Skip to main content

Sejarah Pemikiran



Manusia adalah hewan yang berfikir. Kemampuannya berfikir membuatnya berbeda dibandingkan dengan hewan. Karena itu penting bagi manusia untuk memikirkan sebab dan akibatnya sebelum bertindak. Di masa modern ini diketahui banyak hewan yang memilki kemampuan menggunakannya otaknya meskipun jangka pendek. Penggunaan otak yang terbatas ini tidak mampu mengidentifikasi persoalan, menganalisis, dan membuat kesimpulan. Sehingga hewan tidak akan pernah mampu mengungguli manusia sampai kapanpun.

Kemampuan berfikir manusia yang kompleks inilah yang membuatnya membuat peradaban. Ada beberapa masa di mana manusia hanya memikirkan makanan karena dunia tidak memungkinkan berfikir lainnya. Karena itu kita mengenal beberapa periodesasi pemikiran yang pernah dimiliki manusia. Ada periode prasejarah, yang merupakan tahapan pengenalan makhluk yang diperkirakan sebagai manusia. Kemudian di tahun 4000-an sebelum masehi kita mulai berkenalan dengan sejarah Adam, hingga masa pemikiran klasik pada tahun 600 sebelum masehi.


Periodesasi
600 SM – 400 SM
400 – 1500 M
1500 – 1800 M
1800 – Sekarang
Klasik                           Pertengahan                     Modern                       Kontemporer
   Kosmosentris                      Theosentris                  Antroposentris                   Logosentris


Periode Klasik

Masa klasik adalah masa yang paling penting dalam sejarah pemikiran. Karena di masa inilah orang-orang mulai memisahkan antara mitos dan yang bukan mitos. Sehingga bisa dikatakan bahwa mereka adalah bangsa yang maju. Karena bahkan di Indonesia, sekitar 40 tahun sebelum masehi, orang-orang masih percaya pada animisme dinamisme sehingga belum muncul tradisi berfikir sebagaimana kaum Yunani pada abad 600 SM. Lagi pula, peletak dasar filsafat adalah orang-orang yang berada di periode klasik. Zaman pertengahan hingga kontemporer hanyalah kelanjutan dari periode klasik.

Sehingga periode kalsik bisa dikatakan sebagai masa keemasan pemikiran manusia. Ditambah bahwa pemikiran mereka masih orisinal karena benar-benar digali dari proses pemikiran dan pendalaman yang panjang. Tidak dapat dipungkiri, pemikiran generasi Thales ini masih dipakai hingga sekarang, apalagi orang-orang seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, yang merupakan guru dan murid yang telah mengubah wajah dunia yang kelam menjadi terang benderang. Pemikiran bergeser dari mitologi menuju kosmologi, dan filsufnya dinamai filsuf alam.

Pemikiran generasi ini masih fokus pada ‘arche’ alam, atau asal mula alam. Thales misalnya, menganggap alam semesta berasal dari air, sedangkan Anaximenes menganggap udara sebagai unsur pembentuk utamanya. Heraxlitos mulai berfikir bahwa semesta sebenarnya tetap, dan Parmenides menganggap alam sebagai sesuatu yang terus berubah. Anaximendres urun pengetahuan bahwa sesuatu yang terbatas-lah yang menjadi inti dari semesta, dan disempurnakan oleh Pytaghoras yang mulai melirik angka-angka sebagai basis penting dari alam semesta.

Filsafat kosmosentris ini kemudian berbalik menjadi filsafat antroposentris, yang diserukan oleh Socrates melalui kredonya: gnothi seauton (kenalilah dirimu sendiri). Socrates memang tidak pernah menerbitkan tulisan-tulisannya karena ia lebih mengarah ke dialog. Dia mendialogkan seluruh pengetahuannya dengan murid-muridnya sehingga metodenya ini terkenal dengan nama pembidanan –meuitikha- dalam artian membidani lahirnya hakikat dan kebenaran. Metode ini kemudian memunculkan murid terpintarnya, Plato, yang tulisan-tulisannya melintas batas hingga masa sekarang. Plato terkenal dengan teorinya mengenai ‘ide’. Bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini berasal dari dunia ide yang tetap dan abadi.

Murid Plato yang ajaran filsafatnya melampaui gurunya adalah Aristoteles. Ia lebih banyak tidak setuju dengan ajaran-ajaran gurunya. Aristoteles ini lebih setuju jika ‘ide’ diletakkan pada benda-benda yang ada di alam nyata. Jadi ide-ide yang ada dalam pikiran pada mulanya muncul dari adanya benda-benda. Dari sini bisa diketahui bahwa Aristoteles lebih realistik dari pada Plato karena mendasarkan segala sesuatu pada apa yang nampak. Jika Plato menggunakan metode deduktif dalam memaparkan pikiran-pikirannya, maka Aristoteles menggunakan metode induktif.

Periode Pertengahan

Abad pertengahan berlangsung cukup lama sejak 400 SM sampai 1.500 SM. Abad ini dicatat karena banyak pemikiran filsafat dikomparasikan dengan pemikiran keagamaan, khususnya agama Kristen. Karena pengetahuan dipegang oleh tokoh agama Kristen (father, pater, bapak) maka disebut masa Patristik (lt.patres – bapa gereja). Ajaran fisalat-teologis ini ingin memperlihatkan bahwa antara ajaran agama dengan keilmuan memiliki kepaduan. Para pater ini sangat getol untuk menyebarkan sekaligus mempertahankan ajaran agama Kristen dari serangan para ‘bidah’ yang menyimpang dari pemikiran gereja.

Di abad pertengahan ini juga terdapat masa Skolastik, yang kemunculannya didasarkan pada sekolah-sekolah pengajaran yang dibuat oleh agamawan Kristen. Zaman Skolastik ditandai dengan banyaknya pengajar teologis yang memikirkan agama dan tuhan dengan logika murni –bukan berdasarkan pada kitab suci lagi. Lalu puncaknya adalah muncul kembali ajaran Aristoteles yang dibawa oleh filsuf muslim seperti Al Kindi, Ibn Rusyd, Ibn Sina, dan Al Ghozali. Hal penting dari abad pertengahan ini adalah : adanya klaim agama bahwa wahyu tuhan merupakan kebenaran mutlak, sementara dalam filsafat percaya bahwa kebenaran agama dapat ditelusuri melalui akal.

Karena itu banyak sekali ilmuwan yang kemudian bersinggungan dengan agama, baik Kristen maupun Islam. Misalnya Copernicus yang dihukum pancung, Galileo dipenjara seumur hidup, dan Giordano Bruno juga dijebak lalu dipenjara, disalib, lalu dibakar hidup-hidup karena tidak mau menarik idenya. Sementara dalam kekhalifahan Islam, banyak sekali ulama yang mengalami dehumanis gara-gara berbeda pendapat dalam bidang agama maupun politik. Dari bacaan yang saya temui, memang tidak mengisahkan tentang keilmuan alam dan rasio, namun lebih kepada perbedaan pendapat prinsip keagamaan yang menyebabkan mereka dihujat hingga dihukum mati, seperti : Ahmad Ibn Hambal, Al Hallaj, Ibn Arabi, hingga di Jawa ada Siti Jenar.

Periode Modern

Pemikiran di abad modern ini didasarkan pada keinginan untuk membebaskan diri dari kungkungan gereja. Terutama di Eropa, pada abad ke 15 dan 16 muncul gerakan yang menginginkan kembalinya kejayaan Filsafat Yunani dan Romawi, gerakan inilah yang dinamakan renaissance atau kelahiran kembali. Zaman renaissance ini juga sering disebut sebagai zaman humanisme, yang menekankan pada ‘manusia’ sebagai ukuran segalanya –dan bukan dogma gereja. Manusia harusnya sebagai faber mundi (orang yang menciptakan dunia) dan bukannya viator mundi (orang yang berziarah).

Sebagai pusat pergumulan dalam filsafat, peran manusia beserta akal budi dan perasaannya menjadi penting. Filusuf paling awal yang meletakkan dasar filsafat secara modern adalah Rene Descartes, yang terkenal dengan cogito ergo sum-nya. Rasionalisme menjadi ciri pemikiran Descartes yang nantinya dikembangkan oleh Leibniz dan Pascal. Aliran ini mengatakan bahwa akal merupakan alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan dan menguji keabsahannya. Dalam agama, rasionalisme yang menjadi lawan dari otoritas berfungsi sebagai kritik, sedangkan dalam bidang filsafat rasionalisme sangat berguna untuk membentuk teori maupun mengujui teori pengetahuan.

Lawan dari rasionalisme adalah empirisme, yang lebih mempercayai bahwa sumber pengetahuan haruslah melalui pengalaman (indera) sehingga mengecilkan peran akal. Tokoh utama dalam paham empirisme adalah John Locke dan David Hume yang sama-sama mengembangkan teoritisasinya dalam bukunya. Kedua aliran itu sangat kuat mengakar dalam pembicaraan filsafat di awal perkembangan abad modern. Periode empirisme yang sedang berkembang pesat ini sering dinamakan aufklaerung atau abad pencerahan, di mana manusia mencari cahaya baru dalam rasionalitasnya.

Hingga kemudian muncul salah satu filusuf terpenting abad modern yang mendamaikan kedua pemikiran tersebut, dialah Immanuel Kant. Menurut Kant, pengetahuan merupakan hasil kerja sama antara rasio (akal) dengan pengalaman (empiris). Pengalaman inderawi, disebut Kant sebagai aposteriori atau yang datang kemudian. Sedangkan akal atau rasio adalah apriori atau yang datang terlebih dahulu. Artinya, seseorang mendapatkan pengetahuan didasarkan pada rasionya melalui proses berfikir, baru kemudian ia melakukan pembuktian-pembuktian melalui pengalaman sehingga kebenaran itu dapat dipercaya sebagai sebuah kebenaran. 

Aliran lain yang berkembang pada abad modern ini adalah idealisme, yang menganggap bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini hanya representasi dari ide-ide. Tidak ada realitas yang obyektif dari dirinya sendiri, karena realitas seluruhnya hasil pekerjaan subyektif yakni subyek absolut (tuhan). Aliran yang kontra terhadap idealisme adalah materialisme, yang secara kontras menganggap manusia hanya sebagai benda, sebagaimana air, batu, ataupun pepohonan. Jikapun manusia diberi kemampuan berfikir, namun secara keseluruhan keberadaan manusia merupakan akibat dari hukum alam, fisika, kimia, yang menjamin keberadaan manusia. Kedepannya, materialisme ini terkenal karena Marx dan Engels yang menggunakannya untuk pemikiran kritis menjadi materialisme historis amupun teori tentang nilai.

Diantara idelisme dan materialisme, muncul satu aliran baru yang mirip dengan empirisme, yakni positivisme. Dalam ilmu sosial, positivisme menjadi salah satu paradigma yang digunakan dalam penelitian yang menekankan pada sesuatu yang bisa diamati dengan indera, dalam pengertian lain harus menggunakan metode sains. Paradigma positivis ini digunakan untuk melakukan penelitian yang bersifat kuantitatif. Karena positivis sebenarnya mengutamakan pengalaman indrawi sebagai sumber pengetahuan, namun harus obyektif. Sedangkan empirisme tetap menerima sebuah pengalaman sebagai sumber pengetahuan meskipun subyektif.

Periode Kontemporer

Filsafat kontemporer adalah periode pemikiran yang mengupas berbagai kenyataan dan isu yang terjadi di masa sekarang. Sekarang, bisa bermakna kenyataan dan isu yang sedang kita alami pada saat ini juga. Tetapi umumnya, periode filsafat kontemporer mengacu pada zaman setelah tahun 1800 atau abad ke 18 masehi (ada yang berpendapat dimulai pada abad ke 19). Manusia tetap menjadi center pengetahuan di periode ini, namun ia mengembangkan lebih dalam pemikiran yang ada pada zaman modern dan lebih jauh membuat kajian khasnya sendiri.

Periode ini ditandai dengan hadirnya Nietzsche yang membawa gebrakan di bidang pemikiran. Secara garis besar ia mengkritik modernisme, dan secara khusus mengkritik moralitas negara barat. Penjajahan yang dilakukan barat terhadap negara-negara timur dianggapnya menciderasi moralitas zaman humanisme yang selalu didengung-dengungkan. Ajaran Nietzsche ini mengarah kepada eksistensialisme bersama dengan tokoh penting lainnya seperti Sartre dan Kierkegaard. Jika Kant menjembatani Rasionalisme dan Empirisme, maka Sartre dengan eksistensialismenya menjembatani kekakuan paham Idealisme dan Materialisme. Eksistensialisme memandang manusia ada dengan dirinya sendiri. Manusia ada bukan karena berfikir atau pun tidak, tapi karena manusia ada sehingga aktivitas berfikir bisa dilakukan –kebalikan dari filsafat cogito Descartes.

Dasar dari eksistensialisme adalah kebebasan, meliputi apa itu kebebasan, bagaimana mendapatkannya, dan harusnya tidak ada yang menghalangi kebebasan manusia. Sehingga manusia harus ada dengan dirinya sendiri, bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri terlepas dari baik dan benar. Karena eksistensialis percaya bahwa kebenaran adalah relatif bagi masing-masing manusia sehingga ia bebas mengartikan kebenaran dan menjalankan kebenaran menurutnya sendiri. Karena pengetahuan berpusat pada manusia, maka setiap benda tidak memiliki arti tanpa adanya manusia. Karena manusia ada-lah, maka benda lainnya menjadi ‘ada’.

Periode kontemporer terkenal dengan kajiannya yang mengarah ke logosentrisme, yang menjadikan bahasa/teks/wacana sebagai kajian dan obyek terpentingnya. Hal ini dapat dilihat dari Positivisme Logis yang juga berkembang di periode ini. Persamaan Positivisme Klasik dengan Positivisme Logis adalah menjunjung tinggi pengamatan menggunakan metode sains untuk memperoleh pengetahuan. Perbedaannya, Positivisme Klasik menekankan pada struktur masyarakat dan sosiologisnya, sedangkan Positivisme Logis menekankan pada bahasa, yakni berupaya menjernihkan istilah-istilah yang digunakan penulis sehingga tidak menimbulkan kerancuan.

Neomarxisme juga berkembang pada periode ini. Kaum neomarxisme ingin membawa kembali ajaran-ajaran Marx dan Engels yang paling orisinil. Mereka tergabung dalam Madzhab Franfurt yang terkenal dengan pemikiran-pemikirannya yang kritis tentang kegagalan abad pencerahan. Kita akan mengenal tokoh-tokohnya seperti Horkheimer, Adorno, dan Habermas. Mereka lebih banyak mengkaji secara kritis mengenai pembangunan manusia dan masyarakatnya, dan secara khusus ingin menghidupkan kembali tradisi kritis. Mereka tidak setuju jika masyarakat hanya memuji keberhasilan pembangunan secara fisik akibat kapitalisasi, namun jiwanya mengalami kekosongan.

Meskipun seakan terpisah, namun sejatinya seluruh pemikiran filsafat ini berkembang karena ada gesekan yang tidak bisa diluruskan. Periode ini juga memunculkan aliran pemikiran Pragmatisme di Amerika Serikat dengan William James sebagai pelopornya. Pragmatisme mempercayai bahwa pengetahuan dan hal-hal yang benar adalah sesuatu yang bisa membuktikan kebenarannya dengan kebermanfaatannya secara praktis. Jadi segala sesuatu bisa diterima oleh aliran ini jika bisa bermanfaat secara kasat mata. Lebih ekstrem, bahwa kebenaran mistispun akan diterima asal membawa manfaat praktis terhadap manusia.

Lebih lanjut, aliran fenomologi juga lahir di periode ini. Fenomenologi berusaha mengembalikan peran subyek dalam pengamatannya terhadap sosial masyarakatnya, yang selama ini direduksi oleh positivisme. Filsafat fenomenologi ingin membangun konsep bahwa manusia membangun pengalamannya berdasarkan makna yang ada pada dirinya. Sehingga di sana ad interpretasi yang merupakan cara manusia untuk menilai suatu pengalaman yang disesuaikan dengan latar internal dan eksternalnya. Pentingnya interpretasi oleh manusia ini menjadi cikal bakal dari kelahiran aliran filsafat baru: hermeneutika yang sekarang digunakan sebagai analisis di berbagai bidang ilmu.

Hermeneutika berarti penafsiran, atau interpretasi. Aliran ini menjadi counter dari pemusatan ilmu pengetahuan dan aliran filsafat yang terjadi sejak masa Yunani. Jadi Hermenutik ini ingin melihat kembali teks-teks yang ada, memurnikan makna-makna yang konotatif darinya, dan mencari maknanya secara mandiri. Dalam memahami sebuah teks, kita harus memahami asal muasal katanya sehingga tidak terjebak dalam pemahaman umum. Bahkan, orang yang menulis, ditulis dengan tujuan apa, dan siapa yang membaca, harus diketahui untuk melihat makna teks secara obyektif.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.