Skip to main content

Global Paradox ; small is power

Mengapa buku-buku Naisbitt menjadi fenomenal? Sebelum kita membahasa lebig lanjut tentang Megatrend dan Global Paradox, sebaiknya kita mengenal dahulu bagaimana bigrafi dari John Naisbitt.
Biografi
John Naisbitt (lahir 15 Januari 1929 di Salt Lake City, Utah) adalah seorang penulis Amerika dan pembicara publik di bidang studi berjangka. Megatrends pertama bukunya diterbitkan pada tahun 1982. Ini adalah hasil dari hampir sepuluh tahun penelitian. Itu di daftar buku terlaris NewYork Times selama dua tahun, kebanyakan sebagai # 1. Megatrends diterbitkan di 57 negara dan terjual lebih dari 14 juta eksemplar. John Naisbitt belajar di Universitas Harvard, Cornell dan Utah. Dia mendapatkan pengalaman bisnis ketika bekerja untuk IBM dan Eastman Kodak. Dalam dunia politik, ia menjadi asisten Komisaris Pendidikan di bawah Presiden John F. Kennedy dan menjabat sebagai asisten khusus untuk Departemen Pendidikan Sekretaris John Gardner selama pemerintahan Johnson. Dia meninggalkan Washington di tahun 1966 dan bergabung Science Research Associates. Pada tahun 1968 ia mendirikan perusahaan sendiri, Urban Research Corporation. Naisbitt mendirikan Naisbitt Cina Institute, sebuah perusahaan nirlaba, lembaga riset independen yang mempelajari transformasi sosial, budaya dan ekonomi Cina yang terletak di Tianjin University. Pada tahun 2009, Naisbitt menerbitkan Megatrends China, sebuah buku menganalisis kebangkitan Cina. Penasehat pada pengembangan Pertanian untuk pemerintah kerajaan Thailand, mengunjungi sesama mantan di Harvard University, profesor tamu di Moskow State University, dosen di Universitas Nanjing di Cina, dibedakan Internasional Fellow, Institut Studi Strategis dan Internasional (ISIS), Malaysia - - pertama non-Asia untuk mengadakan perjanjian ini, profesor di Universitas Nankai, Tianjin Universitas Keuangan dan Ekonomi, anggota Dewan penasehat dari Bisnis di Asia Sekolah, Tianjin, penerima 15 gelar doktor kehormatan dalam teknologi, humaniora dan ilmu pengetahuan. John Naisbitt dan istrinya Doris yang berbasis di Wina dan Tianjin / Cina.
Dengan pengalaman yang sedemikian rumit dan luar biasa, maka tidak heran jika Naisbitt akhirnya mampu menciptakan buku yang semuanya masuk dalam kategori
  • Megatrends : Sepuluh Arah Baru Transformasi Our Lives. Warner Books, 1982
  • Reinventing the Corporation : Transformasi Pekerjaan Anda dan Perusahaan Anda untuk Masyarakat Informasi Baru. Warner Books, 1985
  • Megatrends 2000. Sepuluh Arah Baru untuk tahun 1990-an.William Morrow & Company, Inc, 1990
  • Paradoks Global. The Bigger Ekonomi Dunia, Pemain Its Lebih Powerfull Terkecil. William Morrow & Company, Inc, 1994
  • Megatrends Asia. Delapan Asia Megatrends Itu Apakah Reshaping Our World. Simon & Schuster, 1996
  • High Tech / High Touch. Teknologi dan Search Dipercepat kami untuk Makna. Nicholas Braely Penerbitan, 2001
  • Pikiran Set! Berpikir ulang Anda dan Lihat Masa Depan. Collins, 2006.
  • China Megatrends: The 8 Pilar Masyarakat Baru Dari Sebuah.HarperCollins, 2010.
Semangat yang di usung oleh John Naisbitt sebenarnya tidak lepas dari Globalisasi, yang digembar-gemborkan oleh kalangan Ilmuwan Barat. Sehingga semua hal yang disajikan dalma buku ini memang harus dikaji agar tidak sampai membuat kita mengamini segala keinginan kapitalis barat.

Globalisasi
Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Kata “globalisasi” diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.
Mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri. Kebudayaan lokal atau etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global. Anggapan atau jalan pikiran di atas tersebut tidak sepenuhnya benar. Kemajuanteknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tak berguna. John Naisbitt (1988), dalam bukunya yang berjudulGlobal Paradox ini memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Naisbitt (1988) mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks, yaitu semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin kesukuan, dan berpikir lokal, bertindak global. Hal ini dimaksudkan kita harus mengkonsentrasikan kepada hal-hal yang bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia Internasional.
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama.

Paradox Global
Paradox yang disajikan oleh John Naisbit dalam bukunya tersebut merupakan hal yang tidak disangka-sangka akan muncul dalam permukaan dan menjadi sesuatu yang nyata. Perubahan dramatis dan sangat berbeda yang bekerja di dunia pada akhir abad kedua puluh hampir bisa dipahami sebagai beikut: ekonomi global, komunikasi global, negara-negara terpecah-belah, penentuan nasib sendiri-sendiri para etnis tertentu, negara berkembang, dan pariwisata meningkat. Dan yang tak alah kontroversialnya, Naisbit menilai pada waktu itu bahwa Negara yang akan menjadi besar dari segala lini adalah Cina. Sungguh tidak disangka kalau sekarang korporasi Cina menyebar luar keseluruh Negara di dunia denga Mata Uang Yuan sebagai symbol perdagangan mereka. Mungkin kedepan, Yuan aka menggeurs Dollar sebagai mata uang perdagaga dunia. Inilah yang digunakan oleh John Naisbitt sebagai sebuah misiuntuk memahami semua yang tengah dan akan terjadi. Dan sekali lagi ia menyediakan pemahaman yang rinci dengan dasar realitas dimana para pemimpin dalam bisnis dan pemerintah dapat dan harus bertindak sebelum tergilas oleh zaman.
Dalam contoh-contoh yang disajikan oleh Naisbitt tersebut, kita menjadi tahu banyak hal tentang paradox yang terjadi di dunia ini. Dari penjelasan Naisbitt sebenarnya kita akan menjadi tahu akan banyak hal yang akan terjadi 50-100 tahun yang akan datang dengan ketepatan seorang peramal masa depan ; futurolog.
Analisis Naisbitt dimulai dengan diskusi tentang apa yang dilihatnya sebagai paradoks sentral: Ketika dunia menjadi lebih terintegrasi secara ekonomi, entitas politik dan bisnis yang terdiri dari hal itu menjadi lebih kecil dan lebih banyak. Sebagai sebuah konsekuensi, Naisbitt mencatat bahwa karena perekonomian dunia menjadi lebih besar dan lebih terbuka, perusahaan yang lebih kecil dan menengah akan mendominasi karena inovasi dan fleksibilitas mereka yang lebih besar.
Mengikuti perkembangan sebuah paradoks, kata Naisbitt, maka kita juga akan membahas revolusi dalam bidang telekomunikasi. Pertukaran informasi seketika di seluruh dunia hampir membuat individu, usaha kecil, dan negara-negara yang baru mulai memiliki kesempatan yang besar untuk menjadi penguasa baru di dalam dunia mareka. Naisbitt juga merinci secara detail sintesis yang muncul dari komputer, telepon, dan televisi, serta mengidentifikasi kekuatan teknologi dan perusahaan yang membentuk perkembangan informasi, yang kemudian ia sebut sebagai superhighway.
Industri perjalanan (travel) juga memainkan peranan penting dalam Paradoks global, kata Naisbitt, dengan menyediakan dana untuk ekonomi global. Dia mengatakan bahwa manusia lebih mengintegrasikan dunia, semakin mereka membedakan pengalaman-dan mereka semakin mereka cenderung untuk mengunjungi budaya lain. Dalam bab tentang aturan baru perilaku, Naisbitt mengatakan bahwa kesadaran baru dari budaya lain dan visibilitas mereka yang lebih besar karena telekomunikasi akan menghasilkan empati yang lebih besar dengan dan kepedulian terhadap penderitaan orang lain.
Naisbitt menggunakan Cina sebagai studi kasus bagaimana ekonomi, besar perencanaan pusat memberikan cara untuk penggerak berbagai pengusaha individual, dengan konsekuensi bahwa China akan, menurut prediksi, ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2000. Menyadari berkembang minat pasar di luar Amerika Serikat dan Eropa Barat, Naisbitt menyimpulkan dengan memeriksa daerah baru kesempatan di Asia dan Amerika Latin.
Dari beberapa hal di atas, bisa saya simpulkan hal-hal yang menarik yang ada di dalam buku Global Paradox tersebut, diantaranya :
  1. Semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, justru perusahaan-perusahaan kecil dan sedang akan semakin mendominasi"
  2. Semakin kita menjadi universal, tindakan kita justru akan semakin bersifat kesukuan.
  3. Berfikir lokal, bertindak global
  4. Semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin bersifat kesukuan.
  5. Ketika bahasa Inggris menjadi bahasa kedua bagi semua orang, bahasa pertama, bahasa ibu mereka, menjadi lebih penting dan dipertahankan dengan lebih giat.

Paradox Indonesia
Indonesia sebagai Negara yang bardaulat sejak 1945 menjadi sesuatu yang membanggakan untuk dikenang oleh seluruh rakyat Indonesia. Namun seiring berjalannya waktu, kita menemukan banyak sekali paradox sehingga kita menjadi jemu dan tidak lagi bangga menjadi Indonesia. Mindset paradoks adalah pemikiran yang realistis, visioner, ambigu, terlihat nyleneh tidak masuk akal namun sejatinya logis dan benar. berpikir melampaui zamannya.
Di dunia banyak tokoh yang berpikir demikian. Ada Leonardo Da Vinci, Ki Joyoboyo, dan John Naisbitt. Dalam Islam ada Nabi Khaidir, mentor singkat Nabi Musa atau pemikir muslim seperti Agus Mustofa. Pemikiran yang tidak lekang tergerus zaman, bahkan di negeri ini banyak yang menyakini dan menjadikannya petunjuk dalam menyikapi pergeseran tata nilai sebuah bangsa. Petunjuk menyikapi turbulensi perubahan. “Zaman wes edan, sing ora edan ora koman” pemikiran Ki Joyoboyo banyak diyakini berbagai kalangan di negeri ini.
Gobalisasi membawa dampak “Semakin besar ekonomi dunia, semakin kuat perusahaan kecil yang membentuk jejaring.” Tren ekonomi kerakyatan, soko guru masyarakat madani. Pemikiran Hatta salah satu tokoh terbaik negeri berpuluh-puluh tahun lalu. Pemikiran yang melahirkan konsep “Koperasi” , merangkai cluster-cluster kecil dalam masyarakat madani, pilar ekonomi bangsa. Diaplikasikan oleh Mohamad Yunus di Bangladesh, sukses menggondol Nobel Ekonomi. Bagaimana sukses negara sekelas Jepang, Denmark, China, India, Korea, dan Singapura dalam merangkai cluster-cluster perusahaan kecil sebagai penyokong perusahaan besar konsepnya tidaklah beda jauh dengan konsep bung Hatta tempo dulu dalam mencetuskan “Koperasi sebagai penebar kemakmuran rakyat, yang berkeadilan.”
Ke depan trend masyarakat madani, mengharuskan kita transparan, adil dan makmur dinikmati bersama seluruh bangsa sampai ke lini-lini terkecil negeri. Itu artinya Perusahaan besar dengan Economies of scalenya dipaksa membagi lahannya ke bagian-bagian usaha rakyat kecil sekelas koperasi, membentuk jejaring wirausaha, demi kelangsungan hidup bersama.
Itu artinya trend Konglomerasi sudah usang karena tuntutan jaman. Meski masih terjadi tarik-menarik, kebijakan negara seharusnya mengarah kesana, kalau ingin mendapat dukungan politik dari rakyat. Kenapa? Karena ke depan peran negara akan semakin tergantikan, semakin tidak penting, dan akan semakin tergantung pada cluster-cluster komunitas kecil yang membentuk jejaring. Batas-batas ras, suku, agama akan semakin absurd, semakin kabur, tergantikan oleh barisan jejaring politik, jejaring ekonomi, jejaring sosial budaya. Militansi akan terbentuk disana. Dan itu milik komunitas madani yang kecil-kecil itu. Dunia politik, bisnis, setiap saat harus berhadapan dan berurusan dengan paradoks-paradoks itu.
Itu pemikiran Hatta, salah satu pendiri negeri ini. Mindset paradoks kalau dikelola dengan benar akan menjadi solusi membangun negeri, menyatukan gerak langkah, mengurangi gap, delay yang sangat panjang antara keinginan pengusaha, keinginan rakyat dengan kemauan penguasa. Gerak negara akan semakin lincah bermanufer di tengah badai turbulen dunia, mampu melewati semua jaman, mampu berselancar di dunia global yang semakin tembus pandang.
Itu akan menciptakan roadmap ke depan yang jelas, politik kesejahteraan pro-rakyat, lebih fokus ngurus rakyat sambil memikirkan strategi menghadapi perang global. “Pre-emptive Strike.” “Bersih - bersih negeri” sudah harus dilakukan dengan Keras, Vulgar, lugas dan Transparan. sudah bukan saatnya lagi sopan santun aneh nyleneh, tapi korupsinya luar biasa, seperti SBY dan Demokratnya!.
Paradox Indonesia tidak hanya berhenti disana, namun terus begulir menjadi sebuah racun di tubuh demokrasi Indonesia. Ditengah-tengah mengagung-agungkan simpul demokrasi, malah pimpinan dan Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa dipercaya untuk membawa Indonesia ke depan.

Pradoks Identitas Nasional
Paradoks utama yang mewarnai Indonesia sejak awal kelahirannya sebagai sebuah negara-bangsa adalah paradoks identitas nasional (the paradox of national identity). Bagi negara-negara pasca kolonial (post-colonial states), masalah identitas nasional merupakan hal yang sangat penting, terutama dalam bentuk identitas bersama (shared identity), yang dibutuhkan untuk menyatukan berbagai komponen masyarakat, yang kerap terpilah ke dalam identitas etnik, budaya dan keagamaan yang beragam, ke dalam sebuah wadah yang disebut negara-bangsa (nation-state).

Identitas nasional pasca-kolonial juga dibutuhkan untuk menunjukkan adanya kekhususan dalam status baru masyarakat tersebut sebagai sebuah entitas politik yang merdeka dan berdaulat, yang berbeda namun sejajar dengan negara-negara yang pernah menjajah mereka. Dalam konteks itu, perumusan identitas nasional, yang menjadi dasar bagi pengorganisasian dari komunitas politik baru yang disebut negara-bangsa itu, tidak hanya menjadi raison detr'e bagi pembentukan negara itu sendiri, tetapi juga menjadi dasar legitimasi yang penting bagi para penguasa nasional (indigenous rulers).
Negara-negara pasca kolonial di dunia Islam, yang tersebar di Timur Tengah, Asia, dan Afrika, juga dihadapkan kepada persoalan identitas nasional ini. Bagi mereka, proses pembentukan identitas nasional ini menjadi  salah satu isyu sentral dalam proses politik. Proses itu menjadi bagian terpenting dari tantangan nation-building. Tantangan-tantangan yang dihadapi memang berat karena, seperti yang dikatakan oleh Michael Leifer, "nation-building... is not an exercise which comes within the compass of five-year plans or indeed within the life span of any one generation of political leaders."  Keberhasilan proses ini kemudian akan ditentukan oleh kemampuan pemerintah untuk mengatasi sejumlah permasalahan yang dihadapi oleh banyak negara pasca kolonial, seperti kelemahan ekonomi dalam negeri, perpecahan ideologis dan politik, identitas nasional, terbatasnya institusi-institusi politik dan hukum yang modern, dominasi pemerintahan personal, hubungan sipil-militer yang tidak stabil, perbedaan etnik dan agama, serta ketergantungan terhadap pihak internasional.
Pentingnya masalah identitas negara ini sangat terasa di negara-negara Muslim, terutama dalam hal adanya ketegangan dalam merekonsiliasikan identitas negara yang resmi (official state identity) di satu pihak dan identitas masyarakat (identity of the society) di pihak lain. Pemerintah nasional di negara-negara ini dihadapkan kepada pilihan sulit antara menciptakan sebuah identitas baru atau mengadopsi identitas dominan masyarakat sebagai identitas negara yang resmi. Ketegangan itu antara lain berakar pada hakekat hubungan antara agama dan politik. Di satu pihak, Islam -sebagai nilai, norma, dan prinsip-prinsip yang menjadi acuan umat-sudah sejak lama menjadi referensi bagi masyarakat dalam mengidentifikasikan jati dirinya. Posisi Islam sebagai sumber identitas memang sudah lebih dulu ada sebelum terbentuknya negara itu sendiri. Di lain pihak, pemerintah di negara-negara pasca kolonial sering merasa bahwa identitas negara yang resmi -yang melewati batas-batas agama dan etnik-perlu dirumuskan untuk mendorong terbentuknya kesadaran bersama akan sebuah identitas bersama di antara masyarakat yang memiliki karakteristik etnik dan agama yang berbeda.
Dalam menghadapi persoalan identitas nasional itu, pilihan pada umumnya hanya dirumuskan dalam bentuk negera sekuler atau negara agama. Beberapa negara Muslim, terutama di Timur Tengah, umumnya telah menyelesaikan masalah ini dengan menjadikan Islam sebagai identitas resmi negara. Di negara-negara ini, masalah identitas negara pada umumnya tidak menjadi permasalahan serius, karena negara sejak awal proses pembentukan negara (state-formation) telah didefinisikan menurut Islam. Masalah muncul apabila sebuah negara menolak untuk mendefinisikan identitasnya secara eksklusif menurut Islam. Dalam kasus demikian, dilema identitas negara menjadi isyu yang serius dan bahkan menjadi sumber pertikaian dan perpecahan. Identitas negara yang non-teokratis kerap menjadi rallying point bagi kelompok oposisi dalam mempersoalkan basis negara maupun legitimasi pemerintah.
Menjelang kemerdekaan, Indonesia juga mengalami dilema yang sama. Dengan penduduknya yang hampir 90 persen Muslim, Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Namun, hubungan antara negara dan agama kerapkali mengalami ketegangan. Ketegangan itu tampak jelas selama proses persiapan pembentukan Indonesia menjelang proklamasi kemerdekaan tahun 1945, pada saat para pendiri bangsa memperdebatkan secara mendalam soal dasar negara. Perdebatan itu, yang akhirnya ditengahi melalui formulasi Indonesia sebagai negara Pancasila -yang bukan negara agama dan juga bukan negara sekuler (neither secular nor theocratic)-menunjukkan bahwa mendefinisikan tempat Islam dalam politik Indonesia pasca-kolonial bukanlah perkara yang mudah.
Namun, kompromi itu tidak berarti bahwa masalah identitas nasional sudah terselesaikan. Identitas Indonesia tetap diwarnai oleh paradoks. Di satu pihak, mayoritas penduduknya adalah Muslim. Realitas ini tidak dapat diabaikan oleh negara, karena Islam merupakan sumber nilai dan norma yang menjadi acuan kehidupan masyarakat. Islam juga memainkan peran sentral bagi  proses legitimasi sosial dan politik dalam masyarakat. Di pihak lain, Indonesia juga dihadapkan pada realitas keberagaman etnik, kultural dan agama yang menghalanginya untuk merumuskan negara atas dasar agama, karena identitas negara teokratik akan mempersulit cita-cita persatuan Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa. Pancasila sebagai dasar dan identitas resmi negara (official state identity) merupakan upaya menengahi paradoks ini.
Namun, meskipun telah tercapainya konsesus nasional tetang Pancasila sebagai identitas dan dasar negara, Islam sebagai salah satu unsur identitas nasional -bukan identitas negara-- juga kerapkali mengalami marginalisasi. Identitas nasional, yang seharusnya mencerminkan keberagaman Indonesia, juga ingin ditunggalkan dan dipaksa mengikuti tafsir resmi negara. Politik otoritarian selama masa kekuasaan Presiden Sukarno dan Presiden Suharto memaksa publik untuk menerima tafsir negara mengenai identitas nasional yang tunggal, melalui kombinasi strategi kooptasi, reward, dan hukuman. Negara mencampuradukkan antara "persatuan" (unity) --yang berarti keberagaman dalam suatu kesatuan-dengan "kesatuan" (uniformity) --yang bermakna keseragaman.
Paradoks identitas ini tampak menonjol dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia.  Unsur-unsur masyarakat lainnya, khususnya Islam, tidak diizinkan untuk mewarnai identitas nasional yang ingin diproyeksikan negara ke panggung internasional. Negara tidak ingin identitas internasional Indonesia didefinisikan dan diekspresikan dalam bentuk ke-Islaman. Berbagai kebijakan luar negeri Indonesia juga kerap menghindari penggunaan pertimbangan-pertimbangan berdasarkan agama. Bahkan, sejak awal masa pasca kemerdekaan, politik luar negeri lebih dipengaruhi oleh pertentangan ideologis Barat-Timur, yang menjadi dasar prinsip bebas-aktif dalam politik luar negeri Indonesia.
Selama masa Orde Lama (1957-1966), penghindaran dari dimensi keagaman dari identitas negara dalam politik luar negeri dilakukan dengan proyeksi identitas internasional Indonesia sebagai pejuang kepentingan Dunia Ketiga dan kekuatan anti-imperialisme ketimbang pejuang kepentingan Dunia Islam. Selama masa Orde Baru (1966-1998), dengan tetap mempertahankan identitas sebagai negara Non-Blok, Indonesia merasa nyaman dengan citra-nya sebagai pemimpin alamiah Asia Tenggara, sebagai penyumbang bagi stabilitas regional, dan sebagai negara Dunia Berkembang yang ramah terhadap Barat.  Islam, sebagai salah satu unsur identitas nasional, tidak mendapat tempat dalam pencitraan identitas Indonesia di panggung internasional.
Pembatasan pencitraan Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim ini mengundang ketidakpuasan di kalangan Islam. Posisi Indonesia di Dunia Islam menjadi salah satu tema sentral dalam berbagai perdebatan mengenai politik luar negeri dalam kurun waktu 1907-an dan 1980-an. Kelompok-kelompok Islam pada umumnya kecewa terhadap kecilnya perhatian dan ketertarikan pemerintah terhadap Timur Tengah dan Dunia Islam pada umumnya. Mereka pada umumnya berpandangan, adalah absurd jika Indonesia --yang berpenduduk mayoritas Muslim- hanya menduduki posisi pinggiran dan memainkan peran yang marginal di Dunia Islam.
Namun, negara bersikukuh bahwa mengakomodasikan Islam sebagai salah satu dimensi identitas internasional Indonesia merupakan negasi terhadap identitas nasional yang non-teokratis. Oleh karena itu, meskipun identitas internasional yang diproyeksikan negara ke panggung internasional tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan aspirasi dan realitas yang ada dalam masyarakat, negara bersikeras untuk memaksakan penerimaan publik atas tafsir identitas nasional yang ingin diproyeksikannya ke dunia internasional. Menyangkut pencitraan internasional ini, politik luar negeri Indonesia --sampai tahun 1998-mencerminkan paradoks identitas nasional Indonesia.

Paradoks Demokrasi
Perubahan politik yang terjadi sejak Mei 1998 telah membuka pintu yang lebar bagi proses pengayaan identitas nasional. Demokrasi dan Islam kini menjadi unsur yang melekat dalam identitas nasional Indonesia. Negara tidak lagi leluasa dalam memonopoli tafsir atas identitas nasional Indonesia. Islam kembali menduduki tempat yang seharusnya, sama dengan unsur-unsur identitas nasional lainnya. Terakomodasinya Islam kedalam identitas nasional itu tidak dapat dilepaskan dari revolusi demokrasi yang terjadi. Sebaliknya, demokrasi Indonesia tidak akan pernah sempurna tanpa sumbangan dan peran Islam di dalamnya. Oleh karena itu, Indonesia -yang sebelumnya dicitrakan secara ketat sebagai negara terbesar di Asia Tenggara-kini juga dicitrakan dan dilihat sebagai "negara berpenduduk Muslim terbesar di muka bumi yang sedang berproses menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia".
Namun, di mata dunia internasional, perpindahan Indonesia dari rumah otoritarianisme ke rumah demokrasi kembali dilihat sebagai sebuah paradoks, yakni paradoks demokrasi. Leonard Sebastian, pengajar di Nanyang Technological University (NTU) Singapura, menyebutkan demokrasi Indonesia sebagai paradoks, karena demokrasi ternyata dapat berjalan dalam masyarakat yang beragam secara etnis, dan dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, seperti Indonesia.  Yang lebih menjengkelkan, demokrasi Indonesia dianggap paradoks karena di dalamnya terdapat peran Islam, yang meskipun belum sentral tetapi jelas tidak dapat diabaikan. Bagi sebagian kalangan, adalah sebuah paradoks jika demokrasi dapat tumbuh dalam masyarakat yang mayoritas Muslim.
Dalam merespon mispersi tentang citra paradoks Islam dan demokrasi, kita tidak perlu marah kepada mereka yang beranggapan bahwa demokrasi tidak akan pernah bisa subur di dalam negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kita juga tidak perlu berang jika stigma demikian dilekatkan kepada Indonesia. Sebaliknya, justru kita berada pada posisi untuk membuktikan bahwa demokrasi dan Islam bukanlah sebuah paradoks. Untuk itu, adalah keharusan bagi kita untuk membangun terus sebuah demokrasi pluralistik dimana Islam memainkan peran penting dalam menjaga dan menjamin aspek kemajemukan dalam demokrasi Indonesia itu.
Dalam hal ini, politik luar negeri Indonesia menjawab citra paradoks Islam dan demokrasi dengan mengakomodasikan kedua dimensi identitas nasional itu kedalam formulasi dan pelaksanaan kebijakan politik luar negeri. Politik luar negeri tidak lagi alergi terhadap unsur Islam dalam mencitrakan identitas nasional Indonesia ke panggung internasional. Perubahan politik dalam negeri, dan perkembangan politik internasional yang diwarnai oleh tirani "perang terhadap terorisme" ala Amerika (war on terror), telah mendorong negara untuk merumuskan identitas internasional yang harus memperhitungkan Islam, bersama dengan demokrasi, sebagai dimensi penting dari identitas nasional. Indonesia tidak lagi dihinggapi sindrom menyembunyikan identitas ke-Islamannya dalam mengelola hubungannya dengan negara-negara lain. Bahkan, Islam --bersama demokrasi-- kini menjadi aset bagi politik luar negeri, khususnya dalam membangun citra internasional Indonesia.
Kecenderungan untuk menempatkan Islam sebagai dimensi penting dalam pencitraan identitas nasional ini tampak jelas dalam berbagai pernyataan para penyelenggara pemerintahan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, menyebutkan bahwa "we are the world's third largest democracy. We are also a country where democracy, Islam and modernity go hand-in-hand."  Menteri Luar Negeri Hassan Wirayuda juga tidak segan memproklamirkan bahwa "as a nation with an overwhelmingly Muslim population, Indonesia is a living refutation of the erroneous notion that Islam and democracy are incompatible."  Islam tidak lagi menjadi kata yang tabu dalam politik luar negeri Indonesia. Dengan menjadikan Islam dan demokrasi sebagai aset politik luar negeri, Indonesia berkeinginan untuk memposisikan dirinya dalam tatanan dunia sebagai "a moderating voice, not only between the Muslim world and the rest buat also within the Muslim world itself." 

Paradoks Posisi Internasional
Pada saat kita mendeklarasi keinginan untuk mendapat tempat yang terhormat dalam tatanan internasional, pada saat itu pula kita dihadapkan pada paradoks ketiga, yakni paradoks posisi internasional Indonesia diantara bangsa-bangsa. Bersamaan dengan berbagai harapan yang dialamatkan oleh masyarakat internasional kepada kita, lahir pula kesangsiaan terhadap kemampuan Indonesia dalam mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapinya. Dalam konfigurasi hubungan internasional dewasa ini, Indonesia dilihat sebagai negara yang memiliki potensi untuk maju dan gagal sekaligus. Meminjam Robert Chase, Emily Hill, dan Paul Kennedy, Indonesia disebut sebagai pivotal state; yakni negara "yang berdansa diantara potensi sukses dan kemungkinan gagal, dan tidak jelas skenario mana yang terbukti lebih akurat."
Dalam tulisannya di Majalah Time edisi September 2008, Michael Schuman melontarkan sebuah pertanyaan menggelitik: what's holding Indonesia back? Kenapa Indonesia tidak bisa maju? Padahal, kata Schuman, negeri ini memiliki hampir semua bahan (ingridient) yang dibutuhkan untuk menjadi negara maju, yang harusnya telah membawa Indonesia untuk berada dalam satu kategori dengan Cina, India dan Brazil. Bagi Schuman, demokrasi, kekayaan alam, dan pasar domestik yang besar sudah cukup untuk membuat Indonesia on par dengan ketiga negara BRIIC itu. Kalau kita lihat faktor-faktor tambahan lainnya, seperti adanya kelas menengah terdidik yang cukup besar, akar kultural yang mapan, masa lalu yang penuh kisah kejayaan, dan rasa nasionalisme yang tinggi, seharusnya Indonesia bisa lebih cepat melangkah ke kehidupan yang lebih baik.
Namun, yang kita alami selama ini justru sebaliknya. Wajah kita adalah wajah dengan sejumlah paradoks. Meskipun kaya akan sumberdaya alam dan dikaruniai tanah yang subur, Indonesia terjebak ke dalam situasi yang disebut oleh Terry Lynn Karl sebagai paradoks keberlimpahan (the paradox of plenty): negara kaya, tapi miskin.
Adalah sebuah paradoks pula ketika Indonesia setelah begitu lama membangun, tetap saja sulit berkembang. Setelah pembangunan ekonomi selama lebih dari empat dekade, namun pada saat yang sama ia masih berada pada ranking ke 109 dari 197 negara dalam Human Development Index (HDI).
Adalah sebuah paradoks ketika Indonesia merupakan salah satu masyarakat paling agamis di antara masyarakat bangsa-bangsa, namun pada saat yang sama ia juga menduduki posisi sebagai salah satu negeri terkorup di dunia. Adalah sebuah paradoks ketika Indonesia merasa dirinya sebagai negara yang besar, namun "kebesaran" itu ternyata tidak menimbulkan rasa hormat dari negara-negara di sekitarnya. Lihat saja bagaimana rentannya wilayah udara dan laut kita terhadap intrusi asing. Lihat pula betapa lemahnya posisi kita dalam membela hak-hak warga negara yang mencari nafkah di negeri orang. Lihat lah bagaimana mudahnya kita menyerah dalam berbagai perundingan dengan bangsa-bangsa lain. Kita tampaknya enggan, atau bahkan sungkan, untuk mengatakan tidak kepada bangsa lain. Kita mudah terjebak dalam sikap yang selalu mencari kompromi dalam menjalankan hubungan kita dengan negara-negara lain, bahkan pada saat kompromi itu merugikan kepentingan nasional kita sekalipun.
Indonesia juga akan menjadi paradoks, ketika demokrasi tidak kunjung menghadirkan kemakmuran dan keadilan yang merata bagi seluruh rakyatnya; yang justru menjadi tujuan utama dari demokrasi itu sendiri.

Penutup
Dari ketiga paradoks yang disebut diatas, paradoks posisi internasional ini merupakan yang tersulit, karena ia merupakan resultante dari sejumlah paradoks yang mewarnai wajah kita sendiri. Kita menyadari bahwa Indonesia tidak boleh terus menerus menjadi negara yang bergelimang dalam paradoks. 
Kita juga menyadari bahwa Indonesia harus berhenti menjadi negara yang besar potensinya, namun tidak memiliki signifikansi strategis dalam tatanan internasional. Kita juga tahu bahwa berbagai paradoks Indonesia ini perlu segera ditanggulangi apabila kita tidak ingin menjadi bangsa yang terpinggirkan, dipinggirkan atau pinggiran. 
Namun, pertanyaan utamanya adalah, mampukah Indonesia mengelola dan keluar dari berbagai paradoks itu? Tentu saja bisa. Untuk itu, Indonesia harus segera berubah apabila tidak ingin menjadi sekedar catatan kaki dalam percaturan antar-bangsa. Keharusan untuk berubah (the imperative for change) ini tidak hanya merupakan tuntutan dari cita-cita Indonesia sebagai sebuah bangsa, tetapi juga merupakan fungsi dari semakin besarnya tantangan dan kompleksitas lingkungan internasional Indonesia.
Dan, keinginan untuk berubah biasanya datang apabila kita menyadari dan mehami apa yang sedang berubah di sekitar kita, dan dimana posisi kita dalam perubahan itu. Kesadaran tentang perubahan orang lain kerapkali mendorong perubahan dalam diri sendiri. Pemimpin Cina Deng Xiaoping, misalnya, memaksa bangsanya untuk berubah pada awal dekade 1980-an setelah ia melihat sendiri perubahan yang membawa Singapura, Malaysia, dan Thailand menjadi macan Asia.  Bagi Indonesia, keinginan untuk berubah itu seharusnya dapat datang dengan mudah apabila kita menyadari bahwa lingkungan dimana kita berada sedang mengalami transformasi drastis.
Pada tataran global, misalnya, dunia sedang berubah ke arah yang disebut Farid Zakaria sebagai dunia pasca-Amerika (post-American World), sebuah dunia yang ditandai oleh berlanjutnya posisi dominan AS, tetapi pada saat yang sama diikuti oleh "the rise of the rest".  Namun, yang dimaksud oleh Farid sebagai the rest itu, sayangnya, belum termasuk kita-kita dari Dunia Islam. Yang dimaksud dengan the rise of the rest dalam analisis Zakaria adalah dunia yang sedang berubah akibat kebangkitan Cina dan India. Kedalam ketegori the rest ini dapat pula dimasukkan Brazil dan Afrika Selatan, dua negara yang menjadi new emerging markets. Dari negara-negara ini, kita perlu belajar bagaimana menarik investasi dan dukungan asing tanpa harus kehilangan independensi politik. Pada tataran regional, perubahan juga sedang terjadi di Vietnam, dan bahkan Kamboja. Negara-negara ini sedang berupaya keras mengejar ketertinggalannya, untuk bisa mengungguli Indonesia, dan sejajar dengan Thailand dan Malaysia.


Silahkan di Kopy asal dicantumin sumbernya yak...
Sumber tulisan :

[1] http://www.naisbitt.com/
[2] Wikipedia.com

[3] www.kompasiana.com

[4] http://hmi.or.id


incoming search :
John Naisbit
Global paradox
Pemikiran Global
Politik Ekonomi Internasional

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.