Skip to main content

First Turonggo, Fiat 124 Special



Seluruh pengalaman harus kita dapatkan. Itu adalah prinsip yang bagus untuk memahami hidup yang begitu panjang kita alami ini. Karena kebanyakan kita, tidak punya cukup kesempatan untuk mencoba, dan jikapun punya kesempatan, tidak punya cukup keberanian untuk melakukannya. Terlalu banyak pertimbangan, dalam beberapa hal, sangat tidak disarankan.

Paling tidak itulah yang mendasari pilihanku untuk menerima tawaran membeli sebuah mobil. Pilihan ini memang tidak sempurna, melihat kemampuan keuanganku juga masih pas-pasan. Namun berpengalaman memiliki mobil sangat menggodaku. Bagaimana membawanya, merawatnya, menyervicenya, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan mobil, aku ingin tahu.

Dan mobil yang aku beli ini, tampaknya sempurna. Aku tidak pernah sebangga ini melihat sosok mobil imut, keren, gagah, klasik, memukau, dan menderu dengan bangga di jalanan. Dan mungkin perlu diketahui, saat aku membeli Fiat 124 Spesial ini, tidak ada pertimbangan yang berarti. Karena seluruh kebutuhanku masihlah berkeliling menggunakan sepeda motor. Sehingga membeli mobil adalah pilihan tersier yang bisa saja membuatku terseok-seok merawatnya.

Aku tidak pernah faham sebuah mobil. Sama persis dengan waktu SMA, ketika teman-teman sudah bisa membedakan nomor 0856xxx berarti IM3 Indosat dan nomor 0813xxx adalah Simpati Telkomsel, namun aku tidak faham sama sekali. Persis juga ketika orang-orang membicarakan betapa iritnya sepeda motor Honda dibandingkan dengan Yamaha, dan betapa sulitnya merawat sepeda motor Suzuki karena harus memakai oli samping, tapi aku tak tahu sama sekali.

Jika nomor hape pertamaku adalah Indosat, HP pertamaku adalah Nexian, sepeda motor pertamaku adalah Honda Beat, maka mobil pertamaku adalah Fiat 124 Spesial Tahun 1974 ini. Namun satu-satunya kebanggaan di masa kepemilikan ini adalah yang terakhir. Karena ia adalah sebuah turonggo, dalam bahasa normal adalah kuda untuk kendaraan, namun dalam filsafat jawa, turonggo bukan hanya sekedar kuda atau kendaraan.

Turonggo malah diibaratkan sebagai salah satu prasyarat pria jawa mendapat keistimewaannya. Karena ada lima hal yang harus dimiliki oleh lelaki jawa, yaitu wismo, wanito, turonggo, kukilo, dan curigo. Wismo berarti rumah, wanito berarti istri, turonggo berarti kuda, kukilo berarti burung, dan curigo berarti keris. Turonggo di sini, bisa jadi adalah tunggangan yang membanggakan. Karena di masa lalu mendapat kuda begitu susahnya, sehingga saat ini bisa diartikan dengan kendaraan yang mahal harganya.

Namun bagi saya, harga bukan soal untuk menentukan betapa istimewanya barang kita. Lebih dari itu, keistimewaan lain harus bisa kita banggakan, selain harga. Misalnya, Fiat 124 ini keluaran tahun 1974 yang merupakan raja di jalanan waktu itu. Dengan kendaraan buatan Italia, tentunya akan sangat berbeda dengan tunggangan laiin yang berasal dari Jepang. Belum lagi bodinya yang berbeda dengan kendaraan lain di zaman sekarang sehingga semua mata akan memandangnya bila di jalanan.

Ketika kendaraan ini saya bawa di kampung, anak-anak kecil banyak berteriak bahwa Mr Bean sedang lewat. Padahal yang dikendarai Mr Bean adalah mini cooper yang tentunya berbeda dengan Fiat yang saya naiki. Ada pula komentar, ternyata kendaraan yang ada di film Marsha and The Bear ada di dunia nyata. Hal-hal seperti ini membuat saya bangga dengan turonggo yang pertama kalinya kumiliki ini.

Sebagai orang yang nggak faham sama sekali soal mobil, memiliki Fiat adalah keberuntungan. Dari pada memiliki mobil yang sudah banyak di jalanan, lebih baik menggunakan kendaraan yang sangat berbeda sehingga tahu sensasinya. Mungkin sensasinya sama dengan memiliki mobil di saat semua orang pakai sepeda sepeda motor. Jadi saat sekarang di jalanan banyak mobil lalu lalang, tak musim jika kendaraan pertama kita adalah semacam avanza, innova, atau jazz sekalipun.

Sekarang, setiap kali aku memandang Fiat ini terparkir di manapun, terlihat sekali bagaimana antiknya. Selalu saja aku ingin memfotonya, menguploadnya di instagram dan facebook.  Tetapi suatu saat, Fiat ini tak selalu harus kumiliki. Memiliki kendaraan yang sesuai dengan kebutuhan adalah pikiran orang dewasa. Karena Fiat ini hanya memenuhi hasrat sesaatku saja, karena suatu saat ia harus jadi modal kerja dalam bentuk uang. Ya, suatu hari akan kugadaikan.

Paling tidak, aku sudah pernah merasakan memiliki dan merawat mobil. Merasakan dingin saat terik Surabaya membakar kepala orang-orang, merasakan hangat saat hujan mengguyur pengendara sepeda motor. Jadi, semua ini adalah karunia dari Tuhan yang tak bisa kutaksir harganya. Terimakasih, Tuhan, karena setiap pengalaman yang Kau berikan membuatku semakin bahagia.

Comments

  1. Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban...

    ReplyDelete
  2. wah bangganya bisa punya mobil antik, cantik selaligus menarik

    ReplyDelete
  3. Zaki Pinontoan, wahaha...alhamdulillah ustad, mohon bimbingannya...

    ReplyDelete
  4. Ismail, aduh...haha, mampir bro ke jawa. Bisa halan-halan tanpa terhalang biaya,

    ReplyDelete
  5. belum pernah coba ,,,�� coba dong

    ReplyDelete
  6. Kyk tau wero backgroundne tp ќôǤ gk diampiri aku...

    ReplyDelete

Post a Comment

semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.