Skip to main content

Budaya dan Opini Publik

Masih ingat dukun cilik Ponari asal Jombang? Sebelum diberitakan oleh media, Ponari telah lama dikenal –paling tidak dalam beberapa bulan- oleh orang-orang kecil di kabupaten sekitar seperti Lamongan, Mojokerto, dan Bojonegoro. Jadi apakah yang membuat nama Ponari begitu terkenal meskipun tanpa liputan media?

Budaya tidak akan bisa dilepaskan dari sebuah komunitas hidup yang di huni banyak orang. Dalam satu kurun tertentu, baik disengaja ataupun tidak, terlepas dari baik dan buruknya, sebuah budaya akan terbentuk berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang ada dalam masyarakat. Sebenarnya kebudayaan inilah yang mempengaruhi segala tingkah polah kehidupan kehidupan yang dijalani. Sebuah masyarakat yang dengan kebudayaan yang maju akan membawa masyarakatnya menuju ke kemajuan, sebaliknya, masyarakat yang berkebudayaan rendah, berkebudayaan yang tidak maju, maka keterbelakanganlah yang akan terjadi.

Dalam pengaruhnya terhadap terjadinya opini publik ini kemudian menjadi sangat menarik kalau kita kaitkan dengan kebudayaan masyarakat indonesia –atau bangsa indonesia terserahlah-. Jadi ini adalah masalah kita, kita orang indonesia. Dalam perjalanan waktu kebudayaan di dunia ini, paling tidak telah dirumuskan menjadi tiga gelombang menururt Alfin Toffler, yaitu :

a. Gelombang culture (lisan)
b. Gelombang tipografi (tulisan)
c. Gelombang audiovisual (lisan dan tulisan)

Kita tidak akan membahas kesemuanya. Namun satu hal yang lagi-lagi menarik adalah menurut tahapan gelombang komunikasi tersebut, bangsa indonesia sebenarnya berada dalam urutan teratas. Indonesia masih berada dalam gelombang yang sangat awal untuk sebuah kemajuan. Bisa saja kita sangkal bahwa diindonesia kita sudah memiliki stasiun televisi dan teknologi canggih tentang media infoemasi sehingga kita bisa juga disebut pada gelombang ke tiga. Tetapi sungguh lihatlah kenyataan yang ada, bahwa bangsa Indonesia sama sekali belum menyentuh gelombang tipografi yang sangat mengagungkan sebuah tulisan (buku dsb). Kita ribuan kali mencanangkan gerakan “Ayo Membaca” namun masih saja sulit untuk membentuk sebuah kebudayaan membaca. Marilah kita sadarai bahwa telah terjadi apa yang di sebut pelompatan budaya (jump culture) dalam bangsa ini. Kita tergagap dengan audio visual, bingung menyikapinya dengan seperti apa. Tetap saja kita mengotak-atik lisan kita untuk mencurahkan isi hati, untuk mengkritisi kebijakan, bahkan untuk menggugat saja kita sangat sulit untuk menuliskan. Bangsa yang sangat sulit.

Dalam kebudayaan inilah kita hidup. Coba saja ada suatu peristiwa yang ditayangkan oleh sebuah media massa maka peristiwa itu akan digunjingkan, dibicarakan dari mulut satu kemulut yang lain dengan berbagai asumsi dan dengan penuh perhatian. Padahal mungkin kita sangat paham bahwa peristiwa itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan kita. Memang kejadian seperti ini juga sangat didukung oleh sebuah media massa yang ahli dalam membentuk skizofernia dalam masyarakat. Namun kebudayaan lisan, spesifikasinya adalah gosip memainkan peran penting dalam kemudayaan lisan seperti yang telah disebut diatas.

Kita tentu tahu stereotip tantang kebiasaan perempuan-perempuan desa (maaf masalah gender) yang berjajar mengambil kutu rambut (petan ; jawa). Tentu mereka akan sangat asik untuk memperbincangkan suatu masalah yang walaupun hanya sekedar ngobrol. Namun faktor ini juga yang mempengaruhi tersebarnya suatu masalah publik. Dan begitu ada suatu hal baru yang dirasa cukup sensasional dan pantas untuk di perbincangkan tentu mereka akan mengikutinya dan merubah topik pembicaraan ke permasalahan baru tersebut.

Masalah kebudayaan seperti ini kadangpula tidak hanya murni menyangkut budaya, namun faktor psikologi sosial dan sosial politik harus pula dijadikan pertimbangan. Seperti cepat berpindahnya pembicaraan masalah yang satu ke masalah yang lain, menganggap basi masalah yang telah tergantikan dengan masalah yang baru, dan kadang secara sosial menyembunyikan fakta yang satu serta memunculkan fakta yang lain, ini bisa jadi sangat politik. Budaya yang sudah dimasuki politik. Mengingat pencitraan para elite atau partai politik sekarang tidak cukup menggunakan teknologi tapi langsung terjun kemasyarakat dengan menghembuskan isu-isu tertentu.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.