Skip to main content

Takmir



Bulan Ramadan tidak hanya membawa cerita tauladan dari para pemuka agama, tetapi juga tingkah menggelikan dari orang yang katanya ahli masjid. Kisah-kisah mengenai takmir masjid ini, sudah saya alami sejak kecil di kampung. Tidak ada yang berubah, mereka sama-sama memiliki keyakinan bahwa kunci surga berada di tangannya. Sehingga ia bertingkah, seolah-olah, kebaikan adalah dirinya, sehingga siapapun yang datang harus cium tangan.

Penjelasan di atas memang terlalu abstrak. Mari kutunjukkan bagaimana tingkah ketidakdewasaan manusia yang berprofesi sebagai takmir masjid ini. Dahulu kala, ketika usiaku masih menginjak sekolah dasar, ada tradisi setiap Hari Jumat seluruh penduduk kerja bakti kampung. Salah satunya adalah kerja bakti mengepel masjid yang luasnya alhamdulillah. Sebagai anak kecil, saya senang sekali bisa mengepel masjid yang maha luas, berkeramik, dan bisa menjadi ajang selancar.

Namun belakangan, kebahagiaan kami terusik karena anak kecil sudah tidak boleh lagi bermain selancar (ikut mengepel) di masjid. Alasan si takmir masjid yang dulu kupanggil Mbah To ini, karena anak kecil bisa saja kencing sembari berselancar. Sehingga akan menjadi najislah seluruh masjid, dan menjadi tidak sah salat setiap jemaah di sana. Aku dan kawan-kawan dituding sebagai penyebab tidak masuk surganya orang yang ke masjid.

Kedua, cerita menjengkelkannya takmir masjid kampus Universitas Trunojoyo Madura di mana saya kuliah tahun 2008. Tiga orang takmir pada waktu itu, adalah ngengat yang bekerja di masjid demi gengsi keislaman. Sebagai anak kampung yang akhirnya bisa kuliah, tempat pertama yang kutuju adalah masjid. Masjid paling aman tentu saja masjid kampus, yang aku tidak perlu jauh-jauh berjalan untuk kuliah. Pendeknya, dengan kesantunan pura-pura aku diusir dari rumah tuhan itu.

Cerita berikutnya, adalah kisah-kisah yang sangat dekat dengan para pelancong. Bagi kita yang sering bepergian dan membuat masjid sebagai jujugan, tentu pernah mengalami betapa menggelikannya takmir masjid ini. Banyak takmir yang gusar ketika melihat kedatangan kita yang hendak mandi dan berak di sana. Ketika saya tidur di suatu masjid pun, tiba-tiba si takmir datang membawa pancuran air dan pura-pura hendak mengepel masjid agar tidak dipakai tidur. Hal ini terjadi di masjid desa, masjid kampus, juga masjid terminal dan stasiun.

Di bulan Ramadan lebih mengerikan lagi.  Para takmir yang diberi tanggung jawab membagikan takjil dan makan kepada jemaah ini berlaku seolah-olah dialah pemilik makanan itu. Di masjid kampus misalnya, ketika adzan magrib didendangkan, berduyun-duyunlah kelompok manusia yang jarang ke masjid; anak kesenian, pecinta alam, band, sampai anak-anak berandalan. Sang takmir dengan memicingkan mata, melihat setiap gerak-gerik perebutan takjil dengan kemuakan yang mengerikan.

Ia merasa makanan itu miliknya, makanan itu tidak pantas buat para pendatang dekil itu. Mungkin, di dalam hatinya, orang-orang yang harus makan takjil itu adalah jemaah yang biasanya ke masjid, atau minimal orang-orang tau diri yang menyalami dirinya dan bilang permisi. Aduh, tuhan, takmir macam apa yang selama ini berada di masjid dengan sorot mata penuh api itu. Sungguh, ia tidak sadar dengan semua pikiran dan kata hatinya sendiri.

Memasjid

Seorang takmir yang setiap hari membersihkan masjid, biasanya merasa memiliki masjid. Masjid ini, paling tidak, dianggap sebagai rumahnya sendiri. Hal itu tentu bagus sekali. Hal yang harus dilakukan hanyalah bagaimana caranya ia wellcome kepada setiap orang yang datang. Masjid adalah rumah tuhan, dan biarkan tuhan yang menjaganya secara mendalam. Sebagai takmir, harusnya berupaya membuat kerasan masyarakat, bukan hanya jemaah masjid, tetapi masyarakat secara umum.

Seperti diketahui, orang-orang yang malas selalu lebih banyak dari pada orang yang rajin. Sebagaimana ibadah, selalu lebih banyak orang yang hanya beragama melalui kartu tanda penduduknya. Dalam kehidupan sehari-hari, Salat dan semacamnya hanyalah produk yang diyakini, bukan dijalani. Bahkan, beberapa orang yang jauh dari sarung dan kopyah, malu untuk pergi ke masjid karena sepertinya semua orang memandang ke arahnya.

Jika kita hidup di desa yang mayoritas penduduknya menganut ormas Nahdlatul Ulama, mungkin fenomena itu terasa janggal. Persis seperti seorang santri yang tidak mau diberi ‘ijazah’ kiyainya agar terjauh dari perbuatan zina. Ketika ia pergi ke Surabaya atau Jakarta, perzinaan sudah di batang kelamin. Karena itu, membuka masjid kepada setiap orang, apapun kebajikan dan kebajingannya, adalah jalan yang lebih lurus. Jika masjid sudah menjadi tempat yang nyaman bagi kebanyakan orang, salat jemaah adalah satu hal yang pasti.

Karena tak satupun orang kerasan tidur-tiduran di masjid sementara adzan berkumandang dan jemaah sedang berjalan.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.