Skip to main content

Sejarah Ilmu Komunikasi



Perkembangan ilmu komunikasi demikian pesatnya sehingga seakan-akan, kita sudah hidup di dalamnya. Pada awalnya ilmu komunikasi merupakan pengetahuan yang lahir dari pernyataan untuk publik. Pengetahuan ini belum menjadi sebuah ilmu karena belum memenuhi persyarataan ilmiah, misalnya empiris, verifikatif, general, dan explanatory. Namun sejalan dengan perkembangan zaman, kajian-kajian akan pernyataan manusia ini terus dikaji sehingga membawanya pada riset komunikasi.

Ilmu komunikasi juga berawal dari beberapa kajian keilmuan yang lebih tua, seperti Sosiologi dan Psikologi. Faktanya, dua keilmuan itulah yang memberikan sumbangan terbesar untuk perkembangan dunia komunikasi. Bahkan ilmu matematika juga pernah menyumbangkan konsep dasar dalam teori komunikasi pada perkembangan awalnya (the mathematical theory of communication). Bisa jadi, nantinya setiap bagian dari ilmu komunikasi (interpersonal, massa, kelompok) juga menjadi keilmuan tersendiri saat komunikasi manusia semakin kompleks dan detail.

Dengan mengetahui sejarah ilmu komunikasi, kita dapat mengembangkan kemampuan berkomunikasi secara bertahap. Sehingga efektivitas komunikasi antar manusia dapat dilakukan dengan lebih baik lagi. Ibaratnya, orang yang mengetahui asal muasal kemanusiaannya akan dapat memanusiakan manusia lainnya. Begitu pun orang yang mengetahui sejarah agama di dunia, maka mereka akan memahami perilaku beragama yang berbeda di setiap kelompok manusia.

Apalagi kita hidup di Indonesia yang mengalami lompatan budaya (jumping culture) yang membuat kita gagap terhadap perkembangan zaman. Karena itu, kita membutuhkan pemahaman dan skill berkomunikasi yang lebih dalam dibandingkan orang barat pada umumnya. Ketidakdewasaan berkomunikasi dapat menyebabkan kesalahpahaman yang fatal, melahirkan rentetan berita hoax, yang pada akhirnya membawa perpecahan bagi suku bangsa dan agama yang menjadi fondasi utama Indonesia.

Secara tidak langsung, hal ini menjadi tanggung jawab orang-orang yang bergiat di keilmuan komunikasi. Sebagai akademisi, kajian-kajian seperti ini penting dilakukan untuk mengikuti perkembangan ilmu komunikasi secara khsuus, dan budaya komunikasi pada umumnya. Karena saat ini, di belahan dunia lain ilmu komunikasi sedang berkembang pesat, tidak hanya membahas transmisi pesan, tapi mulai menganalisis tanda-tanda arbiter yang membangun sebuah pengertian kompleks yang tak berhubungan sama sekali dengan tanda-tanda itu, bahkan bertolak belakang (simulakra). 

Perlu digaris bawahi, pembahasan ilmu komunikasi dan komunikasi manusia adalah sesuatu yang berbeda secara prinsip. Komunikasi manusia berkembang terlebih dahulu seiring dengan perkembangan sejarah manusia itu sendiri. Mulai dari masa pra sejarah –yang masih dibagi-bagi menjadi beberapa periodeisasi, masa pengenalan tulisan, perkembangan teknologi, hingga dunia cyber di masa sekarang. Sementara ilmu komunikasi berkembang lebih anyar dengan fokus pada studi-studi khusus –yang secara umum dapat diikuti sejak tradisi retorika berkembang di Yunani dan Romawi. 

Retorika

Sejarah ilmu komunikasi bisa dilacak dari tradisi retorika yang merujuk kepada beberapa nama yang hidup pada masa Yunani dan Romawi –sekitar 500 tahun sebelum masehi. Ilmuwan yang pertama-tama mengkaji sejarah tentang pernyataan manusia ini adalah Georgias (480-370). Georgias inilah yang disebut sebagai bapak retorika. Tradisi ini bermula dari pengembaraan orang-orang bijak (sofis) yang menyebarkan imu dari satu tempat ke tempat lain. Karena itu mereka membutuhkan struktur pembicaraan yang tepat sehingga tujuan pembicaraan itu dapat tercapai.

Selain Georgias, ilmuwan pertama yang membahas tradisi ini adalah Protagoras (500-432) dan Socrates (469-399). Kemudian diperiode berikutnya, muncul nama Isocrates dan Plato (427-347). Puncak dari keilmuan retorika ini ada pada zaman Demosthenes (384-322) dan Aristoteles (384-322), yang tulisan-tulisan keduanya masih bisa didapatkan di beberapa perpustakaan tua di Eropa. Nama-nama itu adalah ilmuwan Yunani yang sudah diakui dunia barat awal mula kemunculan sebuah ilmu.
‘retorika adalah seni persuasi, suatu uraian yang harus singkat, jelas, dan meyakinkan, dengan keindahan bahasa yang disusun untuk hal-hal yang bersifat memperbaiki, memerintah, mendorong, dan mempertahankan’ – Aristoteles.

Perlahan, tradisi retorika ini kemudian merangkak ke Romawi. Ilmuwan Romawi yang pertama-tama dikenal jago beretorika adalah Marcus Tulius Cicero (106-43). Catatan-catatan megenai retorika ini terkumpul dalam bukunya berjudul ‘de oratore’. Cicero adalah orator masyhur yang menciptakan retorika menjadi ilmu. Ia merincikan apa yang harus dan apa yang tidka boleh diucapkan dalam retorika.

Ilmu retorika tidak akan hilang selama manusia berusaha membujuk dan atau menolak ajakan orang lain dengan penguasaan bahasa dan logika yang tepat. Sampai sekarang, ilmu retorika masih digunakan oleh, misalnya : pengacara yang membela cliennya di hadapan majlis hakim, atau seorang orator dalam demo-demo buruh. Mereka harus menerapkan teori retorika agar ucapan-ucapannya didengar dan membuat orang lain tergerak.

Publisistik

Setelah lama manusia berkomunikasi secara lisan, barulah komunikasi bermedia muncul. Bisa dikatakan munculnya media komunikasi cetak dimulai sejak Johanes Guttenberg menemukan mesin cetak untuk pertama kalinya di tahun 1440 di Jerman. Awalnya percetakan ini hanya untuk memperbanyak Alkitab. Baru di tahun 1609 muncul surat kabar untuk pertama kalinya di Jerman, di susul Inggris, dan negara-negara Eropa lainnya.

Surat kabar pada masa ini masih berupa catatan-catatan peristiwa yang ditulis oleh reporter tanpa kaidah jurnalistik yang ketat. Sering kali media digunakan orang yang memiliki kuasa untuk menyebarkan opini yang tidak mendasar. Dari perkembangan surat kabar inilah, muncul kajian-kajian oleh cendekiawan terkait Ilmu Persuratkabaran (Zaitungwissenschaft). Mulailah para cendekiawan merumuskan berbagai macam teori tentang pers itu.

Hingga kemudian, Prof.Dr. Karl Bucher (1847 – 1930), ekonom asal Jerman, yang pertama kalinya membawa the science of the press ini ke dalam universitas. Ia mengajar sejarah pers, organisasi pers, dan statistik pers di Universitas Bazel di Swiss pada tahun 1884. Lalu pada tahun 1892, ia mengajar Ilmu Persuratkabaran dengan lebih luas lagi Universitas Leibzig. Kehadiran Ilmu Persuratkabaran ini menarik minta berbagai kalangan. Hingga Kongres Sosiologi pada tahun 1910, sosiolog sekaliber Max Weber ingin memasukkan Sosiologi Pers dimasukkan dalam wilayah kajian Ilmu Sosiologi.

Studi tentang pers ini terus berkembang dengan munculnya radio dan televisi. Di berbagai belahan dunia terus dibicarakan mengenai ilmu tentang retorika dan pernyataan pedapat umum melalui media cetak. Dengan munculnya media radio dan televisi, Ilmu Persuratkabaran mulai dianggap tidak mampu menampung gejala sosial yang disebabkan oleh surat kabar itu sendiri. Mulailah orang ramai menamakan keilmuan yang baru demi mengakomodir berbagai fenomena sosial yang disebabkan oleh media. 

Adalah Prof. Dr. Walter Hagemann, guru besaar publisistik di Munster, memberikan nama Ilmu Publisistik (publizistic) untuk menggantikan Ilmu Persuratkabaran (Zaitungwissenschaft). Sehingga obyek kajian ilmu ini tidak hanya media massa ceta, melainkan pula radio, televisi, retorika, dan pernyataan atau pendapat yang disebarkan untuk umum. Lama kelamaan, obyek kajian ilmu ini semakin berkembang hingga mengarah ke pernyataan yang tidak aktual antar manusia, dan ada pula pernyataan yang tidak peruntukkan untuk umum.

Ilmu juga harus menjawab akibat-akibat yang disebabkan oleh media massa. Sehingga obyek kajiannya semakin luas namun namanya sudah tidak pas digunakan. Akhirnya muncullah nama baru untuk ilmu ini, yakni Komunikasi Massa.

Ilmu Komunikasi

Ada sejarah yang terputus di beberapa referensi mengenai penamaan ilmu komunikasi. Karena penamaan ini merujuk pada keilmuan publisistik yang berkembang di Amerika Serikat dari pada di Eropa. Effendy (2003) misalnya hanya menyebut: Retorika berlari ke Jerman bernama publiziztik, sementara satu sisi menyebar ke Amerika Serikat bernama jurnalistik. Jadi baik ilmu komunikasi yang berkembang di Eropa atau di AS, sama-sama berawal dari kajian media massa.

Ilmu komunikasi awal berkembang di Amerika sejak kemunculan istilah jurnalistik –sebagai serapan kata diurnal pada masa Romawi, pada tahun 1700-an. Tetapi jurnalistik yang berkembang bukanlah sebuah ilmu, melainkan sebuah praktik. Salah satu tokoh jurnalistik pertama-tama adalah Joseph Pulitzer yang pada tahun 1903 menyisihkan kekayaannya untuk membangun School of Journalism. Ide Pulitzer ini diapresiasi oleh Rektor Columbia University, Nicholas Murray Butler, dan Rektor Harvard University, Charles Eliot, dengan membuat departemen publisistik di kedua universitas terkemuka itu.

Proses menuju penamaan Imu Komunikasi masih panjang dan berbelit. Karena di Amerika sendiri, pada awalnya ada pembedaan antara Speech Communication yang bersumber dari tradisi retorika, dan Ilmu Komunikasi Massa yang bersumber dari jurnalistik. Mereka berdiri sendiri dengan membentuk departemen masing-masing di beberapa universitas. Beberapa tahun kemudian barulah dua departemen ini menyatu karena tidak bisa memisah-misahkan obyek kajian, sebab keduanya mengkaji pernyataan antar manusia.

Speech Communication mengkaji pernyataan antar manusia secara langsung, sedangkan jurnalistik mengkaji pernyataan antar manusia melalui media massa. Mulai dari sinilah, research yang mengarah pada perilaku yang disebabkan oleh komunikasi mulai berkembang luas. Dimensi-dimensi komunikasi mulai terbentuk sehingga muncul studi dan riset tentang Komunikasi Intrapersonal, Komunikasi Interpersonal, Komunikasi Kelompok, Komunikasi Organisai, Komunikasi Lintas Budaya, Komunikasi Politik, Komunikasi Pemasaran, hingga Komunikasi Massa. Keseluruhan bentuk ini, pada akhirnya membentuk keilmuan komunikasi.

Ilmu Komunikasi di Indonesia

Ilmu Komunikasi relatif baru di peradaban Indonesia, tepatnya pada tahun 1982 melalui ilmuwan-ilmuwan yang telah menimba ilmu di Eropa maupun Amerika. Kita harus berterimakasih pada Drs. Marbangun, Sundoro, Prof. Sujono Hadinoto, Adinegoro, dan Prof. Dr. Mustopo, lalu muncul lagi dua nama besar : Dr. Phil. Astrid S. Susanto dan Dr. M. Alwi Dahlan. Mereka ini yang berjasa memasukkan studi publisistik ke dalam kampus-kampus besar di Indonesia, seperti UI Jakarta, Unpad Bandung, UGM Yogyakarta, hingga Unhas Makassar.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.