Skip to main content

Aku Benci Sesuatu Yang Ada Dalam Diriku


Aku seperti ingin membunuh sesuatu dalam diriku sendiri. Ada sesuatu yang tertahan, ada beberapa hal yang tidak aku sukai dari diriku sendiri, yang sesuatu itu sangat menyukai diriku. Ia kebal terhadap doa, ia kebal tehadap segala puasa dan ibadah. Ia seperti diriku, yang jika aku membunuhnya, aku takut kalau akupun akan terbunuh.

Tetapi dikehidupan yang sama, aku ingin hidup di dalamnya. Memenuhi rongga nafasku dengan keinginan dan rencana, terbuai, dan mabuk, terlena, dan jatuh pada kubangan. Aku ingin jatuh sejatuh-jatuhnya, menikmati embun yang memenuhi bibirku, mencecapnya seperti ciuman perawan. Mengunyahnya seperti lemak, menggigitnya seperti serat yang keras.

Lalu aku berdiri di sebuah jalan yang panjang berliku. Hanya ada jalan dengan pinggiran ilalang, pinggirannya bisa berubah kapan saja, menjadi gunung berbatu, menjadi pepohonan lindung. Sejauh yang kupandang, yang ada hanyalah jalanan. Lelampu juga kadang berdiri beriring, bersama taman dan satu dua bangku taman yang berukir. Aku duduk, merenung, dan memandangi diriku sendiri yang berjalan-jalan dengan sesuatu yang kubenci.

Jika sudah demikian, yang kurindukan adalah pergi dari setiap apapun. Meninggalkanmu, meninggalkannya, mereka, dan setiap tetek bengek yang meringkuhi jejak langkahku. Oh tuhan, kuatkanlah hatiku pada jalan yang terpotong, jalan yang ujungnya ada dihatiku sendiri. Jalanan yang kita ciptakan memang tidak berujung, menyajikan petualangan tanpa akhir yang menerbitkan liur seperti anjing.

Berhenti dari segala keinginan, apakah itu berarti berhenti menjadi manusia? Tapi keinginan itulah cita-cita paling masyuk yang tidak teperi. Ia menyajikan janji, menyebutkan beberapa kata yang memiliki arti cinta dan rindu. Tetapi yang tertuju oleh mataku, semata-mata kesepian yang senyap, itulah rindu. Berdiri di sinar matahari yang tidak berpengaruh apapun terhadap keringat, ia hangat sekaligus dingin. Hangat matahari, dingin angin, harum humus dan pucuk dedaunan.

Tidak, tentu tidak, kadang keinginanlah yang menjadikan kita manusia. Meskipun keinginan yang besar selalu membuat bencana, tapi itulah manusia. Sosok yang selalu ingin mendekatkan diri pada kebencanaan yang besar. Aku ingin, seperti sosok yang mengalahkan rasa inginnya sendiri. Tapi apakah benar, manusia yang bisa menakhlukkan keinginannnya itu tetap bisa disebut manusia?

Tetapi jika semuanya harus sama, jika semuanya harus kubenci karena beberapa hal yang tidak masuk akal, apakah aku akan terus hidup menghadapinya? Saat ini banyak harapan yang besar, lalu kematian meraba-raba seperti saudara dekat yang berkunjung diawaktu yang tidak tepat. Duh, bagaimana bisa kuperoleh kembali diriku yang dulu.

Tunggu, apakah diriku yang dulu adalah diri yang paling baik yang kupunya? Aku adalah produk diriku di masa lalu, apa yang kulakukan waktu itu telah menciptakanku sebagaimana sekarang ini. Jika memang benar, bahwa aku tidak lagi mengerti apa yang meresahkanku, maka aku menolak kehadiranku sendiri.

Aku memang memiliki masa yang buruk, tetapi ia adalah masa terbaik selama ini hingga datang pengganti yang menyengat hatiku dengan lidahnya. Mengaitkan tubuhku pada kesempurnaan, dendam, sekaligus keinginan ingin membunuh yang mengerikan. Aku tak tahan lagi, biar kubanting setiap pintu yang mengeluarkanku dari diriku sendri. Agar aku terkurung, dalam sepi, gelap, dan benci; lalu keluar menjadi pertapa yang jengah dengan kehidupan, menerima segala rupa, mendedah segala suci, menjadi hening bersama embun pagi hari. Entah, apakah aku masih benci sesuatu dalam diriku.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.