Skip to main content

Memutuskan dengan Keyakinan


foto taken on 6 Desember 2014
Aku merasa telah menyelesaikan pencarianku terhadap seorang wanita. Dia datang sendiri dengan pesona seorang perempuan atraktif, humble, dan tentu saja menarik. Jauh berbeda dari perempuan yang ada dalam keningku; pemikir, filosofis, dengan senyuman misterius. Mengenalnya, aku sering kali harus menjadi seorang pemuda genit, sekaligus menjadi pria dewasa untuk menghentikan tingkah kekanak-kanakannya.

Sementara perjalananku terasa masih panjang, harus terenggut dengan rencana-rencana masa depan bersamanya. Menyenangkan membayangkan hal-hal seperti itu. Namun seringkali sebelum tidur, aku meraba-raba ketika suatu saat harus pulang ke kotanya. Akankah aku bisa menjadi besar dengan cara seperti ini? karena kita sering lebih bebas dengan orang asing yang tidak mengetahui sejarah kita, lalu membuat sejarah baru bersama-sama –dari pada kembali pada kota yang mengingatkan akan segalanya, bersama orang-orang dari masa lalu lagi.

Ya, di kota yang ditinggalinya itu, aku akan membagi waktu lagi dengan masa laluku. Orang-orang yang kusayangi, orang-orang yang kubenci, akan hidup lagi. Perjalanan itu, suatu hari nanti, kubayangkan seperti menyeberangii lorong waktu. Kadang menakutkanku sebagai seorang lelaki yang menyukai kebebasan, tetapi kadang menantangku, tapi kadang membuatku menjadi lebih pesimis dari biasanya.

Jika ada orang yang galau seperti ini, aku lebih sering menyarankannya untuk memutuskan hubungan. Aku bisa kejam karena aku ingin menjamin setiap orang yang bertanya padaku, bisa mencapai tujuannya dengan lebih baik dan akhirnya adalah kebahagiaan. Karena ketika orang tidak berani memilih jalan bahagia mulai dari awal, sangat jarang ia akan bisa bahagia di akhirnya. Ia akan lebih terbiasa untuk memutuskan sesuatu yang tidak membahagiakan.

Tetapi memutuskan hal ini bisa sangat menyakitkan. Aku pernah sekali memutuskan hubungan dengan seseorang yang tidak punya salah padaku, yang tujuannya baik, dan tentu saja cinta mati denganku; lalu aku seperti lelaki biadab dengan begitu saja mengucapkan ‘sebaiknya kita selesaikan’. Hal itu lebih baik, karena aku belum pernah menemuinya sekalipun. Jadi aku pasti dikutuknya, tapi aku lebih takut bila kebahagiaan tidak bisa diraih oleh dua orang yang sedang dalam masa paling meragukan waktu itu.

Lalu gerimis seperti menderas dari mataku sendiri. Mempertaruhkan keyakinan, masa depan, aku tidak muda lagi. Jika ini terjadi beberapa tahun lalu, jelas kutulis penolakan dengan yakin. Tapi saat ini, semuanya menjadi abu-abu. Aku seakan-akan menemukan jalanku, menemukan tempat di mana anak-anakku akan tumbuh dewasa. Lalu seperti masa muda yang terenggut, ada tempat baru yang wajib aku jelajahi.

Hal yang paling menakutkan adalah beradabtasi dengan lingkungan baru, tapi orang-orangnya adalah manusia lama yang telah mendapatkan posisinya di masyarakat. Kenyataannya, aku akan menjadi pemula di tengah teman-temanku yang mulai mapan, mulai menggenggam tujuan, dan aku meringkih dari awal lagi. Bukankah ini sesuatu yang menyakitkan? Terutama karena dulu aku dikenal sebagai sosok tangguh yang tidak mudah menyerah, dengan optimisme kesuksesan berlebihan.

Mungkin jika kuutarakan kepada perempuan itu, dia akan dengan tegas menjawab; masa demi aku, kamu gak bisa sukses di sini? Itu pertanyaan klise, pertanyaan yang menjebak kaum adam untuk menjadi tumbal percintaan. Betapa berat beban yang harus ditanggung oleh seorang lelaki yang tidak becus menafkahi keluarganya. Perempuan tidak pernah salah dalam hal ini. Dan jika kemudian merelakan aku pergi demi cita-citaku sendiri, lalu apakah jaminan kebahagiaan telah begitu erat terpaut padaku? Rasa-rasanya tidak, dan dia dengan tempat dari masa lalu itu, pantas untuk ditakhlukkan.

Jadi, kebahagiaan haruslah diusahakan bukan? Lagipula, sebagaimana yang telah aku ketahui dari perjalananku selama ini, bahwa hal yang paling menyakitkan adalah ketika kita bahagia seorang diri. Menikmati segala keindahan alam, keluasan dadaku, menikmati kebebasan, menikmati pemikiran-pemikiran; seorang diri, adalah adalah sesuatu yang sakit.

Maka dari itu, sedikit demi sedikit aku harus yakin dan benar-benar meyakinkan diriku sendiri akan keputusan ini. Aku jauh, dari siapapun, termasuk kedua orang tuaku yang kadang tidak masuk dalam pertimbangan disetiap pengambilan keputusanku. Tetapi untuk saat ini, barangkali yang terbaik adalah memasukkan kedua orang tuaku yang masih hidup sebagai tujuan terdekat. Aku harus pulang, meskipun aku tahu kesuksesan di perantauan jauh lebih menggoda.

Maka dari itu, aku telah memutuskan untuk membenahi cara hidupku yang seorang diri, menuju kehidupan bersama orang lain. Dari sanalah kami akan menempuh bahagia. Dus, terimakasih telah datang padaku dengan cara yang paling aneh.


Comments

Post a Comment

semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.