Skip to main content

Gagap Literasi dan Hoax di Indonesia



Ringkasan

Media sosial menjadi kekuatan baru dalam menyebarkan informasi. Sayangnya, penggunaan media sosial yang bebas ini tidak diikuti oleh kapasitas penggunanya sehingga menyebabkan hoax menyebar. Hal ini disebabkan pengguna media sosial tidak memiliki budaya literasi yang cukup. Ditinjau dari Teori Determinisme Teknologi oleh Marshall McLuhan, manusia adalah pencipta teknologi komunikasi, tetapi pada tahap selanjutnya manusia malah dipengaruhi oleh teknologi. Mc Luhan membagi sejarah manusia empat periode, yaitu : Periode Tribal, Periode Tulisan, Periode Percetakan, dan Periode Elektronik. Periode Tulisan dan Percetakan yang memiliki ciri logis, terstruktur, teliti, dan obyektif, tidak dialami masyarakat Indonesia. Sebaliknya, masyarakat Indonesia hanya mengalami Periode Lisan dan langsung menuju Periode Elektronik yang dicirikan sebagai informasi serba cepat, instant, dan tanpa pemikiran matang. Karena itu seluruh komponen harus kembali mengampanyekan budaya membaca secara massif. Selain itu, diperlukan individu dan lembaga-lembaga yang berhadapan langsung dengan penyebar hoax sehingga meminimalisir penyebaran berita hoax.


Pendahuluan
Hoax adalah kabar burung, informasi palsu, atau berita yang tidak benar. Biasanya hoax ini berisi sesuatu yang too good to be true atau too bad to be true. Sayangnya, hoax malah menjadi trend di media sosial (medsos) sejak pertengahan tahun 2016 lalu. Yakni ketika Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama, diduga melakukan penistaan agama dalam pidatonya di Kepulauan Seribu. Meskipun kasusnya sudah masuk ke ranah hukum, namun berita hoax yang mendiskreditkan agama dan kelompok tertentu masih menyebar. Informasi terus simpang siur dan melompat ke sana kemari seperti bocah nakal.

Dengan dukungan teknologi yang memudahkan penyebaran informasi dari satu orang ke orang, atau dari satu orang ke masyarakat luas, hoax menjadi salah satu benda yang mudah menyebar. Hoax bisa terdiri dari berbagai bentuk, mulai ulasan tanpa narasumber di website abal-abal dengan judul yang provokatif, gambar editan sehingga fakta menjadi bias, dan meme yang menyudutkan atau mengolok-olok golongan tertentu. Kabar ini menyebar di hampir seluruh medsos; Facebook, Twitter, Instagram, Path, hingga media chatting seperti WhatsApp, Blackberry Messanger, dan Line. Berita hoax ini tak terbendung karena pemegang gawai (gadget) yang kebanyakan kaum milleneal ini tidak melakukan verifikasi sama sekali.

Pertama-tama yang harus kita fahami dari merebaknya berita hoax adalah, bahwa ia merupakan hasil dari kemalasan pengguna medsos itu sendiri. Dalam artian, pengguna medsos malas melakukan verifikasi kebenarannya. Informasi ini menggelinding melalui kepala dan jemari lentik para pengguna gawai, tertawa dan merasa penasaran sembari tiduran di depan televisi yang berbicara sendiri. Mirisnya, informasi ini muncul disebabkan oleh keisengan, ingin mendapat banyak like dan komentar, atau lebih parah lagi berita hoax sengaja diciptakan dan disebarkan untuk tujuan memecah belah.

Determinisme Teknologi

Kemalasan memverifikasi informasi pengguna medsos bisa kita tilik dari gagap budaya yang dialami sebagian besar masyarakat Indonesia. Gempuran kebudayaan yang dihasilkan medsos membuat pola pikir masyarakat goyah. Kita tidak siap dengan kecepatan informasi yang tak terbatas ini. Konsep determinasi media Marshall Mc Luhan mengungkapkan bahwa manusia pada akhirnya akan dibentuk oleh teknologi komunikasi. Masyarakat tidak hanya dipengaruhi oleh isi, tetapi juga dipengaruhi oleh media yang digunakan (Ratmanto, 2015:46). Tetapi jika manusianya tidak siap –sebagaimana manusia Indonesia sekarang, maka pembentukannya akan menemui penyimpangan.

Teknologi memang produk buatan manusia sehingga banyak yang optimis bahwa penggunalah yang menentukan kebermanfaatan teknologi. Namun tak dapat dipungkiri bahwa teknologi seakan ‘bergerak sendiri’ lalu mengubah cara pikir maupun cara kerja manusia. Di premis kedua inilah Mc Luhan menggagas teorinya yang kemudian terkenal dengan frase ‘the medium is the message’. Contoh sederhana dialami mahasiswa yang lebih khawatir tidak membawa handphone saat berangkat kuliah dibanding kelupaan membawa buku. Manusia dewasapun demikian, kehilangan handphone menimbulkan penyesalan yang lebih dalam dibanding kehilangan uang yang nilainya sama dengan harga handphone tersebut.

Mc Luhan kemudian membagi sejarah perkembangan umat manusia dalam empat kebudayaan disesuaikan dengan tekonologi yang mempengaruhinya (Saefudin, 2008: 384). Jika salah satu periode ini tidak dialami sebuah bangsa, maka bisa dimungkinkan bangsa tersebut akan tertinggal sedemikian rupa dibanding bangsa lain. Pertama, periode tribal. Merupakan periode pra literasi yang menekankan budaya lisan. Periode ini lebih banyak mengeksplorasi indera pendengaran karena informasi beredar dari mulut ke mulut. Periode ini menyebabkan informasi dikuasai kalangan tertentu saja sehingga pengetahuan bersifat elitis.

Kedua, periode literatur. Manusia telah mengembangkan simbol-simbol yang diseragamkan sehingga menjadi bahasa bersama. Baca tulis menjadi tolok ukur kepandaian para individu. Ketiga, periode percetakan. Penemuan mesin cetak oleh Johanes Guttenberg pada tahun 1440 menjadi awal industri media massa cetak. Pada masa ini tulisan dapat diperbanyak dan penyebarannya lebih cepat. Akibatnya pengetahuan bisa menyebar bebas sehingga siapapun yang bisa baca tulis dapat mengakses pengetahuan. Keempat, periode elektronik. Periode terakhir ini dimulai sejak penemuan telegraf dan berlangsung hingga saat ini. Puncaknya adalah penemuan televisi yang menjadikannya media paling bersinar dibanding media cetak dan radio. Tapi sekarang, kajian media sedang berpusat pada new media karena kebaruan dan keanehannya.

Dalam empat gelombang itu, manusia Indonesia dapat percaya diri telah melewati periode tribal dan elektronik. Periode tribal di Indonesia ditandai dengan banyak cerita lisan mengenai legenda, fabel, dan cerita rakyat yang ada hampir di seluruh daerah. Sementara periode elektronik –yang menjadi cikal bakal kedatangan internet- ditandai dengan penggunaan internet dan medsos yang begitu besar. Menurut Internet World Stats, Indonesia menempati urutan ke empat pengguna internet terbanyak di Asia sebesar 78 juta jiwa pada tahun 2015. Kemudian melaju pada urutan ke tiga di Asia pada tahun 2016 dengan jumlah pengguna mencapai 132 juta jiwa. Sementara pengguna medsos di Indonesia berjumlah 88 juta jiwa per Juni 2016.

Lalu bagaimana dengan periode literatur dan percetakan? Hingga saat ini, setiap informasi yang mengarah pada budaya literasi di Indonesia pasti mengalami pesimisme yang luar biasa. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang notabenenya secara ekonomi dan pembangunan berada di bawah Indonesia, kita tetap kalah. John W. Miller dan Michael C. McKenna, akademisi dari Central Connecticut State University di US merilis hasil penelitian mereka untuk World Most Literate Nations tahun 2016. Dari 61 negara di dunia, Indonesia berada pada peringkat ke 60 setelah Thailand, dengan negara ke 61 adalah Bostwana – Afrika Selatan.

Kita harus menyadari bahwa bangsa kita tengah mengalami suatu lompatan budaya yang krusial. Lompatan budaya ini yang menyebabkan kita gagap menghadapi gelombang budaya teknologi informasi dan komunikasi. Padahal jika ditelusuri, bangsa Indonesia memiliki sejarah gemilang di dunia literasi dengan lahirnya kitab-kitab kuno pada masa kerajaan Hindu-Buddha. Namun kisruh perang saudara pada masa kerajaan membuka peluang masuknya penjajah yang menindas fisik dan mental bangsa Indonesia, lalu membuat dunia literasi kita ambruk.

Periode literasi banyak mengajarkan penulisnya –sebagai komunikator- untuk mempertanggungjawabkan keabsahan informasinya. Segala informasi yang tercatat dan tersebar tidak mudah hilang. Sehingga jika data dan fakta yang dipaparkan dalam tulisan itu tidak memiliki bukti yang kuat, apalagi palsu, maka nama baiknya bisa dipastikan hancur. Dalam pengertian determinisme teknologi, buku, makalah, jurnal, dan penerbitan lainnya membawa dampak pola pikir yang logis, linier, dan analitik. Hal itu tentu berbeda dengan budaya lisan yang tidak membutuhkan data akurat. Bahkan ucapan lisan bisa diingkari begitu saja oleh pembicara jika situasi tidak menguntungkan.

Memasuki abad informasi dengan hanya berbekal kemampuan periode tribal, membuat pengguna medsos di Indonesia kewalahan. Seluruh informasi yang beredar hanya lewat begitu saja dan langsung disebar seperti budaya lisan yang suka menggunjing. Pengguna medsos tidak merasa memiliki kewajiban memverifikasi, membandingkan data, pun memikirkan efek setelah penyebarannya. Sebagai penggunjing dalam interaksi sosial, penyebar hoax hanya ingin dianggap memiliki pengetahuan lebih terhadap informasi. Tentu saja hal ini membahayakan bila hoax yang disebar berakibat disintegrasi bangsa dan negara.

Post Truth

Masalah lain yang timbul akibat budaya literasi yang tidak ‘tamat’adalah dangkalnya berfikir dan emosionalitas pengguna medsos. Kebenaran tidak lagi menjadi tujuan pokok dari informasi, melainkan membangunkan ingatan primordialisme yang membawa dampak perpecahan. Pengguna medsos pun tidak menyadari bahwa dirinya telah terpetak-petakkan dalam kelompok, agama, suku, atau pun pemikiran tertentu. Ketika ada informasi yang lewat di beranda facebook, mereka langsung tersulut emosinya dan memberikan komentar seketika.

Penyebaran berita hoax yang massif seperti ini bisa menjadi salah satu tanda dari datangnya post truth era, yang diartikan sebagai suatu keadaan ketika fakta-fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi. Kosa kata ‘post truth’ sendiri telah dinobatkan oleh Oxford Dictionaries sebagai Word of the Year 2016 sebagai respon atas peristiwa Brexit dan Donald Trump yang terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat. Hal ini tentunya mengerikan mengingat Indonesia juga memasuki era ‘kebenaran yang telah mati’ itu.

Era post truth telah merebak ke Indonesia melalui penyebaran hoax yang sempurna. Pengguna medsos yang menjadi obyek serangan hoax pun tidak mempersoalkan apakah informasi itu valid, obyektif, atau berimbang secara jurnalistik. Masyarakat masih gegabah dalam menyikapi informasi yang beredar karena lebih menggunakan emosionalitas dibanding akal. Kondisi ini harus dikembalikan pada pemahaman bahwa manusia indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, dan budaya sehingga harus saling menghormati. Jika tidak, yang terjadi adalah peperangan yang tak berkesudahan.

Masyarakat kita saat ini, baik yang aktif di dunia medsos maupun di dunia nyata, dapat diklasifikasikan sebagai khalayak massa. Ciri khas dari khalayak ini nyaris tanpa berfikir dan tanpa merenung, yang diakibatkan melebarnya budaya massa yang berulang, bersifat permukaan, mengagungkan kenikmatan remeh, sentimentil, sesaat, dan menyesatkan dengan mengorbankan nilai-nilai keseriusan, intelektualitas, penghargaan atas waktu dan autentisitas (Strinati, 2010:38). Hoax yang saat ini menyebar pun cenderung mengumbar fantasi dan respon sentimentil tanpa tanggung jawab.

Khalayak massa dengan kondisi ini cenderung membuka diri untuk dapat dimanipulasi dengan mudah. Sehingga tampaknya produsen hoax tidak mengalami kesulitan dalam menyebarkan berita palsu itu. Jadi bukan karena kepandaian produsen hoax yang mampu mengemas dan mempersuasi masyarakat, tetapi masyarakat sendiri yang dengan terbuka menerimanya –bahkan mendukung. Strinati juga menyebutkan, timbulnya budaya massa dan khalayak massa ini bertanggug jawab terhadap kurangnya sumber intelektual dan dan moral untuk melakukan hal yang sebaliknya.

Dengan memahami kondisi khalayak massa ini, maka tidak mengherankan jika fakta-fakta tidak lagi menjadi rujukan. Mereka tergesa-gesa dengan penyimpulan sepihak karena menurutnya ‘menarik’ dan bukan berdasarkan ‘kebenaran’. Festinger menandai kondisi ini dalam Teori Disonansi Kognitif yang mengatakan bahwa orang-orang cenderung ingin mengabaikan informasi yang tidak sesuai, atau paling tidak mengurangi informasi yang tidak sesuai itu dengan mencari perbandingan (dalam Littlejohn, 2009:115). Jadi dapatlah dipahami bahwa penyebaran berita hoax disertai dengan keyakinan akan kebenarannya –dengan mengecualikan bahwa ada berita hoax yang sengaja disebarkan untuk tujuan pemecah belah.

Problem atas intelektualitas masyarakat yang rendah ini bisa menjadi pintu masuk bagi orang-orang yang memiliki agenda politik, sosial, dan ekonomi secara khusus. Bukan tidak mungkin ada niat-niat tertentu dalam penyebaran hoax yang disengaja, terencana, dan menghasilkan imbas buruk bagi masyarakat. Jika ada hoax menyebar dan mendiskreditkan Agama Islam, bukan tidak mungkin bahwa hoax itu buatan orang Islam sendiri. Hal yang sama berlaku bagi agama lain, suku lain, dan ciri-ciri biologis lain, yang didiskreditkan oleh hoax. Sehingga ada upaya propaganda dalam penyebaran hoax yang mengarah pada kepentingan perorangan atau kelompok tertentu.

Sebagaimana yang sering kita dengar dalam kampanye atau propaganda politik –dalam hal ini kampanye dan propaganda berarti ingin mempersuasi orang lain agar mengubah atau meneguhkan pilihannya–, ada suatu jenis kampanye yang menyerang pihak lawan meskipun tanpa data dan anonim. Memang cara ini adalah yang paling buruk bila dibandingkan dengan kampanye yang berorientasi pada produk, person, ataupun ideologi. Dalam kampanye negatif, kelompok berlawanan menyerang tanpa mempedulikan etika dan keabsahan data yang digunakan. Di ranah hoax inilah mereka bermain dan mendapatkan momentumnya dalam kejadian-kejadian sosial keagamaan yang akhir-akhir ini booming.

Turn Back Hoax

Orang-orang yang menjadi spiral of silence perlu digerakkan dalam berbagai aktivitas. Dari 88 juta lebih pengguna medsos di Indonesia, sebagian besar adalah orang-orang yang tidak peduli dengan dunia ini. Entah ada yang menjelek-jelekkan agama, merecoki hukum Indonesia, atau pun memprovokasi massa, kelompok ini tidak peduli. Mereka hanya akan galau dengan kondisi di Indonesia namun tidak melakukan apapun untuk menyelamatkannya. Orang-orang inilah yang harus digerakkan dalam social movement yang digagas baik oleh lembaga swadaya masyarakat, akademisi, maupun pemerintah.

Perlu diingat, memerangi berita hoax yang berkeliaran di medsos tidak cukup dengan kampanye melalui dunia nyata. Hoax yang disebarkan lebih banyak melalui jaringan medsos harus dilawan menggunakan media yang sama –meskipun tidak menafikan harus ada aktivitas real di dunia nyata. Di abad informasi ini, kampanye-kampanye selalu lebih berhasil bila memanfaatkan internet. Sebuah gerakan anti hoax perlu dimassifikasi supaya melekat dalam otak masyarakat. Sehingga ketika ada informasi yang berpotensi hoax, masyarakat langsung teringat akan gerakan itu lalu memverifikasinya sebelum menyebarkan.

Karena itu, beruntunglah kemudian muncul gerakan penyadaran yang diinisiasi oleh berbagai grup facebook, diantaranya Masyarakat Anti Hoax Indonesia (MAFINDO). Seluruh anggotanya diminta mengumpulkan setiap gambar dan informasi yang berpotensi merugikan orang lain, kemudian meneliti kebenaran informasi tersebut. Dari sana kemudian mereka membuat website www.turnbackhoax.id dan terindeks beberapa informasi yang terbukti hoax. Diantaranya yang terbaru : Air Mineral Yang Membundel Sari Roti Juga Mesti Diboikot, Korban Om Telolet Om, Cut Meutia Digambarkan Tidak Berjilbab Dan Mirip Cina Di Uang Rupiah Baru, Ahok Ziarah Ke Makam Ibu Angkatnya Memakai Sepatu.

Saat ini, google, facebook, Kementrian Komunikasi dan Informasi RI, penegak hukum, aktivis sosial dan akademisi, berupaya keras untuk memblock gerakan penyebar hoax. Yang tersisa sekarang adalah niat baik dan kesungguhan masyarakat guna menghentikan berita hoax. Jika hoax bisa menyebar dengan leluasa, maka harusnya gerakan anti hoax bisa bergerak lebih pesat. Munculnya aplikasi anti hoax yang digagas Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) di android maupun iOS juga patut diapresiasi. Sebagai bagian dari gerakan berbasis crowdsourcing (urun daya), maka setiap individu yang berkesadaran harus mendukungnya dengan berbagai cara.

Cara pertama berhubungan dengan persoalan mendasar bangsa Indonesia, yakni menggerakkan budaya literasi. Untuk ini kita membutuhkan beberapa langkah taktis, misalnya dengan mendukung setiap gerakan literasi yang ada di sekeliling kita. Di sebagian besar kota di Indonesia ada berbagai komunitas yang secara swadaya membuat taman bacaan masyarakat, membentuk forum diskusi, hingga penerbitan buku. Gerakan ini harus didukung demi kelangsungan peradaban generasi mendatang yang lebih baik.

Membangun budaya literasi merupakan persoalan yang kompleks. Ia tidak serta merta ada dan akibatnya tidak bisa dirasakan bahkan sampai bertahun-tahun kemudian. Dibutuhkan konsistensi dan keteguhan guna menggerakkan masyarakat agar mencintai literasi. Namun demi generasi yang akan datang, penggerak literasi tidak boleh menyerah. Karena dari sinilah cikal bakal kemajuan bangsa Indonesia. Jika tidak digembleng mulai dari sekarang maka akan selalu ada generasi yang kebanyakan alasan saat diajak berkontribusi aktif dalam pengembangan literasi.

Cara kedua adalah berhadapan langsung dengan para penyebar hoax. Langkah ini relatif lebih mudah karena tidak menuntut konsistensi dan konsekuensi yang tinggi. Orang yang sehari-hari menggunakan medsos bisa melakukannya seketika itu juga. Yang diperlukan hanyalah kesadaran akan bahayanya hoax dan kemauan untuk beraksi. Cara-cara ini dapat ditempuh dalam beberapa tahap :

Pertama, verifikasi. Seluruh informasi yang mampir di beranda medsos kita harus diteliti sehingga dapat dipastikan kebenarannya. Jangan mudah percaya atas informasi yang merendahkan, mendiskreditkan, dan mengolok-olok pihak tertentu. Konsekuensi atas ke-tidakmudahpercaya-an pada setiap informasi adalah melakukan verifikasi. Verifikasi ini penting sehingga menjadi salah satu prasyarat wartawan ketika menyajikan berita. Tanpa verifikasi yang memadai seluruh informasi bisa diragukan kebenarannya.

Sebagai warga dunia yang disatukan oleh informasi dalam internet, memverifikasi informasi hoax menjadi lebih mudah. Ada layanan google yang bisa menelusuri berbagai macam pertanyaan dengan berbagai perspektif –yang di sini juga memerlukan kehati-hatian. Perhatikan pula media online yang memuatnya karena banyak blog abal-abal yang keseluruhan isinya hanya berisi ujaran kebencian, fitnah, provokasi, SARA, penghinaan negara, hingga berisi phising dan malware. Meskipun Kominfo RI telah memblokir puluhan website yang berbau SARA dan penyebar hoax, namun website semacam ini akan terus bermunculan sehingga membutuhkan kejelian masyarakat.

Ciri paling mudah untuk mengetahui akurasi pemberitaan adalah dengan melihat nama websitenya, jika tidak familiar, maka hampir dapat dipastikan hoax. Misalnya lemahirengmedia.com, portalpiyungan.com, suara-islam.com, bersatupos.com, media-nkri.net, dan lain-lain. Situs-situs tersebut sayangnya menggunakan nomenklatur keislaman untuk menyebarkan berita hoax. Hingga akhirnya diblokir oleh Kominfo pada akhir 2016 lalu. Bandingkan dengan berita yang datang dari kompas.com, detik.com, liputan6.com, atau cnn.com. Empat media yang disebut terakhir termasuk media nasional yang dalam pemberitaannya menggunakan teknik jurnalistik sehingga jelas narasumbernya dan dengan sendirinya dapat dipercaya ketepatannya. Meskipun tidak dapat dipastikan kebenaran mutlak dari media online mainstream, namun mereka sudah terverifikasi bertingkat oleh dewan pers sekaligus merupakan sebuah perusahaan media yang menjual kredibilitas.

Berita hoax juga tidak mungkin menyantumkan narasumber jelas yang memiliki kredibilitas di bidangnya. Jika pun mereka mengutip pernyataan seorang tokoh di Indonesia, lihatlah waktu atau lokasi di mana pernyataan itu diambil. Sebagaimana kerja jurnalistik yang menyantumkan waktu (when) dan tempat (where) dalam setiap tulisannya. Karena waktu dan tempat seringkali menentukan konteks pernyataan itu dikeluarkan.

Kedua, ingatkan. Jika terbukti informasi yang beredar adalah hoax maka ingatkan penggunanya melalui pesan pribadi, pesan di beranda pengguna, maupun turut berkomentar di kolom yang disediakan. Menggunakan metode keimanan, maka untuk mengingatkan penyebar hoax ini ada tiga cara, pertama dengan kekuatan tangan –dalam artian dilakukan dengan lugas dan tegas, kedua dengan ucapan –yakni peringatan halus kepada penyebar hoax, dan ketiga adalah diam atau tidak ikut menyebarkan berita hoax tersebut yang mana merupakan selemah-lemahnya iman.

Guna mengefektifkan peringatan kepada penyebar hoax maka kita harus mencari data dan fakta yang akurat terlebih dahulu. Terutama menghadapi penyebar hoax yang yakin bahwa informasi yang disebarkannya itu benar, maka data dan fakta ini menjadi sesuatu yang mutlak. Tanpa data dan fakta yang jelas maka hanya debat tak berujung yang akan didapat. Terutama, dengan mengingatkan penyebar hoax secara terbuka, akan banyak orang yang akan melihat percakapan itu. Orang-orang yang masuk dalam golongan ‘tak beropini’ ini akan mengetahui bahwa informasi yang disampaikan adalah hoax sehingga tidak menjadikannya sebagai kepercayaan.

Ketiga, unfriend pengguna yang terindikasi keterlaluan karena selalu menyebar berita hoax harus mendapatkan pemutusan hubungan pertemanan. Bahkan mungkin mereka tidak akan merasa rugi sama sekali diputuskan pertemanannya oleh salah seorang dari ribuan teman medsosnya. Unfriend ini adalah jalan penyelamatan diri. Dari pada selalu terbayang-bayang dengan berita hoax yang disebarkan olehnya, lebih baik tidak sama sekali. Bukankah hidup tanpa prasangka lebih membahagiakan?

Langkah unfriend ini harus didasari pada keinginan hidup yang lebih baik dan membahagiakan. Karena jika keputusan unfriend didasarkan pada kognisi yang emosional, maka tindakan ini tentu tidak disarankan oleh ahli hubungan antar manusia. Karena pemutusan hubungan pertemanan seringnya mengarah pada ketidakmampuan individu menerima perbedaan antar manusia. Budaya massa yang menimbulkan ‘kebersamaan semu’ memunculkan sikap tak hirau terhadap setiap orang yang berbeda pandangan.

Keempat, laporkan. Media sosial telah menyediakan layanan ‘report fake news’. Selain itu, pengguna medsos juga bisa melaporkannya ke email Kominfo, Mafindo, maupun aplikasi anti hoax rancangan Mastel. Dengan gerakan Turn Back Hoax yang massif, maka bukan tidak mungkin penyebar hoax akan jera. Pelaporan ini akan menjadi jalan terakhir dari serangkaian cara menanggulangi penyebaran berita hoax. Dengan melaporkan pengguna yang terlalu sering menyebar berita hoax, maka kita akan menghentikan rantai penyebarannya.

*Dimuat dalam buku "Turnback Hoax" yang diterbitkan oleh Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (ASPIKOM) tahun 2017.
Daftar Rujukan 
Central Connecticut State University. 2016. World’s Most Literate Nations Ranked. Diunduh dari. <http://webcapp.ccsu.edu/?news=1767&data. Viewed 20 Januari 2017.
Internet World Stats. 2016. Asia Marketing Research, Internet Usage, Population Statistics and Facebook Information. Diunduh dari  <http://www.internetworldstats.com/asia.htm. Viewed 20 Januari 2017
Littlejohn, Stephen W & Karen A. Foss.2009. Teori Komunikasi, edisi 9. Jakarta: Salemba Humanika.
Ratmanto, Teguh. 2015. Determinisme Teknologi dalam Teknologi Komunikasi dan Informasi. Mediator. Vomule 6. Nomor 1. Pp 43-50.
Saefudin, Asep. 2008. Perkembangan Teknologi Komunikasi: Perspektif Komunikasi Peradaban. Mediator. Volume 9. Nomor 2. Pp 383-392
Strinati, Dominic. 2010. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Ar-Ruz Media: Jakarta
_______________.2016. Word of the Year Is. Diunduh dari <https://en.oxforddictionaries.com/word-of-the-year/word-of-the-year-2016. Viewed 20 Januari 2017.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.