Media
massa atau pers harus independen dalam setiap pemberitaannya. Itu adalah
pernyataan yang selama ini dipercaya sebagai kebenaran absolut terkait
keberadaan media massa. Namun sebagaimana semua peraturan yang ada di dunia
ini, tampaknya sengaja dibuat untuk dilanggar. Realitas politik hari ini, media
massa berturut-turut menunjukkan ke-tidakindependensi-annya dengan memihak
kepada presiden tertentu atau partai tertentu.
Hal
ini tentu saja telah menciderai demokrasi di Indonesia. Padahal media massa merupakan
pilar keempat demokrasi setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sehingga
harus benar-benar memihak kepada rakyat, bukannya kepada elite atau golongan
tertentu saja. Bahkan media massa merupakan salah satu pilar yang terkuat dari
tiga pilar lainnya karena media massa bisa manjangkau hingga ke pelosok tanah
air sehingga mempengaruhi pilihan khalayaknya.
Melihat
masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya melek media sehingga tidak memahami
bahwa apa yang ada di media massa tidak melulu benar, maka keberadaan media
massa menjadi sangat kuat. Dengan tidak mempertimbangkan variabel lain, media
massa memiliki kemampuan untuk mempengaruhi masyarakat secara langsung, cepat, dan
terarah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sebagaimana yang
dijelaskan oleh Wilbur Schramm dengan The Bullet Theory of Cummunication.
Maka
dari itu, jika Indonesia konsisten dan percaya akan sistem demokrasi yang
dianutnya, maka pers juga harus demokratis karena berada dalam negara
Indonesia. Sedangkan unsur-unsur demokrasi, sebagaimana yang dikatakan oleh
Abraham Lincoln, bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka menjadi mutlak bahwa pers yang demokratis
adalah pers yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Pers
yang berdiri dengan niat untuk rakyat
maka tidak akan mencederai niatnya dengan memihak kepada kepentingan politik
tertentu. Jika kita garis bawahi tentang pers yang demokratis, maka
satu-satunya keberpihakan yang boleh dilakukan oleh media massa adalah
keberpihakan kepada rakyat; selain itu maka pers tersebut telah melanggar apa
yang dinamakan demokrasi.
Karena
pers yang memihak inilah, beberapa waktu yang lalu Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
misalnya, membuat siaran pers yang berisi kecaman terhadap praktek jurnalisme
yang berpihak pada calon presiden tertentu. Bahkan AJI menganggap bahwa
prakterk jurnalisme yang berpihak tersebut mengingatkan publik pada praktek
jurnalisme masa Orde Baru di mana pers seringkali dijadikan alat propaganda
penguasa politik dan gagal menjalankan fungsinya sebagai elemen kontrol sosial.
Selain
AJI, Dewan Pers Nasional (DPN) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang
memiliki kewenangan untuk memberikan nilai kepada media massa di Indonesia,
membentuk gugus tugas guna melakukan kordinasi pemantauan isi siaran
jurnalistik yang ada pada beberapa media massa sesuai dengan prinsip-prinsip
jurnalistik, seperti prinsip independensi dan prinsip beretika dalam
jurnalistik.
Pemantauan
itu sendiri, sebagaimana yang disiarkan dalam website KPI, dilakukan dengan
mengacu pada Kode Etik Jurnalistik dan Peraturan-Peraturan Dewan Pers dan
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Berdasarkan hal
tersebut, DPN dan KPI menemukan indikasi penyimpangan sehingga memberikan
peringatan kepada lima media massa televisi, yaitu TVOne, Metro TV, RCTI, MNC
TV, dan Global TV karena “keterlaluan” dalam menyiarkan calon presiden
tertentu.
Tidak
ketinggalan juga BBC Indonesia merilis hasil kajian dan penelitian dari empat
lembaga survey yang digawangi oleh masyarakat sipil; PR2Media, Remotivi,
Masyarakat Peduli Media, dan Inmark Digital. Dari hasil penelitian mereka
ditemukan bahwa media digunakan oleh pemilik untuk publikasi kepentingan
pribadinya, bahkan terdapat keompok media yang memiliki tendensi untuk
menyembunyikan kebenaran. Ini adalah hal yang miris, dan jika bocor ke publik,
maka betapa hendak lari kemana jika eksekutif, legislatif, yudikatif, dan media
massa sudah tidak bisa dipercaya?
Obyektifitas yang Subyektif
Media
massa didirikan memang tidak bisa terlepas dari sebuah kepentingan, dan
kepentingan melahirkan keberpihakan; yang biasanya dimaknai dengan
ketikdak-indepenan. Banyak media didirikan karena tidak bersepahaman dengan
media yang sudah ada, dan hal ini terutama ingin dilakukan oleh
mahasiswa-mahasiswa yang masih belum mengenal realitas politik tanah air.
Mereka
masih berpegang teguh pada doktrin di Perhimpunan Pers Mahasiswa bahwa media
harus independen, dan keberpihakan yang boleh dilakukan satu-satunya adalah
pada rakyat. Namun kenyataannya, sebagaimana yang sudah disebutkan di awal
tulisan, bahwa media massa akhirnya keluar dari independensinya untuk kemudian
memihak pada salah satu elite atau kelompok tertentu.
Pertanyaannya
kemudian, bisakan sebuah media massa tetap berada dalam keberpihakannya dalam
membela sesuatu yang benar “menurut dia”? Untuk menjawab pertanyaan tersebut
memang susah-susah gampang, susahnya dia kali lipat dari pada mudahnya. Namun
dari pada tidak ada solusi sama sekali dan hanya menghujat keberadaan media
massa, lebih baik ada sebuah cara agar pemberitaan bisa memihak namun tetap
dalam koridor kode etik junalistik.
Karena
harus diingat bahwa kerja pers mau tidak mau harus memegang teguh prinsip
jurnalistik yang telah dikenal insan pers secara umum, bahkan masyarakat umum
juga mulai memahaminya, seperti; obyektif, covering
both side, fairness, akurat,
tidak bias dan tidak mengejar sensasi, komplit, memisahkan fakta dari opini,
bisa diandalkan, cek dan ricek, dan masih banyak lainnya.
Dalam
Mass Communication Theory, Westertahl
mengatakan bahwa sebuah media massa harus memenuhi salah satu prinsip
pemberitaan yaitu factuality. Factually
berarti berita yang ditulis sesuai dengan kenyatannya, tidak ada kebohongan
atau kebenaran yang dibuat-buat. Dari prinsip ini juga mengandung unsur
kebenaran (truth) yang biasanya
dibangun melalui kakuratan data dan kekomplitan (completeness) peliputan. Data yang akurat dan komplit, secara
sederhana bisa ditentukan dengan memasukkan unsur 5W+1H, termasuk dengan data
dan bukti di lapangan yang tidak bisa dibantah.
Maka
sebuah tulisan jurnalistik di media massa, asalkan tetap memperhatikan prinsip factually dengan rinciannya tersebut,
bisa-bisa saja diterbitkan. Selain memperhatikan fakta, kebenaran, dan
kekomplitan sebuah berita, keberpihakan harus ditulis dengan tanpa mendistorsi
sebuah kebenaran yang ada, begitu pula tidak diperbolehkan memanipulasi fakta
apalagi mengurangi dan menambahi informasi untuk disesuaikan dengan
kepentingan.
Keberpihakan
media memang mutlak tejadi di Indonesia, namun harus dilakukan dengan cara yang
bersih. Keberpihakan media terhadap satu goal memang mutlak terjadi, namun
harus tetap obyektif memberitakan dengan tidak memanipulasi fakta. Hasil
akhirnya mari kita serahkan pada khalayak pembaca, karena dalam beberapa teori
komunikasi yang lebih modern, mereka percaya bahwa publik sekarang lebih
rasional dan selektif terhadap conten media. Semoga.
*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos ediri Rabu (11/6/2014)
Penulis
adalah wartawan Cenderawasih Pos.
Mendirikan Sekolah Menulis Papua
dan bisa dihubungi di www.fathulqorib.com
Comments
Post a Comment
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.