Skip to main content

Upaya Memotong Generasi-ku

Mulanya, aku adalah pelancong yang percaya bahwa papua merupakan rumah singgah untuk sementara. Tidak kurang tiga bulan lamanya, maka aku akan berpindah lagi mencari rumah singgah lainnya di kota lain dan di pulau lain. Namun hingga sekarang sudah mencapai satu tahun lebih, aku malah tidak bisa pulang –tepatnya tidak mau pulang. Alasan yang paling logis muncul saat ini, aku sedang mencoba memotong generasi dari keluargaku.

Memang berat untuk bisa menjadi pencetak generasi. Saya membayangkan bahwa adanya marga atau klan dalam satu keturunan adalah karena hadirnya satu sosok yang paling menonjol dalam keturunan tersebut. Menonjol dari segi kekayaan, keilmuan, atau juga hal lain, seperti kejujuran dan kebaikan, bahkan keluarbiasaan. Namun dalam diriku, hal-hal itu masih kucari seluruhnya.

Mengapa memotong generasi? Aku berfikir bahwa sebagaimana bangsa Indonesia, jika dipimpin oleh orang-orang generasi orde baru yang usianya sudah tidak siap memikirkan perubahan, maka akan tetap saja seperti ini; kemiskinan, kelaparan, banjir, kemarau, suara-suara kemerdekaan di Papua, dan berbagai kasus korupsi yang semakin membebani citra bangsa Indonesia.

Maka di Indonesia pun harus ada potong generasi, menjadikan pemimpin seorang generasi cemerlang masa kini, yang tidak ada hubungannya dengan masa lalu Indonesia. Satu-satunya yang dimiliki oleh generasi yang akan memimpin Indonesia ini adalah generasi yang telah pulang menjadi orang Indonesia asli, setelah bertahun-tahun menjadi penduduk dunia. Dia yang berfikiran inovatif dalam memandang setiap permasalahan bangsa, lalu mengubahnya menjadi kekuatan kita.

Begitulah upaya memotong generasi yang kulakukan. Sepenuh hidup, turun temurun, keluargaku akan selalu memiliki siklus yang sama; lahir menjadi buruh tani, pergi merantau jualan pentol atau nasi lalapan, mengirim uang ke rumah, lalu setelah merasa cukup tua, kembali ke kampung untuk dihidupi oleh anak-anaknya. Lalu anak-anaknya, karena dilahirkan dari generasi kampung yang tidak memiliki inovasi, akan berakhir jadi buruh tani, lalu siklus itu tidak pernah selesai.

Aku hendak memotongnya mulai dari diriku sendiri, mempertaruhkan segala keinginanku, cita-citaku, keegoisanku, dan hal-hal yang bersifat pribadi lainnya. Aku tidak akan kembali pada siklus yang melelahkan itu, siklus yang masih dijalani oleh saudaraku yang lain. Dijalani dengan tabah, tanpa memandang bahwa takdir seharusnya bisa lebih baik.

Sebenarnya dengan keinginan memotong generasi ini, dengan cara tidak pernah pulang demi memperbaiki hidup, menjadikanku sadis dan tidak punya hati. Seakan-akan aku adalah kacang yang lupa pada kulitnya, seorang anak yang tega meninggalkan kedua orang tuanya, sementara disekeliling mereka tak ada seorang anak yang bisa memikul beban hidup di sana. Tetapi apalah daya, demi masa depan, demi melahirkan generasi yang berbeda dari generasi yang sama terus menerus, aku harus tabah, dan juga harus tega.

Saat ini, di Papua, aku benar-benar enggan pulang. Saat ini aku adalah seorang jurnalis di surat kabar paling besar di Papua, sebuah profesi yang jauh dari rencanaku. Profesi yang tidak pernah berani kuimpikan karena letaknya berada di menara gading sebuah kesuksesan. Namun akulah ini, yang menjadi jurnalis meskipun tak sesungguhnya. Lalu sebentar lagi, bulan Agustus mendatang, aku direncanakan oleh takdir akan menjadi staf pengajar di sebuah kampus swasta di Abepura. Maka sempurnalah carakumemotong generasi ini.

Paling tidak, generasiku ke depan akan lebih dekat dengan dunia akademis disebabkan aku menjadi pengajar di kampus. Lebih dekat dengan dunia tulis menulis karena aku merasa hidup menjadi seorang jurnalis, dan juga generasiku harus lebih dekat dengan dunia berbagi karena aku masih hidup dengan menyimpan mimpi, menggagas harapan, bahwa Sekolah Menulis Papua yang kudedikasikan untuk generasi muda Papua bisa tumbuh dewasa. Aku harap demikian.

Jadi saat ini yang kulakukan adalah bekerja sebaik-baiknya, membaca sebanyak-banyaknya, dan belajar seserius-seriusnya. Demi melancarkan segala tujuan pemotongan generasi yang benar-benar tidak gampang. Namun hal yang paling bisa membuatku berdiri tegak, sungguh, bukanlah jurnalis atau akan menjadi pengajar, namun karena aku memiliki Sekolah Menulis Papua. Aku masih bisa berbangga, dan yakin bahwa usahaku tidak akan sia-sia.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.