangguk. “Iya mbak, bunuh diri”. Dan aku sama sekali tidak paham Chester itu siapa. Hanya berharap bahwa jawabanku benar. Karena setelah menjawab itu, aku pura-pura memindah lagu barat yang lebih enak didengar. Dari pertanyaan penumpang itu, aku menjadi gelisah akan sedikitnya pemahamanku soal musik.

Ketidakpahamanku tentang musik ini tentu ada sejarahnya. Dimulai dari pelajaran agama yang kudapat dari bapakku yang bercita-cita menjadi seorang kiyai. Bapak suka bercerita bahwa ia adalah santri yang taat sehingga cocok jika menjadi tokoh agama. Karena itu, seringkali ia mengkritik jika ada orang yang mengaji Al Quran dari speaker masjid, atau jika ada orang yang salah melafalkan tajwid ketika adzan magrib. Untuk meyakinkan ucapannya, bapak sering salat malam dengan wiridan berjam-jam. Kami adalah keluarga yang taat beribadah, meskipun dalam hal agama kami sering merasa kurang.

Dengan pendidikan agama yang ketat sebatas pemahaman kami yang kerdil, maka membuat bunyi-bunyian menjadi ‘haram’. Kata bapak, hal itu bisa mengundang setan. Akhirnya, sepanjang hidupku di rumah, tidak pernah sekalipun ada suara musik yang terdengar. Aku membayangkan betapa membosankannya hidupku waktu itu, meskipun tetap saja hidupku menggembirakan. Dan yang tidak disadari banyak orang adalah, musik erat kaitannya dengan kapital. Jikapun diperbolehkan adanya musik di rumah, maka hal itu tidak membantu karena tidak ada alat pemutar musik sama sekali. Kami tidak mampu beli bahkan sekadar tape dengan kaset pita. Hanya ada radio untuk memutar KH Zainuddin MZ dan Sandiwara "Arya Kamandanu" dan "Sandiwara Horor" di Radio Suzanna.

Meskipun pada saat Sekolah Menengah Pertama tahun 2003 aku memilih sekolah di luar desa, namun pendidikan yang kubawa dari rumah tetap melekat. Ketika teman-teman mulai menyanyikan "Demi Waktu"-nya Ungu di EBS FM, aku sama sekali tidak mengenalinya. Termasuk lagu "Kenangan Terindah" miliknya Samson yang merajai tangga nada di EBS FM dalam 8 minggu pun tak kuketahui. Seluruh pendengaran musikku berasal dari radio milik teman yang memiliki semangat belajar tinggi namun bernasib tragis karena persoalan ekonomi. Ketika itu, Sheila on7 sudah tidak terkenal. Tetapi sering kali teman-temanku kembali menyanyikannya karena memang saat aku SD, Sheila on7 sudah meraja lela.

Musik yang tak kupahami sama sekali membuatku ingin belajar gitar. Dua minggu belajar, aku merasa buntu dan memilih membaca buku. Suatu ketika pernah ikut main band bersama teman dengan menyewa studi musik di Paciran – Lamongan. Tetapi aku tidak sekalipun memahami nada yang ada sehingga kebingungan saat masuk ke sebuah lagu usai intro atau berhenti bernyanyi. Aku pun pernah belajar Banjari dengan menabuh musik yang memiliki ketukan DT TDD TTT DT. Meskipun pernah beberapa kali ikut lomba dan menang, tetapi tak kupahami satu pun nadanya. Sehingga aku hanya menghafalkan lagu dari vokalis, di mana aku harus berhenti, memulai, atau menepuk nada ‘naik’ dalam banjari.

Intinya aku gagal dalam memahami musik. Karena ketidakbecusanku dalam musik, maka musik tidak pernah menjadi prioritas dalam kehidupanku. Hal ini sama dengan orang lain yang tidak memahami nikmatnya membaca novel, maka ia tidak akan berteriak ketika menemukan Cantik Itu Luka (kubaca saat SMA dan menggelorakan gelisah asmara). Ini kaitannya dengan sebuah kemampuan yang berbanding lurus dengan hasrat pada sesuatu. Jadi semakin kita dipuji memiliki keahlian dalam satu hal, maka kita akan semakin berkemauan untuk belajar lebih banyak akan hal itu. Jika kita sudah tidak memiliki kemampuan dari awal akan suatu skill maka kita tidak akan punya niatan belajar lebih lagi.

Saat ini, entah dimulai berapa tahun yang lalu, aku mulai intens mendengarkan musik. Tidak ada genre tententu yang kusukai. Aku cenderung mendengar setiap musik yang aku merasa nyaman dengannya. Karena itu aku tidak fanatik pada salah satu genre atau benci dengan ganre yang lain. Aku biasanya mendengar Bob Dylan, aku juga mendengar Linking Park, Avril Lavigne, mendengar Kitaro, atau Mozart dan Beethoven, juga mendengar Rossa, Peterpan, Ungu, D’Massive, Kangen Band, Sting, Amy, Exist, hafal beberapa lagu dangdut semacam Bulan dan Bintang, Ilalang-Ilalang, Kandas, Birunya Cinta, Kimcil Kepolen, Suket Teki, juga hafal lagu Sewu Kutho, Stasiun Balapan, Terminal Tirtonadi, dan lain sebagainya.

Dan yang sekarang menemaniku setiap menyetir mobil Fiat 124s adalah lagu-lagu Bossanova. Aku merasa kembali tua, dilahirkan pada tahun 1970-an ketika sebuah mobil tidak membutuhkan spion kanan kiri. Sembari menyetir di Jalan Sultan Agung Kota Batu pada pukul 01.00 WIB aku akan melambatkan mobil lalu memutar musik Jass Java itu lumayan keras. Aku merasa bahagia, dan musik sejak dulu bisa membuat kita merefleksikan kekuatan maupun kelemahan diri sendiri. Apapun adanya pengetahuan musikku, kelemahan dan kebodohanku, aku tetap bahagia dengan apa yang telah kusadari sekarang.

Comments

Post a Comment

semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.