Skip to main content

Keberpihakan Media


Media massa telah mencapai masa kejayaannya di dunia. Ini adalah zaman informasi, millenium telah berganti menjadi abad yang sangat bergantung kepada adanya informasi. Jalan satu-satunya untuk mengakses informasi adalah media, cetak, elektronik, maupun cyber. Ditengah pusaran arus informasi yang diharapkan kebenarannya inilah kemudian media mass muncul sebagai momok yang tidak disangka-sangka, diharapkan menjadi pelepas dahaga akan infoormasi nyang benar dan akurat, malah menampilkan peristiwa-peristiwa pemberitaan yang telah dikonstruksi.

Seharusnya sudah jelas bahwa media adalah satu-satunya alat yang bisa mengontrol dunia agar berjalan dengan baik, namun kepentingan-kepentingan lebih diminati oleh media saat ini. Di satu sisi tentunya media ingin menonjolkan kebebasan, independensi, dan idealismenya, tapi disisi yang lain justru membodohi dirinya sendiri dengan tindakan keberpihakan yang semakin besar pada berbagai kepentingan ; kapitalisme, politik, dan malah tida kehilangan sikap kritis terhadap pemerintahan. Media seakan menjadi musuh masyarakat itu sendiri dengan menyembunyikan informasi yang benar, selalu saja pemberitaan berbau entertainment dan merampas hak dasar masyarakat untuk mengetahui dan memperoleh informasi yang benar. Media berdosa.

Demokrasi yang di anut Indonesia kemudian menjadi jalan utama bagi media untuk membenarkan dirinya sendiri melayani kepentingan kapitalis. Media massa selalu mencati cara agar berita-berita yang disampaikannya membawa keuntungan yang besar, satu-satunya cara adalah dengan berselingkuh. Perselingkuhan nyata antara media dengan birokrasi pemerintahan dan dengan antara media dengan pasar. Memang sudah tidak ada lagi istilah imparsial, cover both side, ataupun obyektif, yang ada adalah uang, idelogi uang. Persis seperti apa yang dikatakan oleh taufik ismail, keuangan yang maha esa.

Selanjutnya media menjadikan masyarakat sebagai suatu kaum yang bisa di bodohi dan menghasilkan uang banyak. Keuntungan-keuntungan dari penjualan berita-berita, ikaln-iklan, dan semua produk media adalah karena kebodohan yang dialami oleh masyarakat. Ini tidak saja menyangkut produk-produk seperti baju, kosmetik, atau sepatu, namun lebih dari itu, media telah menciptakan realitas palsu pemerintahan dengan menutupi kebejatan para pejabat pemerintahan dan menggunakan sistem tebang pilih dalam pemberitaan. Orang-orang yang telah membayar tinggi kepada media tentu saja tidak akan tersentuh kebusukannya, inilah yang nantinya menimbulkan kesadaran paslu (false consiusness).

Nyata sekali, dapat kita lihat ketika pemilihan umum (pemilu) 2009. Bagaimana politikus beramai-ramai mengemas kampanye dengan strategi pencitraan yang menarik. Ini didalam media, yang dipermasalahkan adalah media yang dengan bagitu mudahnya dicekoki uang dan dengan sigap mengemas dan menayangkannya menjadi iklan politik sempurna yang merongrong ruang sadar masyarakat, menawarkan berbagai alternatif, ajakan dan nada sejuk untuk merebut simpati publik, sehingga publik hanya menganggukkan kepala.

kampanye politik yang dibungkus dengan pencitraan menjadi tren, perusahaan-perusahaan pembangun citra kebanjiran order. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jusuf Kalla, Wiranto, Prabowo Subianto, Sutrisno Bachir, Muhaimin Iskandar, Tifatul Sembiring, dan berbagai politisi lainnya bersaing merebut simpati publik dengan iklan kampanye. Di Jawa Timur, Pilgub 4 November lalu, iklan politik Kaji (Khofifah-Mudjiono) dan Karsa (Soekarwo-Saifullah Yusuf) juga menggenangi ruang kehidupan warga Jatim. Televisi hanya berisi dua pasangan yang manis, senyumnya menggelayut manja, keberaniannya berkobar, dan janji-janjinya minta ampun kerennya.

Inilah era ruang politik yang penuh sesak dengan strategi kata-rupa. Tipuan Kata-Rupa Dengan memuja strategi pencitraan, ruang politik akhirnya penuh sesak dengan lipstik, kamera, facial-lotion dan seperangkat aturan yang mendukung madzhab kata-rupa. Politikus akhirnya lebih mementingkan image daripada esensi aspirasi rakyat. Kompas politik berganti haluan, mencari sudut permainan citra dan strategi informasi. Inipun dosa media massa,

Tidak ada lagi media yang mengutamakan kepentingan raklyat. Rakyat dibiarkan berfikir sendiri, karena pemerintah dan media sendiri tahu bahwa masyarakat itu bodoh dan sayang kalau tidak dibodohi. Masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa, karena –mungkin sudah hukum alam- rakyat indonesia memang penurut, apalagi orang jawa yang sendiko kawulo gusti, nurut apapun yang disuruh gustinya.

Pada akhirnya, media menjadi pelacur. Memang apa bedanya? Sama-sama menuhankan uang, hanya saja media selalu bangga dan tidak pernah merasa bersalah, sedangkan pelacur selalu menangisi hidupnya malam-malam sepi. Media hanya melayani orang-orang berduit, jika tidak ada kepentingan dan tidak menguntungkan maka berita sebagus apapun tidak akan diliput. Sangat ironi, tapi itulah kenyataan yang terjadi. Media seakan menjadi pelacur baru didunia globalisasi ini, menjual dirinya demi kepentingan material semata tanpa mempertanyakan apakah itu berdampak jauh terhadap kepentingan masyarakat. Sekali lagi, masyarakat dijadikan sasaran empuk untuk menumpuk kekayaan para pemilik media. Bahkan kalau bisa, biarkan masyarakat tetap dalam kemiskinan dan kebodohannya, karena itu menguntungkan untuk pemberitaan. Jika kemudian masyarakat pandai, maka tentu saja kesadaran media tidak diharapkan.

Memang tidak bisa dipungkiri karena pemilik raksasa bisnis media akhirnya adalah orang-orang yang dekat pada kepemerintahan, ataupun orang-orang yang terjun ke politik praktis. Media sudah tidak sanggup lagi mengemban amanat demokrasi yang diteriakkan pada mei 1998, media adalah penghianat demokrasi yang harus dikembalikan kepada jalan yang lurus. Berbagai iklan pencitraan yang berkembang pra-pemilu seharusnya tidak dipandang media sebagai hal yang menguntungkan, media seharusnya harus mengedepankan verifikasi. Tidak menelan serta-merta apa yang nantinya membohongi publik.

Kompas yang digadang-gadang menjadi media massa cetak nasional yang berimbang ternyata masih juga menyimpan sejuta kebusukan, tentu saja jika kita analisa lebih cermat. Seperti yang ditulis Eriyanto dalam bukunya Analisa Framing dijelaskan bahwa kompas lebih pro ke Amerika Serikat dalam pemberitaan perang irak dibandingkan dengan media massa cetak lainnya di Indonesia. Begitu pula kompas lebih berpihak ke-barat dalam hal teori evolusi, kompas edisi 07/01/08 halaman 40, yang mengutip dari Reuters tentang pendapat peneliti bahwa nenek moyang ikan paus adalah sejenis rakun. Sudah beberapa kali kompas memunculkan hal-hal yang kebarat-baratan, meskipun tidak terang-terangan namun akhirnya kita tahu ; dengan menggunakan analisa framing tersebut kita akan mampu melihat media berpihak pada siapa dan memusuhi siapa.

Setelah ini, media apa lagi yang bisa dipercaya untuk menyalurkan aspirasi masyarakat? Media elektronikpun (Televisi) tidak bisa menyembunyikan keberpihakannya terhadap pemberitaan-pemberitaan. Benteng terakhir demokrasi telah koyak, berserak. Akhirnya semoga kita berharap masyarakat tahu bahwa medianya seperti itu, ketidakpercayaan masyarakatlah yang akan meruntuhkan kapitalisme media.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.