Skip to main content

Tujuh Tradisi Ilmu Komunikasi


Sebagai ilmu yang lahir belakangan, mempelajari komunikasi sebagai sebuah ilmu membutuhkan pijakan yang kuat. Pijakan ini penting untuk memperjelas posisi ilmuwan ketika melakukan analisis komunikasi yang saat ini tengah pesat dipelajari. Karena peneliti pemula selalu dibingungkan dengan pertanyaan ‘letak komunikasinya dimana?’ ketika ia mengajukan obyek penelitian baru. Sehingga terjadi bias di beberapa keilmuan: sosiologi, psikologi, filsafat, antropologi, bahkan ilmu kesehatan dan kebudayaan.
 
Merumuskan hal-hal yang bisa digolongkan dalam keilmuan komunikasi sebenarnya agak mudah. Kita bisa melihatnya dari unsur-unsur yang terlibat dalam proses komunikasi : komunikator, pesan, media, komunikan, dan efek. Lima unsur itu sangat lekat hubungannya dengan model komunikasi Harold D Lasswell (1902-1978): who, ways what, in which channel, to whom, with what effect. Maksud Lasswell dengan membuat pertanyaan itu adalah untuk memudahkan orang mengetahui apa itu komunikasi.
Jika diperhatikan, Ilmu Komunikasi mencakup sebuah wilayah yang lebih luas dibandingkan psikologi, sastra, sosiologi, maupun politik. Karena dari semua yang saya sebutkan tersebut juga bisa dikaji menggunakan teori-teori komunikasi. Sebagai studi yang multidisiplin, Ilmu Komunikasi menjadi sulit untuk berdiri sendiri. Dibutuhkan waktu yang sangat lama hingga muncul teor-teori yang murni lahir dari ilmuwan komunikasi. Karena harus diakui, bapak ilmu komunikasi adalah ahli di bidang ilmu yang lain sebelum fokus meneliti persoalan komunikasi.
Di tengah pusaran keilmuan yang serba mengiris dan mempengaruhi, kita membutuhkan penjelasan yang mumpuni tentang keilmuan komunikasi. Tradisi-tradisi yang mempengaruhi ilmu komunikasi pada awalnya disusun oleh Profesor Komunikasi dari Universitas Colorado, Robert T Craig. Usulan untuk memahami komunikasi melalui tujuh tradisi ini mendapat banyak pujian, diantaranya adalah Profesor Emeritus Komunikasi dari Wheaton College, Illinois, EM. Griffin, dan Profesor Komunikasi University of New Mexico, Stephen W Littlejohn.
Pertama kali merumuskan ide itu, Craig mengurutkannya berdasarkan pada aktivitas komunikasi sehari-hari. Karena itu ia menempatkan tradisi retorika dibagian pertama, dan berurutan semiotika, fenomenologi,sibernetika, psikososial, sosiokultural, dan kritik. Sementara Griffin mengurutkan tujuh tradisi ini berdasarkan obyektivitas dan interpretatif tradisi. Jika diurutkan menurut obyktivitasnya, maka psikososial menempati urutan pertama, disusul sibernetika, retorika, semiotika, sosiokultural, kritik, dan terakhir tradisi fenomenologi.
Berbeda dengan dua ilmuwan itu, Littlejohn malah membuat daftar tujuh tradisi ini berdasarkan perbedaan dan persamaannya. Beberapa tradisi komunikasi ini bertentangan dengan yang lainnya, sementara yang lainnya saling melengkapi (Littlejohn, 2009). Urutan yang dissusun Littlejohn inilah yang akan kita bahas kali ini.
Tradisi pertama, Semiotik. Tradisi ini terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan, dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri. Kebanyakan pemikiran semiotik melibatkan ide dasar triad of meaning yang menegaskan bahwa arti muncul dari hubunan di antara tiga hal: benda yang dituju, manusia sebagai penafsir, dan tanda. Semiotik selalu dibagi dalam tiga wilayah kajian, semantik, sintaktik, dan pragmatik.
Semantik berbicara tentang bagaimana tanda-tanda berhubungan dengan yang ditunjuknya atau apa yang ditunjukkan oleh tanda-tanda. Sedangkan sintaktik merupakan kajian hubungan diantara tanda-tanda. Jadi tanda tidak pernah berdiri sediri, karena hampir semuanya selalu menjadi bagian dari sistem tanda atau kelompok tanda yang lebih besar yang diatur dalam cara-cara tertentu. Pragmatik memiliki pengaruh yang paling penting karena ia memperlihatkan bagaimana tanda-tanda membuat perbedaan dalam kehidupan manusia secara praktis. Tanda harus dipahami bukan hanya sebagai kata-kata tetapi juga pada struktur bahasa, masyarakat, dan budaya, agar komunikasi dapat dipahami.
Tradisi kedua, Fenomenologi. Semiotik cenderung memperhatikan tanda dan fungsinya, sedangkan fenomenologi lebih memperhatikan sosok penafsir sebagai komponen utama dalam proses penciptaan makna. Asumsinya adalah bahwa orang-orang secara aktif menginterpretasikan pengalaman-pengalamannya dan mencoba memahami dunia dengan pengalaman pribadinya. Pengalaman nyata digunakan sebagai data pokok dalam tradisi ini.
Stanley Deetz menyimpulkan tiga prinsip dasar fenomologis. Pertama, pengetahuan ditemukan secara langsung dalam pengalaman sadar. Kedua, makna benda terdiri atas kekuatan benda dalam kehidupan seseorang. Ketiga, bahwa bahasa merupakan kendaraan makna. Intinya, kita bisa mendapatkan makna dari setiap sesuatu sesuai dengan pengalaman masing-masing. Suatu benda bisa sangat bermakna karena memiliki kenangan tertentu. Dan seluruh pengalaman itu akan diungkapkan melalui bahasa –sebagai kendaraan, sebagai cara mengekspresikan dunia.
Tradisi ketiga, Sibernetika. Bagi kebanyakan ahli, tradisi fenomologis itu naif. Kehidupan ini dibentuk oleh kekuatan-kekuatan yang kompleks dan saling berhubungan. Karena itu pemahaman sesungguhnya datang dari analisis yang cermat terhadap sistem efek. Ide sistem inilah yang membentuk pemikiran sibernetika. Sibernetika merupakan tradisi sistem-sistem kompleks yang di dalamnya banyak orang saling berinteraksi, memengaruhi satu sama lainnya.
Sistem merupakan seperangkat komponen yang saling berinteraksi, yang bersama-sama membentuk sesuatu yang lebih dari sekadar sejumlah bagian-bagian. Dalam sibernetika, komunikasi dipahami sebagai sistem bagian-bagian atau variabel-variabel yang saling mempengaruhi, membentuk, serta mengontrol karakter keseluruhan sistem, dan layaknya organisme, menerima keseimbangan dan perubahan.
Tradisi keempat, Sosiopsikologis. Teori-teori dalam tradisi sibernetika berguna memahami sebuah hubungan, tetapi tidak efektif dalam memahami perbedaan-perbedaan individu di antara bagian-bagian sistem. Karena dalam pengambilan keputusan, seorang individu akan memproses pesan, bagaimana ia merencanakan strategi pesan, dan memikirkan bagaimana efeknya, sebelum ia mengungkapkannya dalam sistem.
Teori dalam tradisi ini berfokus pada perilaku sosial individu, variabel psikologis, efek individu, kepribadian dan sifat, persepsi, serta kognisi. Ada tiga kajian penting dalam tradisi ini, perilaku, kognitif, dan biologis. Perilaku berkonsentrasi pada bagaimana manusia berperilaku dalam situasi-situasi komunikasi. Sementara kognitif fokus pada bagaimana individu memperoleh, menyimpan, dan memproses informasi untuk menghasilkan output perilaku. Sedangkan kajian biologis percaya bahwa sifat, cara berfikir, dan perilaku individu diikat secara biologis sejak lahir, seperti efek fungsi dan struktur otak, neurochemistry, dan faktor genetik.
Tradisi kelima, Sosiokultural. Tradisi ini mengedepankan persamaan individu dalam interaksi sosial, dari pada mengedepankan masing-masing keindividuannya. Pendekatan sosiokultural terhadap teori komunikasi menunjukkan cara pemahaman kita terhadap makna, norma, peran, dan peraturan yang dijalankan secara interaktif dalam komunikasi. Teori tersebut mengeksplorasi dunia interaksi yang dihuni manusia, menjelaskan bahwa realitas bukanlah seperangkat susunan di luar kita, tetapi dibentuk melalui proses interaksi di dalam kelompok, komunitas, dan budaya.
Tradisi ini memiliki enam sudut pandang, interaksi simbolik, konstruksionisme, sosiolinguistik, filosofi bahasa, etnografi, dan etnometodologi. Interaksi simbolik menekankan pada struktur sosial dan makna diciptakan serta dipelihara dalam interaksi sosial (Herbert Blumer, George H Mead). Konstruktivisme sosial mempercayai bahwa alam tidaklah sepenting bahasa yang digunakan untuk memberi nama, membahas, dan mendekati dunia. Identitas benda dihasilkan dari bagaimana kita berbicara tentang obyek, bahasa yang digunakan untuk menangkap konsep kita, dan cara-cara kelompok sosial menyesuaikan diri pada pengalaman umum mereka (Peter Berger, Thomas Luckmann).
Sosiolinguistik adalah kajian sosial budaya yang mengatakan bahwa manusia menggunakan bahasa secara berbeda dalam kelompok budaya dan kelompok sosial yang berbeda. Sosiolinguistik erat kaitannya dengan filosofi bahasanya Wittgenstein, yang menyarankan bahwa makna bahasa bergantung pada penggunaan nyatanya. Bahasa merupakan permainan karena manusia mengikuti aturan-aturan dalam mengerjakan sesuatu melalui bahasa. Ketika berbicara, seseorang sebetulnya menampilkan tindakan: memerintah, bertanya, berjanji, atau kemungkinan lainnya.
 Sudut pandang lainnya adalah etnografi yang merupakan observasi tentang bagaimana kelompok sosial membangun makna melalui perilaku linguistik dan nonlinguisti. Etnografi melihat bentuk komunikasi yang digunakan kelompok sosial tertentu, kata-kata, dan apa maknanya bagi mereka. Sedangkan sudut pandang etnometodologi yang mengobservasi secara cermat akan perilaku-perilaku kecil dalam situasi-situasi nyata. Ia melihat bagaimana kita mengelola dan menghubungkan perilaku dalam interaksi sosial pada waktu tertentu (Harold Garfinkel).
Tradisi keenam, Kritik. Tradisi ini banyak mengikuti asumsi tradisi sosiokultural, tetapi pada dasarnya sangat berbeda dibandingkan dengan tradisi lainnya. Tradisi ini banyak dipengaruhi feminisme, kajian post-modernisme, post-kolonialisme, marxisme, the frankfurt school, kajian budaya, dan post-strukturalisme. Banyak keragaman teori dalam tradisi ini, namun kesemuanya memiliki tiga inti: pertama, tradisi kritik mencoba memahami sistem yang sudah dianggap benar, struktur kekuatan, dan keyakinan –ideologi-, yang mendominasi masyarakat dengan pandangan tertentu.
Kedua, para ahli tradisi kritik pada umumnya tertarik membuka kondisi sosial yang menindas dan rangkaian kekuatan untuk mempromosikan emansipasi atau masyarakat yang lebih bebas dan lebih berkecukupan. Ketiga, tradisi ini ingin menciptakan kesadaran untuk menggabungkan teori dan tindakan. Tradisi ini juga tidak hanya tertarik pada tindakan sosial, tetapi juga fokus pada wacana dan teks-teks yang mempromosikan ideologi tertentu, membentuk dan mempertahankan kekuatan, meruntuhkan minat kelompok atau kelas tertentu.
Tradisi ketujuh, Retorika. Seluruh penyebaran ide menggunakan bahasa yang efektif agar dapat dipahami masyarakat umum. Jika ingin mengkomunikasikan ide-ide itu secara efektif maka kita harus mempelajari teknik rerotika. Meksipun zaman ini, retorika mengalami penyempitan makna menjadi: kata-kata kosong. Awalnya, retorika ini dihubungkan dengan teknik persuasi, yang kemudian dapat diperluas sebagai segala cara manusia dalam menggunakan simbol untuk mempengaruhi lingkungan sekitarnya dan untuk membangun dunia tempat tinggal mereka.
Referensi :
Littlejohn, Stephen W dan Karen A Foss. 2009. Teori Komunikasi. Salemba Humanika: Jakarta.
Craig, Robert T. 1999. Communication Theory as a Field. Artikel. International Communications Association.
Griffin, EM. 2009. A First Look at Communication Theory. McGraw-Hill Humanities.
Utari, Prahastiwi. 2011. Perspektif Tujuh Tradisi dalam Teori Komunikasi. Jurnal Komunikasi Massa. Vol 4 No 2 Page 1-13.
Liliweri, Alo. 2012. Telaah Tujuh Tradisi Perspektif Teori Komunikasi. Jurnal Communio Vol 1 No 1 Page 1-34.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.