Skip to main content

Media : Metafora dan Simulakra


“Aku lebih takut jurnalis dengan pena-nya
dari pada seribu tentara dengan bayonetnya”
Napoleon

Ketika kita duduk santai di rumah sambil mendengarkan music di radio, saat jalan di mall, saat lari pagi, saat duduk dibangku kuliah, maka saat itulah kita sedang mendengar informasi. bahkan kita seringkali tidak menyadari kalau sedang menerima informasi. Misalnya ada koran dimeja, ada gambar full color yang menarik pandangan anda sehingga anda menghampirinya dan membaca sebagian dari berita tersebut. Tentu anda tidak berniat mencari apa-apa. Tiba-tiba saja anda mengangguk-angguk dan faham akan sesuatu yang sebelumnya tidak tahu. Itulah informasi.

Informasi, yang kemudian dikonstruksi oleh orang-orang tertentu menjadi media massa telah memasuki hal yang paling privasi dari seseorang. Tidak ada lagi ruang pribadi yang benar-benar pribadi untuk bersembunyi dari segala hiruk pikuk dunia. Semua tingkah laku menjadi representasi dari keterpengaruhan kita dari media. Semuanya, ketika jalan-jalan dan kemudian dengan tidak sengaja kita melihat Mc Donald maka tanpa sadar kita akan ingat bahwa itu rumah makan cepat saji yang enak, lezat, ekonomis, dan prestisius. Atau lagi-lagi ketika kita tiba disuatu toko dan hendak membeli shampo, maka kita akan menelusuri berbagai macam merk shampo tersebut berdasarkan iklan yang sering kali kita lihat. Shampo yang kita beli akhirnya adalah yang sesuai dengan pedoman iklan tersebut, anti ketombe, untuk menghitamkan, atau untuk menghentikan kerontokan.

Ada yang menarik dari sekian banyak evolusi makna media, yaitu the medium is the methapor. Makna media ini muncul tahun 1985 oleh Neil Postman yang mengatakan bahwa setiap pesan yang disampaikan media mengandung methapor-metaphor yang secara tersirat akan dirasakan oleh khalayak tanpa disadari. Methapor adalah gambaran-gambaran yang dalam pikiran seseorang tentang sesuatu. Media massa sangat ahli dalam membangun methapor ini, media selalu menampilkan sesuatu yang kemudian diyakini masyarakat sebagai suatu kebenaran karena ditampilkan secara terus-menerus.

Contoh yang sederhana dari methapor ini adalah sinetron indonesia yang selalu menampilkan orang-orang muda dengan umur 25 – 30 tahun namun sudah menempati posisi tertinggi di perusahan yang dimilikinya. Rumah yang ditampilkan pasti besar dan mewah, dengan mobil, cewek cantik, pembantu-pembantu, dan hedonisme yang lain. Methapor yang di bangun adalah kesuksesan seseorang diukur dengan sebuah perusahaan dan mobil. Bahkan banyak sinetron yang menampilkan cinderela-cinderela modern. Kisah gadis yang baik hati, cantik, dan selalu disakiti orang-orang terdekatnya. Methapor yang dibangun adalah kejahatan ada dimana-mana. Bahkan dari saudara kita sendiri, namun jika bersabar suatu saat kita akan bahagia sebagaimana cinderela yang akhirnya ditemukan pangeran yang tampan dan kaya raya. Lihat saja kebodohan yang hendak disebarkan media massa.

Dikehidupan nyata tentu saja sangat sulit menemukan pemuda yang seumur jagung sudah menduduki top manajer perusahaan besar, mempunyai mobil, dll. Dan lakon cinderela tentu saja hanya omong kosong.

Realitas media telah menggiring wacana konsumen ke dalam simulakra, yaitu penggunaan tanda dan citra yang telah terdistorsi, menyimpang, bergeser, bahkan telah terputus sama sekali dari realitas yang sebenarnya, tetapi semuanya diklaim sebagai "realitas" dan "kebenaran". Iklan, sinetron, pemberitaan, film, dan semua produk media kemudian hanyalah menjadi komoditas yang tidak dipentingkan isinya, semua hanyalah simulasi yang mementingkan kulit luarnya.

Dikatakan oleh Jean Baudrillard dalam Simulations pada tahun 1981, simulakra adalah strategi penyamaran tanda dan citra (disguising), sebuah proses penjungkirbalikan tanda yang menciptakan kekacauan, turbulensi, dan indeterminasi dalam dunia representasi dan pertandaan. Ia semacam mesin (simulacra machine) yang memproduksi segala yang palsu (false), menyimpang dari rujukan (referent) dengan menciptakan tanda sebagai topeng (mask), tabir, kamuflase, atau fatamorgana.

Ini kemudian menjadi menarik, karena jika benar media seperti apa yang dikatakan oleh Baudrillard, maka tidak ada staupun hal yang benar (real) didalam media. Maka yang terjadi adalah ketidakpercayaan terhadap media. Bayangkan saja jika apa yang disampaikan oleh Baudrillard ini kemudian menyebar dan sama-sama diyakini oleh masyarakat sebagaimana keyakinan mereka terhadap kebenaran realitas media, maka ada dua kubu besar dalam penyampaian informasi. Yang satu kubu tidak terpengaruh dan tetap meyakini apa yang ada dalam media, dan yang lainnya membenci media dan menganggap media sebagai kekuasaan yang mesti dihancurkan. Tentu saja, kita harus sadar bahwa kubu yang kedua sulit terjadi karena masyarakat tidak akan peduli dengan pemahaman dan penyadaran yang hanya disampaiakan lewat buku, dan itu tentu saja sekilas. Tidak seperti media massa yang selalu menyajikan hal-hal yang tidak menarik, tidak penting, dan tidak perlu, menjadi sebaliknya. Inilah kemampuan media dalam mengagendakan masyarakat luas agar menganggap penting apa yang dianggap penting media.

Kepalsuan yang dibangun media ini memang keterlaluan. Media bahkan menciptakan realitas kedua (realitas semu) setelah realitas pertama (realitas peristiwa). Berbagai kejadian ditampilkan dalam aneka ragam tergantung kearah mana sebuah media menginginkan, atau siapa yag mendanai media tersebut. Kepentingan terus bermain dalam media massa sehingga tidak ada lagi ceritanya bahwa media harus verifikasi, berimbang (imparsial) ataupun obyektif (cover both side). Media sepenuhnya berada dalam genggaman kekuasaan tertentu, kapitalisme, komunisme, demokrasi, dll.

Masih tentang Jean Baudrillard yang pada tahun 1995 dalam The Perfect Crime menyebut perfect crime (kejahatan sempurna) sebagai sebuah 'penggelapan' dan 'pemerkosaan realitas' kejahatan; sebuah kejahatan yang menyembunyikan dirinya secara sempurna, sehingga ia tidak pernah dapat diketahui, tidak pernah dapat dibuktikan; sebuah kejahatan yang menyembunyikan dirinya secara halus di balik 'model-model image kejahatan' pihak lain, sehingga tidak tampak seperti sebuah kejahatan-the simulacrum of violence.

Siapa lagi yang bisa menciptakan sebuah kejahatan yang begitu sempurna kalau tidak media? Kejahatan sempurna yang diciptakan media adalah sebuah kejahatan; dalam berbagai bentuknya seperti teror, intimidasi, propaganda, disinformasi, agresi, profokasi, yang begitu halus tersembunyi sehingga yang tampak adalah sebuah alasan tentang moralitas, kedamaian, pemberantasan teroris, dan penegakan Hak Asasi Manusia.

Kebebasan media sebagai tonggak demokrasi seharusnya tidak berakhir mengenaskan seperti ini. Kejahatan yang diciptakannya bisa meruntuhkan semua orang/instansi/organisasi/ karena kebohongannya, ataupun mengembalikan dan membangun pencitraan yang sangat kuat. Seharusnya media menjadi alat demokrasi yang berjalan bersama rakyat, beriringan membangun kepercayaan untuk mengontrol kebijakan pemerintah. Media adalah penyambung informasi untuk rakyat dan sudah seharusnya bersikap netral dalam menyajikan berita. Masyarakat sudah percaya penuh kepada media. Jadi, seharusnya sikap netral media sangat penting.


Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.