Skip to main content

Mengakhiri Kegelisahan


Beberapa kali aku temui pengamalan-pengalaman yang membentukku lebih baik. Pada perjalanan itu, aku merasa bahagia, merasa bangga, merasa beruntung, merasa tersayat, merasa sedih berkepanjangan, dan sebagainya. Namun banyak hal yang kita tidak tahu. Seringnya kita lebih merasa tertekan dan menjadi bulan-bulanan orang lain. Apakah semua ini normal? Ya tentu saja.

Pada perjalananku yang ke sekian ini, aku menjadi wartawan untuk yang kedua kali. Masa pertama adalah adalah menjadi wartawan cetak di Papua, dan sekarangmenjadi wartawan online di Malang. Keduanya adalah soal jurnalis yang secara ideologis tidak pernah aku pikirkan. Tetapi keduanya memiliki tekanan tersendiri yang membuatku harus belajar. Sungguh belajar.

Ketika masih menjadi wartawan Cenderawasih Pos, rasa-rasanya banyak beban yang mesti kutanggung. Menjadi wartawan media besar yang satu-satunya dipercaya oleh masyarakat membuat seluruh mata tertuju pada kita. Kesalahan sedikit saja akan membuat kita dicemooh, dicaci, dan disomasi. Dan sayangnya aku pernah melakukan kesalahan besar hingga kekerasan psikis terjadi terang-terangan, meskipun gagal berlanjut ke fisik.

Tetapi bukanlah sebab-sebab seperti itu aku keluar dari Cenderawasih Pos. Aku selalu menempatkan sesuatu yang lebih keren sebagai tujuan sebelum meninggalkan masa lalu. Sehingga tidak mungkin gara-gara hal itu aku memutuskan keluar. Lebih dari segalanya, mimpi masa lalu memanggil. Aku harus keliling Asean, dan lagi, aku harus mengejar pendidikan masterku. Ini adalah sesuatu yang keren.

Setelah menjalani segala hidup yang sesuai dengan keinginanku, akhirnya aku secara tidak sengaja menjadi wartawan versi dua. Aku bertemu teman dari temanku, yang mengajakku bergabung dalam media online yang wilayahnya adalah Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu). Media ini bernama malangvoice.com yang berisi orang-orang hebat kedua setelah komunitasku dulu : Arbimapala.

Tekanan berikutnya sebagai seorang karyawan-jurnalis membabatku. Aku kelimpungan dengan tanggung jawab dari kantor, yang pada saat sama aku ingin benar-benar fokus pada studi masterku. Aku tidak bisa memilih, dan aku masih yakin bahwa keduanya dapat kulakukan meski dengan target standart. Sampai tiga bulan ini, semuanya berjalan mengambang. Kuliah jarang fokus, dan berita keteteran.

Empat orang wartawan Malang Voice memang luar biasa. Dengan target 12 berita, mereka mampu memenuhinya dengan kualitas yang tidak meragukan. Rasa-rasanya saya sulit mendapatkan partner yang berkeinginan mencari berita seserius mereka, lalu menulis dengan cepat sesuper mereka ini. Karena itu, aku sungguh-sungguh belajar. Dan aku pada akhirnya merasa beruntung karena masuk dalam lingkungan mereka, bukan pada media lokal lain yang mengerikan.

Sampai suatu hari aku harus berdialog dengan Pimpinan Redaksi  karena suatu alasan penting. Ia tidak berharap aku menjadi “virus” dalam perusahaan yang dicintainya itu. Kesempatan bahwa aku diperbolehkan kuliah dengan syarat tetap menulis berita begitu sulit kujalankan. Itulah yang membuatku lumpuh. Target berita di hari Sabtu dan Minggu jarang kupenuhi sehingga atasan menjadi gerah.

Terlebih mengejutkan, setiap Sabtu-Minggu aku kuliah, wartawan lain menjadi “malas” kirim berita. Begitulah pimpinan redaksi menganalisis. Aku seakan menjadi virus yang mempengaruhi pikiran wartawan lain untuk tidak menulis berita. Jika kantor memberikanku kelonggaran, kenapa wartawan lain tidak? Mungkin seperti itu, namun hati orang siapa yang tahu.

Demikianlah pikiran demi pikiran menggangguku. Saat aku berusaha memenuhi target berita selagi aku kuliah, kesalahan data membuatku dimarahi pimpinan redaksi. Tentu saja hal ini tidak bisa ditolelir. Aku marah pada diriku sendiri, aku marah kepada apapun yang tidak bisa kulakukan. Kemungkinan inilah batasku, meski aku masih bisa terus mencoba. Tapi apakah percobaanku penting bila mengorbankan banyak orang?

Pada suatu Sabtu dan Minggu, aku memesan segelas besar Es Kopi di dekat kampus usai kuliah. Aku memandang segala sesuatu lebih bijaksana. Mengapa harus aku pertahankan sesuatu yang membuatku bimbang. Mengapa harus selalu menjadi mimpi buruk sesuatu yang bisa aku lepaskan. Keputusan kudu diambil demi menjalani mimpi kita sendiri. Biarkan masa lalu kita membesarkan orang lain supaya tidak mengerdilkan diri sendiri.

Karena seringnya kita hidup berada dalam mimpi orang lain, dan orang lain hidup dengan mimpi kita. Aku sudah mengambil keputusan untuk memusnahkan kegelisahanku ini. Keluar dari malangvoice tidak terelakkan lagi, menunggu minggu depan; rasanya antara tidak sabar dan penuh kekhawatiran, rasanya seperti makan soto ayam pedas dengan teh panas. Membuat kepala cedut-cedut, tapi selepas itu lega.

Comments

  1. Apik e rek. Aku tak absen disek.

    Mampir o pisan nang www.malangartchannel.com

    ReplyDelete

Post a Comment

semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.