Skip to main content

Mencari Hilangnya Kritik Sastra di Indonesia

kritik harus dibudayakan
Disampaikan dalam diskusi Sekolah Menulis Papua.

Orang-orang Indonesia memiliki budaya malu dan tidak ingin mempermalukan orang lain; pada satu dan lain hal akan sangat berpengaruh pada cara hidup, bahkan cara bersastra dan berbangsa. Budaya malu sangat penting bagi orang Indonesia (mewakili bangsa timur) untuk mencounter budaya tidak tahu malu yang sering kita alamatkan pada bangsa barat. Karena budaya itulah, kita menjadi terkenal sebagai bangsa yang ramah, santun, tidak pernah marah (sendiko dawuh –dalam bahasa kritis kita adalah bangsa penghamba).

Budaya malu, pada akhirnya mendapatkan tempatnya pada dunia sastra. Hal yang paling sederhana dari perasaan kita adalah ketidakmauan untuk menerima kesalahan dari apa yang kita produksi, terlebih bila diungkapkan di depan umum. Jika hal ini benar adanya, maka kritik, yang sejatinya berarti judgement atau penghakiman akan menjadi menyakitkan, dan rerata kita tidak ingin di hakimi di depan publik atas tulisan kita.

Saking mewabahnya budaya ini, akhirnya orang yang suka mengkritik akan dianggap sebagai momok, pencari masalah, sumber segala penderitaan. Ia akan diasingkan, tidak memiliki teman, bahkan bisa saja dia tiba-tiba dihilangkan dari kehidupan.
Hal-hal seperti ini menimbulkan sikap malu-malu juga sebenarnya, bagi sastrawan yang hendak mengkiritik suatu karya sastra. Sehingga, demi tidak membuat judgement yang menyakitkan, kata kritik ini pada awal perkembangannya di Indonesia tidak disebut dengan kritik, tetapi disebut sebagai penyelidikan. Salah satunya dalam buku kritik sastra karangan J.E Tatengkeng diberi judul “Penyelidikan dan Pengakuan”.

Begitulah budaya malu orang Timur ini membuat segala sesuatu menjadi tertutupi, yang membuat orang menjadi bingung hendak meletakkan diri sebagai apa. Perkembangan berikutnya, sebelum dimaklumi dengan penyebutan “kritik sastra”, orang masih terkamuflase dengan kata sorotan, ulasan, bahasan, telaahan, yang semuanya bisa ditemui dalam ulasan-ulasan yang dibuat oleh sastrawan angkatan Pudjangga Baru, dalam majalan Pudjangga Baru.

Hingga tahun 1967, Hans Bague Jassin menerbitkan buku berjudul “Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay” yang secara eksplisit langsung menyebutkan kata “kritik”. Meskipun demikian, hal itu tidak menimbulkan suatu gebrakan yang luar biasa untuk memunculkan kritik sastra secara luas pada sastrawan lainnya.

Kalau boleh dihitung dalam batas ingatan saja, maka sastrawan yang seringkali saya dengar pula menjadi kritikus adalah Subagio Satrowardoyo, Goenawan Mohammad, Suat Situmorang, atau saya menjadi ragu dan tidak bisa membedakan antara sastrawan dan kritikus sastra, seperti AS Laksana, Armijn Pane, Merari Siregar, Nenden Lilis, Ignas Kleden, Linda Christanty, Damhuri Muhammad. –ketika mengetahui ini, saya menjadi yakin bahwa masa kritik sastra indonesai tidak akan pernah mati.

Hal lain yang membuat kritik sastra kurang diminati adalah anggapan bahwa kritik sastra itu tidak ilmiah, kalau mau dikatakan ilmiah, maka kritik sastra digolongkan sebagai pseudo ilmiah atau semo ilmiah. Banyak dikatakan bahwa kritik ilmiah hanya didasarkan pada intuisi penulis tanpa pertimbangan teori yang pasti serta metode kritik yang benar. Dan pada akhirnya, keilmuan kritik sastra di Indonesia juga patut dipertanyakan jika masih banyak orang yang menganggap bahwa kritik sastra tidaklah ilmiah.

Jika boleh membagi cara orang melakukan kritik sastra, maka bolehlah dibagi antara kritik akademis dan kritik populer. Dari namanya, tentu sudah bisa ditebak bahwa dalam kritik akademis, kritik sastra dilakukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan sastra. Dengan demikian, orang-orang yang sedang bergelut dengan dunia akademis ini, baik mahasiswa, dosen, guru bahasa indonesia, profesor sastra, berkewajiban untuk melakukan kritik sastranya berdasarkan teori dan metode yang terukur dan teruji.

Contoh paling sederhana adalah dalam skripsi, serang mahasiswa akan melakukan kritik terhadap ide marxisme dalam karya-karya Pramoedya Ananta Toer, melakukan pengungkapan psikologi sastra yang ada dalam karya Ayu Utami, atau yang lebih sederhana namun kompleks, melakukan penyelidikan terhadap gaya dan bentuk puisi milik Sutardji Cholzum Bahri. Dari sana, seorang mahasiswa harus menggunakan metode shahih, serta teori yang benar-benar teruji sehingga didapat kritik sastra atau ulasan sastra yang “keren”.

Cara kedua dalam membuat kritik sastra adalah dengan menggunakan dalil ilmu populer. Ilmu populer ini, bisa dibentuk menjadi esai, makalah, opini atau artikel, yang mengungkap beberapa hal yang menjadi dasar dalam kritik sastra. Hal itulah, yang saya kira, dilakukan oleh sastrawan (yang profesi maupun pekerjaannya adalah menulis sastra), penikmat sastra, wartawan, maupun akademisi.

Menulis kritik sastra secara populer ini bisa menjadi alternatif bagi beberapa komunitas atau perorangan yang ingin tetap ‘menjaga’ tradisi menulis kritik yang telah dimulai oleh pujangga baru. Maka bagi orang yang tidak punya dasar ilmu kesusasteraan yang memadai sebagaimana akademisi sastra, atau bagi penggiat sastra yang secara otodidak belajar sastra, maka menulis secara popular bisa menjadi salah satu jalan menulis kritik.

Mengapa diperbolehkan menulis kritik secara populer? Karena keobyektifan ilmu pengetahuan saat ini sedang dipertanyakan. Menurut Karl Popper yang dikutip oleh Ignas Kleden, bahwa obyektifitas adalah suatu keadaan yang tidak akan pernah tercapai. Bahkan diyakinkan lagi oleh Tyutchev yang dikutip oleh Zoest bahwa dalam kajian multikultural dan cultural studies atau kajian posmo, paradigma objektivitas sudah runtuh.

Meskipun belum membaca secara mendalam terkait keruntuhan obyektivisme tersebut, namun saya hampir yakin bahwa tidak semua hal yang obyektif itu yang terbaik dalam membahas karya sastra. Karena dalam kritiknya terhadap karya sastra, ia tetap membutuhkan perasaan dan hati terdalam untuk bisa tergugah sehingga pemaknaan terhadap karya sastra bisa hidup –dalam artian tidak mekanistik seperti ilmu alam.

dari berbagai sumber.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.